Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 5 Singa Gunung

Fernand menyandarkan bokong ke meja kerjanya, melipat tangan di dadanya. Tatapannya masih intens ke tubuh langsing yang masih tertunduk, beberapa langkah di hadapannya.

"Merasa tidak sanggup?" tanyanya, sinis. Ingin lebih tahu, apakah wanita yang sudah jadi istrinya ini, mempunyai nyali untuk ada di dekatnya? Setelah tahu sikapnya tidak mudah, untuk Valerie masuk dalam kehidupannya.

"Silahkan mundur sebelum terlambat!" imbuhnya lagi, memberi penekanan.

Valerie masih berpikir, 24 jam? Itu artinya, ia akan terus ada di samping Fernand setiap saat. Sanggupkah dirinya menghadapi sikap yang terlihat tidak bersahabat itu? Ia bergidik sendiri kalau mengingat ke hal itu.

Namun, dia suaminya. Sudah sepantasnya, ia ada bersamanya. Tidak peduli sikap yang akan di tunjukan Fernand padanya, ia sudah bertekad untuk lebih mengenalnya. Mengapa ia harus ragu?

Valerie mengangkat wajahnya, matanya langsung menatap Fernand. "Aku akan lakukan!" tegasnya, tanpa keraguan.

"Bagus! Berarti kamu akan melakukan apapun yang jadi ketentuanku. Selain peranmu sebagai sekretaris pribadiku, ada peran lain yang yang justru wajib kamu lakukan."

Terlihat Valerie terbengong di tempatnya. Wajah polos tanpa sapuan kosmetik itu, nampak bingung. "Maksudmu....?"

Fernand tersenyum mengejek, "Kamu lupa peranmu sebagai istriku?" tubuhnya kembali ia majukan, mendekati Valerie yang masih berdiri tegak, bergeming.

Mata Valerie terlihat membulat. "A .... a .... ku" gagapnya, tidak berlanjut. Mulutnya semakin kelu ketika tubuh tinggi Fernand agak membungkuk, dengan kedua tangan ada dimasing-masing saku celanya. Jaraknya sangat tipis dengan sorot mata mengintimidasi Valerie.

"Kenapa, takut?" ejeknya lagi. "Aku memberitahu padamu, menjadi sekretaris Fernand Gughe tidak mudah, apalagi menjadi suaminya." kecamnya.

Valerie masih terdiam.

"Kamu mengira aku akan dengan mudah memaafkanmu? Setelah apa yang kaulakukan padaku?" dengan geram ia kembali meraih pinggang Valerie. "Aku tidak suka dipermainkan, jadi terima saja hukumannya."

Kembali Fernand menciumnya dengan kasar. Belum melepaskannya, meski Valerie memberontak.

Fernand menarik lengannya, setelah melepaskan ciumannya. Valerie yang megap-megap, berusaha mengisi lagi paru-parunya yang sudah terasa kosong, tidak bisa mencegah ulah Fernand yang terus menariknya ke sebuah ruangan.

Fernand menutup pintu dan menguncinya. Sorot matanya penuh kemarahan. Ia melemparkan tubuh Valerie ke tempat tidur dan ia menyusulnya. Mengungkung tubuh di bawahnya dengan emosi yang lebih menguasainya.

"Kamu menghilang, setelah menorehkan arang di wajahku. Mengapa kamu lari Valerie?!" inilah puncak dari rasa yang ditahannya selama ini. Fernand merasa kesal, geram dan kecewa dengan keputusan yang diambil Valerie waktu itu.

Ia telah berusaha menyelesaikan masa kuliahnya di Amerika, dengan harapan bisa pulang ke tanah air dengan tepat waktu.

Tanpa setahu Valerie, sebenarnya ia telah mengenal gadis itu sejak lama.

Fernand sudah tahu dari papanya, tentang perjodohan ini. Jauh sebelum ia mulai menempuh pendidikannya di luar negri.

Dia meminta seseorang untuk mengikuti terus sepak terjang Valerie, dari mulai Valerie masih mengenakan baju birunya sampai ia masuk ke masa kuliahnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan.

Fernand tidak mau, seperti membeli kucing dalam karung. Dia harus tahu siapa calon istrinya pada waktu itu.

Hingga saat papanya memintanya untuk menikahi Valerie, ia langsung menyetujuinya.

Meski dari jauh, ia sudah bisa menilai kalau Valerie sebagai gadis baik-baik yang tidak terlalu banyak tingkah. Ia juga tahu siapa saja yang jadi sahabat-sahabatnya. Banyak foto-foto Valerie yang dikirim oleh orang kepercayaannya itu, tersimpan baik di tempat tersembunyinya.

Bukan hanya itu saja alasan yang mendorong keputusannya, untuk menyetujui pernikahan itu terjadi. Kecantikan alami Valerie, telah banyak menarik hatinya lebih dalam lagi. Ia mengakui, telah diam-diam mencintai gadis itu sejak lama.

Kini wajah cantik itu, sedang ada di bawah penguasaannya. Wajah ketakutan yang sangat menggemaskan. Bibirnya yang membengkak, akibat dari ciuman kasarnya tadi, nampak bergetar lembut.

Fernand terus menatap bibir itu, dengan perasaan campur-aduk.

Valerie nampak tak berdaya. Kedua tangannya terlentang dalam genggaman tangan Fernand, sementara kakinya tidak bisa digerakan karena tertindih kaki besar itu dengan kuatnya.

"Fernand...." panggil Valerie lirih, air matanya sudah mengambang di pelupuk matanya.

Fernand bergerak, menyentuh bibir Valerie yang sangat menggoda imannya itu. Kali ini ciumannya dilakukan dengan lebih lembut.

Hingga Valerie merasa sedikit tenang, tak berkeinginan lagi untuk memberontak.

Valerie merasakan remasan di sela-sela jemari tangannya. Matanya terbuka dengan nanarnya. Ia mulai merasakan sensasi aneh dalam tubuhnya.

Tatapan mereka bertemu, saling menilai satu sama lain lewat sorot matanya.

"Dasar anak bawang. Ciuman pun seperti sedang mencium bocah ingusan." Fernand berdecak, tidak puas. Kemudian ia bangkit, melepaskan kungkungannya di tubuh molek yang masih tergolek di atas tempat tidurnya itu.

Wajah Valerie memerah. Ia tahu sebagai wanita yang belum punya pengalaman dalam hal cumbu-mencumbu. Belum begitu tahu bagaimana cara memberi balasan yang semestinya. Apalagi cara Fernand yang memaksanya seperti itu. Mana sempat ia bisa berpikir jernih.

"Wawancaranya sampai ke tempat tidur." seloroh Valerie, sambil mengamati sekitar ruangan. Sepertinya ini adalah ruang pribadi Fernand, yang menjadi bagian dari ruang kerjanya yang luas.

Fernand tertawa, merasa tergugu akan kata-kata lugas istrinya. Ia melirik Valerie yang masih terbaring dengan muka yang masih memerah. Rambutnya yang lurus, panjang sepunggung, nampak tersebar di atas bantal, di mana kepalanya di taruh dengan cantiknya.

Ya, Tuhan. Ini adalah godaan yang tidak mudah ia abaikan begitu saja. Keluh Fernand dalam hati.

Apalagi, saat ia melihat kembali pada bibirnya yang memerah secara alami itu. Sedikit membengkak dan basah.

Namun, ia kembali diingatkan, kalau mereka sedang mengadakan wawancara. Tidak sepantasnya ia membawa ke tempat tidurnya, meskipun yang diwawancaranya ini adalah wanita yang sudah sah jadi istrinya.

Fernand membungkuk, menjangkau kemeja Valerie yang dua kancing atasnya terlepas. Nampak bagian dadanya, sedikit terekspos, membuat debur jantungnya kembali berdebur kencang. Bermaksud diawal, ingin mengancingkannya kembali, tapi malah berpikir untuk membuka kancing berikutnya.

Valerie sendiri belum menyadarinya, hingga dengan refleks menepis tangan yang mendekat ke dadanya itu. Tangannya meremas kemeja bagian atasnya dengan kembali memperlihatkan raut ketakutannya.

Fernand memiringkan senyumnya. "Ya, sudah. Kancingkan sendiri. Tadinya aku mau membantumu, karena kancing itu terbuka, akibat ulah tanganku yang nakal."

Mata Valerie melotot, lalu melihat ke kemejanya. Saat tahu terbuka setelah dilepasnya, kembali mencengkeram kain yang tak berdosa itu, dengan kuat. Ia segera bangkit untuk duduk.

Melihat kelakuan Valerie seperti itu, Fernand terkekeh. "Lain kali, aku akan melepaskan semua kancingnya. Jangan pura-pura lugu. Sahabatmu itu, pasti lebih tahu tubuhmu di banding aku."

Valerie kembali memelototkan matanya, dengan kesalnya melempar bantal ke arah Fernand.

"Gak, lucu!" katanya judes.

"Aku memang bukan pelawak."

"Lebih mirip, Singa Gunung! Seram." terlontar begitu saja secara spontan.

Valerie jadi mengingat apa yang diistilahkan Helsa, saat mereka berada di tempat tidur, tadi malam. Sebelum mereka terlelap.

Dari obrolan Helsa, Valerie tahu sedikit tentang sikap Fernand di kantor.

"Jadi, lo siap-siap aja menghadapi sikap suami lo nanti" ucap Helsa, yang sudah ikut berbaring di sisinya. "Menurutku pribadi, Fernand sangat tidak mudah untuk dihadapi. Seperti singa gunung yang lagi terluka. Meraung setiap hari, tanpa ada yang mampu mengobatinya. Membuat orang-orang pada takut dan sekaligus kebingungan."

Valerie menatap Helsa, belum begitu mengerti apa yang dimaksud sahabatnya itu. "Singa Gunung? Kenapa lo julukin Fernand, kaya Singa Gunung?" tanya bingung.

"Gak tahu juga, gue. Yang kebayangnya sama guenya begitu. Nampak gesit, garang dan galak, tapi berkharisma banget. "

"Kenapa gak beruang atau harimau, kan kesannya lebih gimana gitu?" tanya Valerie jadi penasaran atas penilaian Helsa lebih jauh, tentang laki-laki yang sudah jadi suaminya itu.

"Gak tahu juga sih. Lo tahu, kalau gue sangat tertarik sama binatang-binatag buas macam begitu. Pas liat Fernand, keinget aja sama singa gunung yang kuning kecoklatan." tawa Helsa meledak begitu saja, mungkin merasa tergugu dengan pikirannya sendiri.

"Kecoklatan .... ?" Gumam Valerie, terlihat bodoh.

"Kulit Fernand kan gak putih, Val. Nampak macho dan seksi. Kamu belum bener-bener ngeliatnya sih." cibir Helsa.

Valerie melebarkan matanya, "Yang lo kagumi itu, suami gue, Hel? Lo, mau jadi pelakor sahabat lo sendiri?"

"Ish.... Lo sendiri yang nanya, ya gue jawablah. Lagian kalau gak inget dia laki lo, udah gua pepet dari awal."

"Emang, gampang mepet dia?" ledek Valerie. "Dari gue kenal, mana ada lo berani mepet cowok. Omongan lo doang yang kaya toa, itu juga hanya beraninya di depan gue. Jangan-jangan lo masih keinget sama si Marvel itu?" seru Valerie.

Helsa menggulingkan tubuhnya menjauhi, hingga ketepi ranjangnya. "Apa?! Gue kan hanya sebatas suka? Sekarang sudah lupa tuh." elaknya.

Valerie menguap sambil nyengir, menertawakan polah sahabat terbaiknya itu. "Gue saranin, sudah saatnya lo buka hati lo. Mau terus ngejomlo, lo?"

Helsa yang masih menghadapkan wajahnya, menatap Valerie. "Belum ada yang nyangkut di hati gue." elaknya lagi. "Udah ah, segera tidur. Ingat besok, lo harus menyiapkankan diri untuk mendekati Singa Gunung itu."

Singa Gunung? Matanya berkedip-kedip. Menatap Fernand yang kini sedang menatapnya heran.

"Apakah aku segalak itu? Sampai dibandingkan dengan kucing liar semacam singa gunung? Kamu takut?" Valerie mengkerutkan tubuhnya, kembali merasa terintimidasi.

Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali, berusaha menyangkal kalau dirinya tidak merasa takut.

"Menarik! Aku seperti singa gunung?" Fernand tertawa kecil, lalu melebarkan matanya dengan menyorot, garang. "Tunggu saja Valerie, cakaranku akan membuat hatimu terkoyak-koyak."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel