Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 3 Keluar Dari Persembunyian

Keluar Dari Persembunyian.

Pagi hari yang cerah. Valerie menganggap hari ini akan ada sesuatu hal yang baik. Dengan semangat yang baru, ia bersiap untuk pergi kerja.

Baru saja ia mengunci pintu kost-nya, terdengar sapaan 'selamat pagi' dari seseorang. Ia sangat mengenal suara itu. Dengan rasa terkejut Valerie membalikkan badannya.

Seringaian senyum yang nampak, membuat wajahnya langsung merah padam. "Lo .... !"

"Iya, Gue." Wajah tampan itu menatapnya, masih dengan cengirannya.

"Ngapain lo ke sini? Minggir! Gue mau kerja." Valerie melewati orang itu. Wajahnya masih menunjukan rasa tidak sukanya.

"Tunggu, Val. Gue mau ngomong." cegahnya sambil meraih pergelangan tangannya.

Valerie berhenti. Menatap nyalang kepada tamu yang tidak diundangnya ini, bahkan sama sekali tidak diharapkannya, Dylio.

"Dy, kelakuan lo sudah menghancurkan kehidupan gue. Harusnya lo tahu malu. Gak nyangka gue, lo bisa ngelakuin gitu sama gue" seprot Valerie, masih belum menurunkan nada suaranya.

"Val, maafin gue. Itu gue lakuin karena tidak ada cara lain untuk menggagalkan pernikahan, lo."

Valerie mendecih sebal. "Lo sahabat gue, yang gue percaya tidak akan mampu hancurin hidup gue. Tapi lo!! bener-bener telah membuat gue kecewa."

"Gue jujur sekarang, kalau gue cinta mati sama lo"

Valerie menepis tangan Dylio. "Gue dah bilang sama lo. Gue hanya nganggap lo sebagai sahabat, gak lebih!"

Dylio terhenyak di tempatnya. Segala usaha sudah dia upayakan untuk mencari keberadaan gadis ini. Sampai-sampai harus menyewa seseorang yang ahli untuk melakukan pencariannya. Baru kemarin ia dikabari, kalau orang yang dicarinya telah berhasil diketemukan. Namun, sekarang ia kembali menelan kekecewaan. Valerie masih marah padanya.

Dia sendiri bingung, bagaimana cara meredakan amarah gadis itu. Selama ini ia tidak pernah melihat Valerie marah.

"Val, gue tahu kalau pernikahan lo karena perjodohan. Lo juga belum punya perasaan sama dia, kan?" tanya Dylio, mendesak.

"Yang jelas gue udah resmi menikah sama dia, yang berarti gue udah jadi istri orang. Lo udah gak ada peluang." tegas Valerie. Ia segera bergegas meninggalkan Dylio.

"Val, gue gak rela lo jadi miliknya." teriak Dylio hampir putus asa.

"Terserah, lo. Jangan ganggu gue lagi." Valerie setengah berlari, karena waktu masuk kerjanya sudah sangat mepet.

'Dia pikir, gue akan menyerah gitu aja?' batin, Dylio. Terdiam. Tidak berusaha mengejarnya, karena dia tahu kalau Velerie bekerja di sebuah toko yang tidak begitu jauh dari tempatnya tinggal.

Valerie mulai bekerja dengan mood yang jelek. Kedatangan Dylio telah merusak harinya yang ia kira akan baik.

Menjelang jam makan siang, Helsa meneleponnya. Tanpa basa-basi lagi, langsung nyerocos ngomong. "Val, cepet lo bikin CV-nya, sekretaris Fernand udah dipecat. Kirim segera, kalau bisa sebelum waktu istirahat berakhir. Cepet, ya? Jangan ditunda-tunda lagi."

"Hel, gue udah bikin CV-nya tinggal ada beberapa yang belum gue isi."

"Bagus kalau gitu. Cepet selesaikan, ya? Gue kasih alamat email perusahaannya. Lo kirimkan ke situ, karena sudah prosedur dari perusahaannya begitu. Surat lamaran gak bisa disampaikan oleh orang dalam, secara pribadi."

"Terus nanti yang ngasih tahu soal lamaran kerja gue, siapa?"

"Ya, ada bagiannyalah. Gue juga bisa minta bantuan sama kakak gue, untuk mengeceknya."

"Ok, gue kerjain sekarang. Akan gue kirim secepatnya."

"Sip, kalau gitu. Gue tunggu."

"Thanks, Hel."

"Iya, gue udah laper nih. Bye."

Setelah menutup teleponnya, Valerie baru bisa menarik napas panjangnya. Ia harus segera mengirimkan CV untuk melamar kerja ke alamat email yang dikirimkan Helsa.

Apakah Fernand akan menerimanya bekerja sebagai sekretarisnya? Apakah suaminya itu, akan memberi kesempatan untuk ada di dekatnya dan lebih mengenal dirinya?

Ada sedikit keraguan di hati Valerie, ia telah mengecewakan hati laki-laki itu. Kalau seandainya Fernand menerimanya pun, pasti ada tujuan tertentu terhadap dirinya.

Bagaimana pun Valerie harus mencobanya, meski harus menerima sikap terburuk dari Fernand. Ia akan menerima, semampu yang dapat ia bisa hadapi. Kalau seandainya sudah di luar batas, baru ia akan menyerah.

Dua jam kemudian, Valerie melihat notifikasi di layar HP-nya. Ia menerima email balasan.

Sungguh! Tidak menduganya, akan mendapat balasan secepat itu. Ia diminta datang besok jam. 08.00 pagi, untuk wawancara.

Apakah ia akan berhadapan langsung dengan Fernand? Atau, karena terdesak membutuhkan seorang sekretaris dan kebetulan CV yang di kirimnya tadi masuk, hingga langsung diminta wawancara secepatnya. Mungkin juga ada campur tangan Andre yang dimintai tolong oleh Helsa. Berbagai pertanyaan masuk di kepala kecilnya, yang sudah mumet.

Valerie terkejut sekaligus bingung. Dari jarak tempatnya tinggal dengan perusahaan yang ada di Jakarta, sangat jauh. Mungkin butuh waktu kurang-lebih sekitar empat sampai lima jam perjalanan.

Ia juga mengingat keberadaan Dylio yang tadi pagi berhasil menemukan keberadaannya. Ia sangat yakin kalau Dylio pasti masih menunggu, untuk kembali menemuinya.

Ia harus pintar-pintar cari cara, agar tak bertemu lagi dengan Dylio.

Pertama yang harus dilakukannya adalah; berbicara dengan yang punya toko bahwa dirinya mendapat panggilan kerja yang berarti ia akan berhenti dari pekerjaannya saat ini. Terus, mencari cara untuk mendapatkan kendaraan yang akan membawanya ke Jakarta, tanpa di ketahui oleh Dylio.

Tiba-tiba teleponnya berdering. Valerie segera melihat siapa orangnya. Helsa.

Segera ia menjawab dengan perasaan campur aduk.

"Val....Lo udah nerima balasan emailnya dari perusahaan?" tanya Helsa langsung.

"Udah, Hel. Cuman gue bingung dari tempat gue tinggal ke Jakarta itu sedikitnya butuh waktu empat jam. Itu juga kalau lewat tol dan gak macet pas mau masuk atau keluar tolnya. Pasti malem nyampainya. Gimana gue bisa cepet sampai ke sana? Gue disuruh datang jam delapan pagi, coba."

"Haduh, kenapa lo minggatnya jauh-jauh, sih? Lo, di mana?" tanya Helsa agak gemes.

"Gue di Cirebon, Hel."

"Hah? Ko kepikiran untuk nyangkut di kota itu sih?"

"Gue lari cari bis yang mau pergi, pas nemuin arahnya mau ke Cirebon. Ya, gue gak pake mikir panjang lagi, langsung naik aja."

Helsa terdengar mendecih. "Kamu memang niat banget bersembunyinya. Siapa coba? Yang akan ngira kalau lo akan lari ke sana." terdengar suara tawa Valerie.

"Yang penting, kan gue bisa ngilang dulu untuk sementara waktu." cengengesnya.

"Ya udah, sekarang coba lo cari travel yang bisa berangkat secepatnya. Biar sudah malem, gue akan jemput lo kalau udah di Jakarta. Yang penting lo bisa nyampe malam ini juga."

"Gue belum kenal daerah ini, Hel. Gue musti nanya-nanya dulu nih. Mana tadi pagi, Si Kampret berhasil nemuin gue lagi." ucap Valerie dengan nada kesal.

"Maksud, lo?"

"Dylio.... Nemuin gue, Hel. Jadi sekarang, untuk keluar dari toko supaya tidak diketahuinya aja, gue harus mutar otak."

"Kutu kupret tuh orang, bener-bener nekad ya, ngejar lo. Suami lo aja gak nyari-nyari, tapi dia?"

"Gue juga lagi bingung, ini. Gue tutup dulu teleponnya. Mau bicara sama yang punya toko, sekalian mau nanya-nanya." kembali Valerie menarik napas dengan kasar, saat menutup teleponnya. Pikirannya agak kalut.

Dengan cepat, ia menghadap pada yang punya toko, mengatakan yang sebenarnya. Yang punya toko itu, seorang ibu setengah baya. Selama Valerie bekerja padanya, sikapnya sangat baik.

Bersyukur yang punya toko sangat mengerti, bahkan berpesan bila Valerie gagal dalam wawancara kerjanya, boleh bekerja kembali di tokonya.

Dengan bantuan yang punya toko, Valerie bisa memesan travel untuk menuju Jakarta. Dan setelah Valerie menceritakan permasalahannya dengan Dylio, ibu toko itu bisa mengerti dan siap membantunya. Tentu saja Valerie sangat berterima kasih, atas semua kebaikannya.

Dengan mobil toko yang berupa mobil box, Valerie bisa keluar dari area itu. Disampaikan ke tempat penjemputan mobil travel yang sudah disepakati.

Tengah malam, Valerie sudah tiba di kota di mana ia dilahirkan. Hampir tiga bulan ia meninggalkan hiruk-pikuknya keramaian kota sejuta umat itu.

Helsa langsung menubruknya dengan pelukan, begitu melihatnya turun dari mobil.

"Lo, Val! Gue kangen tauuu.... Gak ketemu lo berbulan-bulan, kayanya bertahun-tahun." katanya manja, masih memeluknya dengan ketat.

"Duh, Hel. Kasih napas dulu ke gue dong." protes Valerie, megap-megap. Gimana tidak merasa sesak, coba? Posisi wajahnya ada di dada sahabatnya itu, karena Helsa sedang berdiri di trotoar jalan, sementara dirinya berada di bawahnya.

Helsa melepaskan pelukannya, tapi sekarang malah pipinya yang jadi sasaran kedua tangannya. Di uyel-uyellah pipinya itu dengan gemas. "Lo! Gemesin. Bikin gue pengen nabok ampe kejer, lo"

"Salah gue di mana coba? Napa lo yang jadi kesel?" tanya Valerie heran sekaligus pengen ketawa.

"Abisnya, lo ilang gak bilang-bilang. Gak ngabarin gue juga. Kan gue kesel, Val. Kenapa lo gak cerita, kan gue bisa bantu lo."

"Maafin gue, Hel. Niat gue memang lagi nenangin diri dulu, setelah dapet kejutan seperti itu. Namun, akhirnya kan orang yang pertama gue hubungi juga, adalah

Lo? Lo sahabat gue yang paling terpercaya." bujuk Valerie, agar sahabatnya itu tidak lagi merajuk.

"Udah kangen-kangenannya?" tanya seseorang yang dari tadi berdiri, memperhatikan interaksi antara kedua gadis di hadapannya itu.

"Kak Andre?!" dengan nada terkejut. Valerie langsung menghampiri kakak Helsa yang berkulit putih itu dengan rasa segan. Menyalaminya sambil tersenyum. "Maaf, Kak. Kehebohan Hel, memang sangat menyita perhatian." kekehnya.

"Udah gak aneh memang. Bukan Helsa namanya, kalau gak bikin heboh. Sebaiknya, kita cepet naik ke mobil, ya. Ini sudah sangat malam sekali." ajak Andre, sudah mau beranjak untuk masuk ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.

"Bentar, Kak. Nona cantik ini, pasti sepulang kerja belum sempet makan. Kasian kan, kalau terus di biarin perutnya keroncongan? Mampir bentarlah, Kak. Di tempat nasi goreng kek atau di tukang sate kek." bujuk Helsa pada kakaknya.

"Udah gak apa-apa, Hel. Gue gak laper banget ko." cegah Valerie, merasa gak enak pada Andre yang sudah direpotkan untuk ikut menjemputnya di tengah malam, harus kasih makan juga.

"Tenang saja, Val. Aku akan minta tagihannya ke Pak Bos, nanti." ujarnya, mengedipkan sebelah matanya, lalu masuk ke mobilnya. Di ikuti oleh Helsa dan Valerie.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel