Part 4 Wawancara
Jantungnya sudah bertalu-talu, sejak ia menjejakan kaki di depan sebuah gedung megah yang terdiri dari beberapa lantai itu. Valerie tidak sempat menghitungnya, karena dengan gesit Helsa menariknya untuk berjalan lebih cepat lagi.
"Cepet dong, Val. Lima menit lagi udah mau jam delapan." katanya rusuh. Sahabatnya ini sama sekali tidak tahu, kalau jantungnya sudah berdegup dengan kencangnya, dibandingan dengan langkah kakinya yang melambat, saking nervus-nya.
"Gue hanya nganter lo, sampai di ruangan CEO aja, ya? Kak Andre tadi kan udah bilang begitu. Lo, akan di-interview sama Fernand secara langsung."
"Biasanya sama staff kepegawaian, kan?" tanya Valerie, sambil berjalan mensejajarkan langkahnya dengan Helsa. Ia masih berharap, hal itu dilakukan oleh orang lain.
Helsa meliriknya tajam, sangat gemas. Katanya mau bertekad sekuat baja, baru mulai saja, sahabatnya ini sudah ketar-ketir seolah mau lari lagi.
"Lo, mau mundur lagi? Setelah tahu kalau Fernand yang akan mewawancarai lo secara langsung?" telunjuknya memencet tanda panah ke atas, saat sudah ada di depan pintu lift. Di sekitarnya sudah berjejer orang yang sama-sama menunggu, pintu lift itu terbuka.
"Biar kakak aja yang mengantarnya." sekonyong-konyong, Andre sudah ada di antara mereka.
Keduanya memandang laki-laki berkulit putih itu.
"Ya, udah. Lo, sama kak Andre aja." Helsa menatap Valerie, lega. "Hadapi, itu tekad lo kan?" tatapnya lebih menyemangati.
Valerie hanya mengangguk, tapi hatinya masih penuh keraguan.
Andre segera menarik tangannya. "Kita pakai lift khusus aja, supaya lebih cepet." kenyataannya memang benar, keduanya bisa langsung masuk. "Ini lift khusus CEO dan pejabat-pejabat tinggi perusahaan, juga tamu-tamunya." Andre menjelaskan, setelah mereka mulai naik.
"Kak, kenapa aku diwawancaranya sama CEO langsung?" tercetus juga rasa kepenasarannya, hingga pertanyaan itu terlontar begitu saja pada kakak sahabatnya ini.
"Andre meliriknya, sebelum menjawab. "Karena pak Fernand selalu kecewa dengan sekretaris-sekretaris sebelumnya. Jadi ia ingin memilihnya secara langsung."
"Bukan karena ia tahu, kalau yang melamar pekerjaan ini adalah aku?" tanya Valerie, ingin lebih tahu lagi.
"Kalau soal ini, aku tidak tahu." jabab Andre, terus terang.
Valerie menelan ludah, seakan tenggorokannya terasa kering. Tidak bertanya lagi, karena ia mengerti kalau memang Andre belum begitu banyak tahu. Meski jabatannya di perusaan itu lumayan penting, tapi Fernand sebagai CEO yang baru di angkat tiga bulan yang lalu oleh ayahnya itu, belum begitu dikenalnya juga.
Andre mengetuk pintu. Ia sudah tahu kalau bos perusahaan sudah ada di tempat. Ia melihatnya tadi saat baru masuk ketempat parkir, laki-laki tinggi itu sudah terlebih dahulu memasuki gedung perusahaannya.
Andre sempat melirik Valerie yang mengekor di belakangnya. Saat mendengar kata 'masuk!' tangannya membuka pintu.
"Selamat pagi, Pak Fernand. Saya mengantar bu Valerie yang akan diwawancarai pagi ini." Andre mengangguk hormat. Kemudian, "saya permisi, akan melanjutkan ke ruang kerja saya."
"Pagi, Pak Andre. Silahkan..." suara berat itu, diiringi anggukan kepalanya, mempersilahkan Andre berlalu dari ruangan itu. Sementara Valerie yang awalnya berada di belakang tubuh Andre, merasa kehilangan, saat tubuh itu berbalik meninggalkannya. Sekilas Valerie melihat senyumnya.
Valerie memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan pandangannya langsung bersitatap dengan sorot mata orang yang kini sedang duduk di depannya.
Harusnya, ia tidak merasa terkejut lagi saat melihat tatapan setajam elang itu. Ia sudah menduga bahwa ia tidak akan di sambut dengan sikap ramah. Namun, tetap saja jantungnya berdegup dengan kerasnya dan lututnya terasa lemas.
Meski niat kedatangan dirinya itu untuk melamar kerja, tapi ia yakin permasalahan pribadi yang belum dituntaskannya itu, sedikit banyak akan berpengaruh pada interaksi keduanya.
"Duduklah." terdengar suaranya sangat dingin. Sepertinya Fernand berusaha mengendalikan dirinya, supaya tidak terlalu kentara kalau kedatangan gadis ini sangat berpengaruh pada emosinya.
Valerie melangkah dengan lutut yang sedikit gemetar, entahlah kalau ia berdiri lebih lama lagi. Mungkin, ia akan abruk di tempatnya berdiri.
Ia menangkap aura dingin dari sikap Fernand dalam menghadapinya. Jarak meja kerja dengan kursi yang didudukinya terasa sangat dekat sekali, padahal meja kerja itu tidak kecil.
Dengan duduk tegak, Valerie mulai bersuara. "Selamat pagi, Pak." sapanya, dengan suara yang terasa berat sekali untuk dikeluarkan.
"Pagi," jawabnya datar. Kata 'pak' cukup mengingatkannya, bahwa hubungan mereka tak lebih dari hubungan formal antara dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang akan mewawancarai calon karyawannya.
Fernand melihat ke layar laptopnya. CV dan lamaran kerja yang dikirimkan lewat email itu, kembali disimaknya.
Kesempatan itu, dimanfaatkan oleh Valerie untuk mempelajari profil wajah suaminya secara dekat. Sungguh, sangat tampan sekali, tidak salah omongan Helsa.
"Apa motifmu, untuk bekerja menjadi sekretarisku?" tanya Fernand, mengangkat kepalanya tiba-tiba, menatap langsung padanya. Membuat mata Valerie melebar, karena terkejut. Merasa kepergok karena sedang memandang wajah laki-laki itu, disaat perhatiannya tertuju ke laptopnya.
Sedikit tergagap, ia menjawabnya, tanpa berpikir lagi. "Men-cari pengalaman." masih dengan muka bengongnya.
Fernand menaikkan sudut bibirnya. "Klise sekali, apa tidak ada alasan lain lagi? Aku sangat bosan mendengar alasan seperti itu."
"Saya baru lulus kuliah, tentu saja belum punya pengalaman."
"Tidak muncul ide yang lebih cerdas, agar alasannya lebih bisa meyakinkan?" tantangnya, masih dengan nada dinginnya.
Sebenarnya Valerie merasa bingung, tak sempat dipikirkan apa alasan ia ingin bekerja. Masa mau bilang, kalau alasan yang sebenarnya karena ia ingin mengenal lebih dekat padanya.
Fernand tidak melepaskan tatapannya, maka semakin ributlah kecamuk dalam hati dan pikirannya. Antara berkata yang sebenarnya atau cari alasan lain yang lebih masuk akal.
"Saya ingin punya pendapatan yang lebih besar." jawabnya lebih realistis, menurut pendapatnya sendiri.
"Dasar anak bawang." ejeknya, membuat Valerie kembali melebarkan matanya. "Semua yang ingin bekerja juga pasti ingin mendapat penghasilan yang lebih besar." ejeknya, masih tidak puas.
"Saya bukan lulusan Es-De, di bilang anak bawang." protesnya.
"Tepat! Kamu menjawabnya sendiri." tanpa di duga, Laki-laki itu tertawa. "Bagaimana aku bisa memperkerjakan kamu? Pulang lagi saja. Lamaran kerja kamu di tolak!" kata Fernand masih ada sisa tawanya, lalu kembali menatapnya dengan malas. "Kembali saja bersembunyi di dalam lemari, sampai kamu ubanan." tambahnya lagi.
Valerie langsung berdiri, mukanya agak memerah. "Lalu alasan apa yang ingin bapak dengar, agar lamaran kerja saya bisa diterima?"
Wajah Fernand agak mendongak, karena posisinya masih duduk. "Jawaban yang sebenarnya. Apa motifmu, untuk melamar jadi Sekretarisku?" kembali lagi ke pertanyaan awal.
Membuat Valerie bingung, menatap wajah tampan beraura dingin itu. Akhirnya, "Aku ingin mengenalmu dan kamu tahu siapa diriku yang sebenarnya." tercetus juga maksud sebenarnya. Segala formalitasnya luntur, seiring panggilan ber'aku-kamunya'.
Fernand menatapnya lebih intens lagi. "Tindakkan yang sangat berani. Kamu pasti sudah mendengar dari sahabatmu itu, bagaimana susahnya untuk menjadi sekretarisku."
Valerie terduduk kembali, "Aku akan mencobanya."
"Dan kamu harus siap juga ditendang, bila kinerjamu buruk. Aku tidak mau didampingi oleh seorang yang idiot dan tidak becus bekerja." ancam Fernand, tanpa sungkan.
"Aku akan berusaha bekerja lebih keras lagi."
"Aku membutuhkan sekretaris pribadi, yang melayaniku 24 jam sehari." nadanya datar, tapi mampu membuat tubuh Valerie berdiri kembali. Yang disusul kemudian oleh Fernand yang ikut bangkit pula dari kursi kebesarannya.
"Tidak mungkin! 24 jam." protesnya lagi.
"Karena kamu yang menjadi sekretaris pribadiku, aku mengajukan syaratnya begitu."
"Kalau orang lain?" tanyanya secara spontan.
"Kita tidak sedang membicarakan orang lain."
Valerie nampak tertegun. Sebenarnya, apa maksud dari Fernand di balik syarat yang telah diajukannya? Atau mungkin Fernand bermaksud menghukumnya, atas pelariannya waktu itu?
Meskipun mereka belum menyenggol ke masalah itu, tapi pasti ujung-ujungnya akan mengarah ke situ juga.
Fernand nampak keluar dari area mejanya, mendekati Valerie yang tiba-tiba merasakan tubuhnya mengkerut.
"Bukankah kamu ingin lebih mengenalku? Dan itu bisa kamu lakukan dalam 24 jam sehari." ucapnya, menipiskan jarak. Secara inpulsif, Valerie mundur selangkah.
"Dan dimulainya dengan ini." tubuh Valerie tersentak saat pinggangnya ditarik lebih dekat lagi. Sebuah kecupan mendarat di bibirnya. Menatap manik matanya sangat dalam. Dan saat mulutnya akan protes, justru bibirnya yang terbuka itu, di tutup kembali oleh sebuah ciuman berikutnya.
Ah,
Fernand memang suaminya, tapi mereka belum saling mengenal. Membuat Valerie semakin gugup. Ia berusaha melepaskan dirinya.
Namun, belitan tangan Fernand di pinggangnya sangat kuat. Semburat merah di pipinya, sudah menggambarkan kalau wanita ini merasa jengah dengan apa yang dilakukannya.
"Bagaimana, apakah dengan sebuah ciuman, kamu akan melarikan diri lagi?" tanya Fernand, sambil menyentuh bibirnya dengan jempolnya. Mengelap saliva yang tersisa dibibirnya yang memerah.
Valerie memalingkan wajahnya, dengan debar rasa yang tidak karuan.
"Sahabatmu yang menciummu, kamu menghilang sampai hampir tiga bulan. Jadi, aku ingin tahu bila suamimu yang menciummu, akan berapa lama kamu akan bersembunyi?"
"Aku tidak akan bersembunyi lagi." tegasnya. "Meski aku tidak dicari, tapi aku datang sendiri padamu."
"Tidak dicari? Heh, aku bukan anak Es-De yang masih senang main kucing-kucingan. Kamu anak bawang, tapi sudah bermain adegan dewasa dengan sahabatmu."
Dengan keras, Valerie mendorong dada bidang itu. Tubuhnya hanya menggeser selangkah saja. Kilat matanya menunjukan apa yang sedang dirasakannya.
"Semua laki-laki sama, menginginkan ketahiran tubuh istrinya. Sama sekali tak berkaca akan kebobrokan moralnya sendiri." sinisnya.
"Aku tidak menganut paham itu. Hanya butuh kejujuran, bila kondisinya sudah seperti itu."
Valerie balik menatapnya dengan garang. "Pernikahan bagiku, bukan sebuah permainan. Akan aku lakukan sekali dalam seumur hidupku."
"Oh, ya?" tatapnya, " Ingin sekali aku mempercayaimu. Akan tetapi, tontonan adegan di malam pertama itu, masih membayang di pelupuk mataku."
Valerie mendelikan matanya, "Apa yang dilihat, belum tentu itu kebenarannya." ketusnya.
"Kalau kamu merasa tidak bersalah, kenapa kamu lari?" sebuah pertanyaan yang cukup menohok hatinya. Membuatnya tertunduk. Dirinya memang salah waktu itu, harusnya ia tidak lari seperti seorang pengecut. Bagaimanapun, ia harus bisa menjelaskan kalau dirinya tidak bersalah, tidak seperti yang dikira semua orang yang menyaksikan kejadian itu.
Namun, rasa takut yang terlalu mencengkeram dirinya, malah membuat ia lebih memilih untuk menempuh langkah seribu. Meninggalkan banyak pertanyaan, yang tidak bisa langsung dapat jawabannya.
