Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6 Maaf ....

Part 6

Valerie membelakangi Fernand, mulai membenahi pakaiannya. Dua kancing bagian atas kemejanya, sudah ia tutup kembali, kemudian ia turun dari tempat tidur.

"Mulai besok, kamu harus membenahi dandananmu. Aku tidak mau sekretarisku seperti anak sekolahan yang tidak tahu gimana caranya bedakan. Juga pakaianmu .... " Fernand melihat pakaiannya yang seperti anak kuliahan lagi KKN. Kemeja standar berwarna putih dan rok hitam selutut. "Pakai yang sedikit modis." titahnya, tegas.

Valerie menatapnya, "Bukankah kamu tidak suka sekretaris yang berdandan dan bertingkah kegenitan?"

"Betul. Aku tidak suka wanita yang secara sengaja mengekspos wajah dan tubuhnya, demi bertujuan untuk menggoda kaum lelaki. Dan kamu? Tidak suka juga, terlalu polos. Kamu sekolah untuk jadi sekretaris, pasti belajar juga bagaimana berpenampilan jadi seorang sekretaris, tanpa harus berlebihan." ungkapnya panjang lebar.

Valerie menggigit bibir bawahnya, merasa kalah gaya. Ia memang tidak begitu suka memoleskan kosmetik di wajahnya. Bukan karena sudah merasa cantik, tapi menurutnya sangat ribet dengan tetek bengek alat kosmetiknya. Biasanya ia hanya pakai pelembab wajah, itu juga kalau ia ingat memakainya.

"Aku hanya memakai bajuku yang tersimpan di rumah Helsa. Baju-bajuku masih di rumah papa." seolah menggeruru, Valerie mengatakannya.

"Tidak ada rumah lain. Mulai hari ini, kamu ikut bersamaku pulang ke rumahku."

Apa? Tidak salah pendengarannyakah? Jantung Valerie kembali berdegup kencang. Tidak menyangka, Fernand akan mengajak tinggal bersama, secepat itu.

Kepalanya menunduk, enggan untuk melihat suaminya yang terus saja menatapnya.

"Aku tidak mencarimu, karena aku yakin kamu akan kembali. Kamu bukan sejenis orang yang cepat mengambil keputusan, tapi lebih suka bersembunyi dulu, untuk merenungkan segala sesuatunya. Baru akan muncul kembali setelah kamu merasa lebih baik."

Raut muka Valerie terlihat kaget, langsung terangkat. Merasa heran, mengapa Fernand bisa setepat itu dalam memberi penilaian terhadap sikapnya? Padahal setahunya, Fernand pun baru mengenalnya.

Pantas saja Fernand tidak mencarinya, kalau pendapatnya sudah seyakin itu.

"Bagaimana kamu tahu? Padahal kamu baru mengenalku, aku saja tidak tahu apa-apa tentangmu." kata Valerie, polos.

Fernand menghampirinya, meletakan telapak tangan di sisi wajah Valerie. "Kamu ibarat kaca bening, semua terlihat nyata dari sikap dan bahasa tubuhmu." bisiknya.

"Kamu juga tahu, kalau Dylio hanya sahabatku? Aku sama sekali tidak tahu, kalau dia punya perasaan padaku." Ia menundukan kembali wajahnya. "Beruntung, kamu menciumku di altar waktu itu, kalau tidak? Pasti aku akan lebih kesal lagi pada Si Kampret itu, karena telah mencuri ciuman pertamaku." apakah secara tidak sadar, Valerie sedang mengadu?

Tanpa diduganya, Fernand menarik kepala Valerie ke dadanya. Terdengar ia menarik napas dalamnya, lalu mencium puncak kepalanya dengan lembut. Fernand sadar, wanita yang sudah menjadi istrinya ini, masih polos dan lugu.

Meskipun beberapa kali ia sudah menyatakan ketidakpercayaannya, menyangkut hubungan dengan sahabatnya itu, Valerie tidak berusaha menyangkalnya. Namun, tanpa disadarinya, nyeplos begitu saja keterangan dari bibirnya. Tanpa harus didesak, apalagi dipaksa secara kasar.

Saat mendapatkan sikap begitu dari Fernand, hati Valerie merasa meledak secara tiba-tiba. Ia melingkarkan tangan ke punggung suaminya. Tidak terasa air matanya benar-benar keluar, terisak sambil terus mengeratkan pelukannya.

Fernand kembali mencium puncak kepalanya, ia mengerti kenapa Valerie menangis.

Bagaimana Valerie tidak menangis? Orang yang menjadi tantangan terbesarnya, kini sudah mengijinkan kepalanya ada di dadanya. Yang menandakan kalau Fernand sudah sedikit mengerti permasalahan yang sebenarnya.

Pula, ada kerinduan yang tak terkatakan kepada lelaki itu. Biarlah rasa itu tersimpan dalam lubuk hatinya. Seperti biasa, Valerie akan sembunyikan dulu, sampai ia siap untuk menyatakannya.

"Maafkan aku Fernand.... Aku tidak bermaksud mengacaukan pernikahan kita waktu itu." ucapnya serak.

Fernand mengakat wajah Valerie dengan kedua telapak tangannya. Menatapnya sangat dalam. "Aku akan memaafkanmu, bila kamu pulang ke rumahku."

"Bagaimana aku menjelaskan kepada keluargamu? Mereka juga ikut menyaksikan kejadian waktu itu." Valerie merasa beban di pundaknya, belum terangkat semua.

Sambil mengusap air matanya yang belum mengering, Fernand menerbitkan senyumnya. "Soal itu, hadapi oleh dirimu sendiri. Terutama papiku yang awalnya sangat menaruh kepercayaannya padamu."

Valerie memukul ringan dada Fernand, dengan kepalan tangannya yang kecil. "Om Adolf? Aku sangat malu padanya. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan padanya?"

"Tidak perlu dijelaskan, nyatakan dengan sikapmu saja. Dan ingat, panggil dia 'Papi' bukan om lagi." tangan Fernand berpindah ke puncak kepalanya, menggusak lembut rambutnya.

Valerie menengadahkan wajahnya, menatap Fernand yang bertubuh tinggi itu. Lalu berjinjit, dengan malu-malu mengecup pipinya. "Terima kasih, sudah memaafkanku." dengan muka memerah.

Fernand merasa tergugu, atas keberanian istri lugunya ini, dengan apa yang dilakukannya barusan. Sebelumnya, diciumnya saja tidak membalas. Namun, sudah mulai berinisiatif mengecup pipinya.

"Kita harus mulai bekerja. Tentu kamu sudah menyiapkan diri untuk melakukannya, bukan?" tanyanya.

"Aku siap." jawab Valerie mantap, sekaligus merasa lega.

"Sekretaris sebelumnya, benar-benar tidak becus bekerja. Banyak file yang harus kamu rapihkan lagi. Juga dokumen-dokumen yang secara fisik harus kamu susun kembali, supaya mudah untuk mencarinya bila dibutuhkan." katanya, menjelaskan apa yang harus dilakukannya.

"Aku akan melakukannya." tanpa banyak kata lagi, Valerie segera keluar dari ruangan itu. Fernand mengekor di belakangnya.

Hampir seharian, Valerie berkutat dengan dokumen-dokumen yang harus disusun secara rapih di tempatnya. Setelah selesai, kembali ia disibukan oleh data di komputernya. Banyak jadwal pertemuan yang terlewati hingga ia harus menanyakan pada Fernand, apakah harus dihubungi kembali? Untuk membuat janji pertemuan yang baru.

Fernand yang sama-sama sibuknya, mengiyakan saja. "Hari ini, ada pertemuan dengan pak Beno perwakilan dari PT. Utama Grup, jam 04.00, sore ini, di resto Plamboyan." Valerie mengingatkan.

Fernand menatap Valerie, "Hampir saja kulupa." kemudian ia melihat jam tangannya." Sudah lewat jam satu? Kamu sudah makan?" tanyanya, agak kaget.

Valerie menggelengkan kepalanya. "Belum." jawabnya pendek. Asli, perutnya sudah berbunyi berapa kali. Namun karena pekerjaannya masih banyak, jadi lupa melakukan kewajiban yang satu itu.

"Kalau begitu kita makan dulu." Fernand memutuskan. Ia mengambil kunci mobilnya, lalu melenggang keluar dari ruang kantornya.

Valerie masih berdiri di tempatnya, bingung. Barusan Fernand bilang 'kita', apakah itu bermaksud mengajaknya juga?

Fernand menghentikan langkahnya diambang pintu, "Kamu akan terus berdiri di situ, tidak mau makan?"

Valerie membalikan badan, "Saya lapar, tapi gak apa-apa gitu, kalau ikut makan bersamamu?" tanyanya ragu.

Fernand melebarkan matanya, sedikit gemas. "Aku tidak pernah mengajak sekretarisku untuk makan bersama, tapi kamu adalah istriku. Tidak mungkin aku makan sendirian, sementara kamu kelaparan di sini." ucapnya lugas.

Hati Valerie merasa gembira, ternyata Fernand peduli padanya. Ia beranjak dari tempatnya, mengikuti langkah suaminya.

"Anggap ini traktiran dari bosmu, karena kamu sudah bekerja keras hari ini." Seloroh Fernand, dengan senyum kecil di sudut bibirnya yang tidak begitu kentara.

Valerie melihat penampilannya, merasa sedikit insecure. Berada di samping Fernand yang terlihat sempurna, ditambah lagi dengan wangi tubuhnya yang menenangkan jiwa. Ia tidak menggunakan parfumnya, karena semua parfum mahalnya masih ada di kamar, rumah papanya.

"Mengapa, kamu merasa insecure berada di sampingku?" kata Fernand setelah mereka ada di dalam lift. Melihat tubuh Valerie yang terlihat mengkerut, tidak memperlihatkan kepercayaan dirinya.

Fernand seperti cenayang yang selalu tepat dapat tahu apa yang dipikirkannya. Membuat matanya membulat.

Ya, untuk hari ini saja, ia mengenakan pakaian yang ada, bisa dibilang sangat darurat.

Ia tidak bisa meminjam baju Helsa, karena kekecilan atau terlalu kependekan. Tubuh Helsa sangat mungil, sementara tubuh Valerie agak tinggi semampai.

Dengan memegang kedua bahunya, Fernand berkata, "Kalau berjalan denganku, tegakkan tubuhmu. Untuk hari ini, aku tidak peduli dengan pakaianmu." tatapannya cukup tajam. "Tunjukan pribadimu, bahwa kamu istrinya Fernand Gughe."

Masih dengan mata bulatnya, Valerie menanggapi omongannya. "Tidak ada yang tahu juga."

"Lama-lama, mereka juga akan tahu." Fernand melepaskan pegangan di bahunya, kembali bersandar di dinding lift, dengan melipat kedua tangannya di dada.

Saat keluar dari pintu lift dan melewati beberapa ruangan administrasi. Terlihat beberapa orang memusatkan pandangannya ke arah mereka.

Ini suatu hal yang aneh, biasanya Fernand selalu sendirian. Bila ada Juan yang merupakan asisten pribadinya, dia tidak pernah mengajak orang lain, sekalipun itu sekretarisnya. Hanya sudah seminggu ini, Juan tidak ada, karena sedang tugas mewakilinya pergi ke China.

Jadi, wanita itu siapa? Sekretarisnya yang baru? Penampilannya sederhana sekali, meskipun terlihat cantik.

Namun, ada sedikit yang berbeda, wajah Fernand tidak terlalu garang seperti biasanya. Aura tubuhnya pun nampak sedikit rileks.

Andre yang melihat itu, tersenyum di dalam hatinya. Valerie memang bisa membuat seorang laki-laki seperti Fernand, menjadi kucing yang sangat galak atau kembali menjadi kucing manis yang terus mau di elus.

Andre tahu, meski Valerie selalu terlihat sederhana, tapi gadis itu memiliki pesona tersendiri. Wajahnya yang memang sangat cantik, ditambah lagi dengan kepribadiannya yang baik.

Valerie bersahabat dengat adiknya, Helsa. Sejak mereka kuliah selalu tampak bersama, tentu saja Andre mengenalnya dengan baik pula.

Ia tahu, Valerie adalah seorang gadis yang tidak mudah didekati oleh lawan jenisnya. Ia dulu sempat berharap bisa menarik perhatiannya, tapi kemudian ia menyerah, karena tidak ada celah sedikitpun untuknya berkesempatan masuki hati gadis polos itu.

Mungkin terlalu polosnya itu, membuat Valerie tidak begitu peka, bahwa banyak laki-laki yang menyukainya. Namun, karena kepolosannya itu pula yang membuat laki-laki yang mendekatinya, jadi merasa segan dan menyerah seperti dirinya. Andre jadi tersenyum kecut, mengingat ketertarikan diam-diamnya itu.

Fernand memang lebih pantas, untuk memiliki gadis semenarik Valerie.

Di tempat lain, Valerie dan Fernand sudah duduk dan menyantap makanannya masing-masing, di sebuah restoran yang cukup terkenal dengan masakan seafood-nya. Sudah tidak begitu ramai pengunjungnya, karena sudah melewati jam makan siangnya.

Valerie makan dengan lahap, satu porsi sedang udang saus tiram, hampir habis di makannya. Baru sadar saat Fernand nyeletuk, menertawakannya. "Kamu lapar banget, ya?"

"Masakannya yang membuatku kalap. Enak banget, udangnya masih terasa manis." katanya, terus terang. Tidak ada malu-malunya, nampak apa adanya. Untungnya tidak norak, Valerie sangat tahu etika saat makan. Jadi, nampak alami sikapnya, terlihat tidak di buat-buat.

Fernand tersenyum, menatap bibirnya yang memerah. "Kepedasan, ya?"

"Menurutmu, pedas gak?" Valerie malah balik tanya.

"Menurutku sih tidak, mengapa minta dicabein, kalau gak terlalu kuat makan pedas?" Fernand balas bertanya lagi.

"Dylio bilang, aku tuh sok jagoan makan pedas. Padahal, lidahku sama sekali tidak bersahabat dengan cabai jenis apapun."

Ups! Keceplosan sebut nama yang sekarang jadi anti disebutnya itu. Ia menatap Fernand yang sedang menatapnya juga. Terlihat ada api di matanya. Uh, ingin saja ia memukul mulutnya yang lancang itu.

Yeah.... Bagaimanapun, kebersamaan mereka sudah lama sekali. Ke mana-mana bisa dibilang, Dylio selalu menempelinya seperti perangko. Tentu saja, kebiasaan antara mereka sudah tahu sama tahu.

Valerie menundukkan wajahnya, terlihat merasa bersalah, saat tidak sadar menyebut bekas sahabatnya itu. "Maaf." lenguhnya.

"Namanya tidak bisa dilupakan, ya?" selidik Fernand, nampak raut mukanya tidak suka.

"Kita selalu sama-sama. Akunya aja yang gak nyadar, kalau dia memang tak pernah membiarkan orang lain ada di dekatku. Bahkan awal-awal aku kuliah, Helsa pun tidak dengan mudah mendekatiku. Dia bilang, tidak suka Helsa yang cerewet kaya kutilang dipagi hari." wajah Valerie terangkat lagi, saat mendengar kekehan Fernand. Apanya yang lucu?

Fernand menatapnya dengan jenaka. "Lucu juga temanmu itu. Apa dia bilang, Helsa seperti kutilang? Cocok memang dengan tubuhnya yang kecil itu." dia tertawa lagi.

Tentu saja Fernand tahu, siapa Helsa. Siapapun yang berhubungan dengan Valerie, Fernand selalu tahu. Tanpa Valerie sadari.

Valerie jadi tergugu, ternyata Fernand menertawakan sebutan 'kutilang' itu kepada temannya yang memang sangat mungil. Eh, emang Fernand tahu siapa Helsa? Kenapa Fernand tahu temannya juga? Padahal ia belum merasa memperkenalkannya.

"Kamu tahu, Helsa?" tanyanya langsung. Tidak mau menyimpan lama di otaknya, ini pertanyaan harus langsung dapat jawabannya. Ia penasaran, mengapa Fernand begitu banyak tahu tentangnya?

"Tentu saja, dia adiknya Andre yang bekerja jadi sekretarisnya om Sam, kan?." jawabnya ringan.

Membuat Valerie kecewa, karena jawaban Fernand tidak sesuai harapannya. Ia mengira Fernand mencari tahu tentang dirinya. Tapi ternyata, alasannya cukup masuk akal. Helsa memang bekerja diperusahaannya, jadi sekretaris omnya juga, wajar kalau Fernand mengenalnya.

Valerie mengangguk, diam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel