Part 2 Cantik
Dua pangggilan yang dilakukan oleh Helsa sejak tadi sore, jam lima lebih, tak dihiraukannya. Namun, kali ini HP-nya berdering kembali, Valerie segera menarik tombol hijaunya.
Langsung terdengar, suara cemprengnya Helsa. "Valeee! Lo, mau bikin gue mati penasaran, ya?"
Sambil duduk di ranjang kecilnya, Valerie tersenyum. Merasa tergugu dengan sikap sahabatnya ini, yang tak berubah sejak ia mengenalnya. Meski usia setiap tahunnya bertambah, tidak membuatnya lebih dewasa. "Gue juga butuh istirahatlah, setelah capek bekerja. Lo gak sabaran amat sih."
"Abisnya telepon lo tadi pagi, gantung banget. Bikin gue penasaran tahuuu." rungutnya, kesal.
Valerie malah tertawa, ia sudah tahu sifat gak sabarannya Helsa. "Sengaja. Gue mau ngerjain, lo."
"Tuh, kan? Emang lo Kambing! Udah, cepet lo cerita."
"Lagian lo kepo amat, sama hidup gue sih?"
"Abisnya lo gak bisa dihubungi. Gue jadi heran, kan?"
"Dylio gak hubungi lo, gitu?"
"Emang kenapa? Yang nikah sama lo kan Fernand, kenapa yang ditanyain malah Dylio?"
"Ya, pasti ada hubungannyalah. Monyet yang satu ini, memang nyebelin. Dia udh bikin ulah, yang membuat gue malu banget."
"Hah! Maksud lo gimana, emang apa yang terjadi?"
"Dylio nyium gue, pas di depan keluarga gue juga keluarga Fernand."
"Sebentar...sebentar, gue kurang ngerti nih." sela Helsa, cepat. "Itu kejadiannya, kapan? Ko gue gak tahu...?"
"Pas udah resepsi. Dia udah nunggu, di depan pintu kamar pengantin gue."
"Astagaaaa....!! Dylio nekad banget, sih. Terus gimana dong? Lo gampar dia, atau gimana?"
"Gue mana sempet kepikiran ke situ. Yang ada, gue shock banget. Gak nyangka, dia perlakukan gue kayak gitu." Valerie mengelus Lola, yang kebetulan menghampirinya, lalu meringkuk di pangkuannya. "Dan yang paling menyakitkan gue, saat dia bilang di hadapan semuanya, bahwa gue sudah jadi miliknya."
"What...gak salah tuh? Beraninya dia bilang begitu? Gue saksinya, kalau lo belum pernah diapa-apain sama dia. Duh, nasib lo apes banget, Val. Terus setelah itu, lo jadi gimana?" tanya Helsa.
"Ya, gue kaburlah. Lihat semua mata, udah menghujat gue. Membela diri pun percuma."
"Fernand....?"
"Dia cuman diem, tersenyum sinis gitu. Gak tahu yang dipikirnya apa. Gue langsung cabut, lari ninggalin semuanya."
"Jadi, lo kabur? Terus sekarang, lo ada di mana?" tanya Helsa lebih penasaran lagi.
"Ada deh. Nanti juga gue keluar dari persembunyian. Hanya waktunya kapan, gue juga belum tahu. Nunggu hati gue bener-bener siap ketemu lagi sama Fernand."
"Lalu Dylio, lo akan biarkan begitu aja? Gue jadi ikut gemes sama sikapnya. Gak gentel banget sih. Malah nama lo dirusak sama dia."
"Dengan gue menolak dia aja, udah bikin dia tersiksa, Hel. Gue gak nyangka aja, ternyata perhatian dia ke gue itu, ada modusnya." raut Valerie jadi sedih.
"Lonya aja yang gak peka, Val. Padahal semua orang tahu, kalau Dylio sangat memuja lo. Aishh...ikut keki, gue. Sekarang, Lo fokus aja, gimana caranya supaya bisa meyakinkan Fernand. Bahwa lo masih gadis tingting yang belum tersentuh. Kalau lo butuh bantuan, gue siap jadi saksi hidup lo, selama ini."
Valerie terkekeh, "Gue percaya sama lo, tapi gue mau menghadapi Fernand sendiri. Gue punya niat untuk menjadi sekretarisnya, supaya bisa deket dan lebih mengenalnya."
"Boleh tuh, apa yang bisa gue bantu?"
"Untuk sekarang, karena lo bekerja di sana, tolong infoin ke gue, kapan Fernand butuh seorang sekretaris."
"Siap! Gue pasti bantu, lo."
"Dan tolong rahasiakan ini dari siapapun." Valerie menutup obrolan teleponnya, dengan pesan seperti itu.
Setelah obrolan jarak jauh dengan sahabatnya, Helsa. Valerie mulai serius memikirkan langkah selanjutnya, bilamana ia bertemu dengan Fernand.
Ia belum mengenal Fernand yang baru ditemuinya sekali, itu pun dalam keadaan dirinya berdampingan di kursi pengantin. Belum ada obrolan yang bisa ditebak, mengenai pribadinya seperti apa.
Jangankan Fernand, Dylio yang sudah dikenalnya bertahun-tahun itu saja, ternyata tak bisa dikenalnya dengan baik. Ia merasa tertipu dengan sikap baiknya selama ini. Atau memang benar, seperti apa kata Helsa, kalau dirinya itu, tidak peka? Atau mungkin dirinya saja yang terlalu naif.
Orang yang menikah karena perjodohan, memang tidak mudah untuk dijalani. Seperti cerita-cerita yang dibacanya di novel online. Gak nyangka, kalau dirinya sendiri mengalaminya.
Kalau mengingat ekspresi Fernand saat kejadian itu, sepertinya dia marah. Ia telah membuat laki-laki itu, dilukai harga dirinya. Kalau ia ada pada posisi Fernand pun, pasti akan punya penilaian yang sama. Jadi pikiran yang keliru inilah yang harus ia perbaiki.
Valerie tahu, hal ini tidak akan mudah untuk ia perjuangkan. Namun, mengingat kalau pernikahan ini, untuk sekali dalam seumur hidupnya. Ia akan berusaha mempertahankannya, terlepas apakah ia akan berhasil bisa mencintai Fernand atau tidaknya. Juga, apakah Fernand akan percaya jati dirinya yang sebenarnya? Yang jelas, Valerie tidak akan menyerah dulu, sebelum maju untuk mengklarifikasi omongan Dylio waktu itu. Kata-katanya, sudah jelas bermaksud mencoreng nama baiknya. Sehingga semua orang, beranggapan kalau tubuhnya sudah diberikan pada Dylio.
'Kampret! Memang Si Dylio.' rutuknya, kesal. Valerie mengutuk perbuatannya. Apakah Dylio mengira dengan cara itu, bisa membuatnya jadi miliknya? Tentunya, tidak! Justru kalau ia punya senjata di tangan, pasti saat ini, sahabatnya itu sudah mati ditembaknya.
Valerie meninju matras, sampai si Lola yang sedang meringkuk nyaman di pangkuannya, terlonjak kaget. Mengeong dengan melasnya, seolah mempertanyakan, apa salahnya.
Valerie memeluk Lola, membelai punggungnya dengan lembut. "Cup..cup...Aku gak marah sama kamu, Lola. Kamu tuh sahabat yang tak akan mungkin menghianatiku." tanpa terasa ada yang bergulir di pipinya. Setetes air mata, yang baru mau turun, setelah sebulan ini ditahannya.
Saat kejadian itu, Valerie tidak menangis. Begitu pun hari-hari setelahnya. Namun, saat ini, ketika mengingat betapa teganya Dylio pada dirinya. Valerie jadi merasa sedih, merasa dihianati dan merasa sudah kehilangan satu sahabat yang dikasihinya. Dirinya terlalu polos, menganggap kalau sahabatnya itu, tidak mungkin mampu menyakiti hatinya. Sangat naif, memang.
Namun, apa yang dihadapinya sekarang? Dylio telah menghancurkan pernikahan yang belum sempat dimulainya. Bukan sebuah cinta yang penuh kasih, tapi cinta yang ditunggangi oleh suatu ambisi. Mampukah, ia memaafkan Dylio? Entahlah. Kebaikannya yang begitu banyak, ternyata dengan mudahnya tertutup oleh satu kejahatan yang dilakukannya, dengan sengaja.
Valerie yakin, tindakan Dylio itu sudah direncanakan sebelumnya. Bukan tindakan inpulsif, karena patah hatinya. Monolognya terhenti saat mulutnya menguap. Rasa kantuk yang menyerangnya, benar-benar telah membuatnya terlelap. Sebelum jam menunjukan pukul delapan malam. Valerie membayar, kekurangan tidurnya dimalam sebelumnya.
Hari-hari selanjutnya, ia lalui biasa-biasa saja. Tiada kejutan berarti. Paling cerita Helsa yang mengabarkan tentang Fernand. Tentunya setelah ia pulang ke rumahnya dan sudah santai di kamarnya.
"Tahu gak, Val? Itu sekretarisnya suami lo, udah ganti lagi. Gue kecolongan, telat dapat infonya." celotehnya, mengawali obrolan saat teleponnya tersambung.
"Cepet amat gantinya." tanya Valerie heran.
"Itulah yang gue herankan. Lo tahu, gak? Kalau selama dua bulan ini, dia udah ganti tiga kali sekretaris. Aneh kan?"
"Ck.."decak Valerie. "Lo tahu, penyebabnya apa?"
"Yang gue denger sih, karena Fernand galak banget. Gak bisa sekretarisnya salah dikit, dia pasti marah. Terus, dia paling gak suka kalau sekretarisnya itu genit, kecentilan gitu. Yang pakai bajunya seksi, pasti dia suruh pulang untuk ganti baju. Sadis, kan?"
Valerie terdiam, ia memang belum punya gambaran tentang pribadi suaminya. Agak kaget juga, dengar cerita dari sahabatnya ini.
"Woi...! Ko diem sih. Lo pingsan, Val? Saking terkejutnya denger cerita gue mengenai suami lo yang super galak itu?"
"Gue masih idup, Hel." jawabnya. "Gue merasa kasihan aja sama sekretaris-sekretaris yang gampang dipecatnya itu. Apalagi gue ya, Hel? Yang udah ada cacatnya, di depan dia."
"Soal itu, gue belum punya pendapat, Val. Kalau ngeliat permasalahan dia sama lo, sepertinya Fernand kecewa atas sikap lo."
"Gue jadi sedikit ketar-ketir denger cerita lo, mengenai sikapnya itu."
"Ya, wajar sih. Siapa yang tidak marah coba? Di hari pernikahannya, sang pengantinnya kabur gitu aja."
"Iya juga sih. Bagaimana pun gue harus siapkan mental sekuat baja, agar dapat menghadapinya."
"Gue yakin, dari ngeliat sikap lo, juga wajah innocence lo, akan mampu menghadapinya, Val."
"Yakin bener, lo."
"Abisnya otak lo itu, masih polos banget, Val. Kalau Fernand udah mengenal lo, tanpa lo menjelaskan siapa lo yang sebenernya pun, pasti Fernand sudah bisa membedakannya. Mana gadis yang sudah tercemar sama gadis yang belum tersentuh."
"Hm...semoga gitu." Valerie agak ragu-ragu.
"Lo tahu? Tadi gue ketemu sama dia, pas di rapat para eksekutif perusahaan. Duh, Val. Saat dia lewat, wanginya enak banget. Sampai gue meleleh kaya lilin ulang tahun. Tubuhnya tinggi. Gue jadi keinget sama pemain basket idola gue, waktu SMA dulu. Sayangnya doi malah naksirnya sama elo. Lo inget, kagak"
"Maksud lo, Si Marvel?"
"Yup, dia orangnya. Dan yang bertingkah kebakaran jenggotnya malah Si Dylio. Dia yang nangtangin duel di lapangan. Karena Marvel telah berani-beraninya mengatakan ke temen-temennya, kalau dia naksir lo."
"Waktu itu, sempet heboh sih. Gue yang tidak tahu menahu, malah jadinya kebawa-bawa."
"Jelaslah, dua cowok idola se-SMA, memperebutkan satu cewek. Dan yang menyedihkan, ceweknya malah cuek-cuek aja.
"Gue kan gak ngerasa naksir keduanya. Jadi salahnya gue, di mana? Mereka sendiri yang salah, kenapa harus pada berantem."
"Hati lo terbuat dari apa sih? Ko gak peka banget. Kasian tahu, wajah tampan mereka jadi pada bonyok."
"Sebenernya gue agak kesel juga sama mereka. Gara-gara kelakuannya, nama gue jadi ternodai. Banyak temen yang jadi musuhin gue. Bilangin gue belagulah, sok kecantikanlah. Gue empet banget, tahuuuu."
"Eh, dodol! Lo itu nyadar nggak sih? Kalau lo itu cantik? Pernah ngaca gak, lo?"
"Di sekolah itu, banyak yang cantik, Hel. Termasuk elo. Kulit wajahnya udah pada licin, sebening kristal. Lah gue? Lo juga tahu, jangankan lipstikan, bedak aja, gue masih pakai bedak babby. Sampai sekarang."
"Ck...Coba lo ngaca, telisik muka lo. Dari hidung, mata, pipi, bibir dan semua yang ada di muka lo. Aslinya, saat liat lo nikah? Gue sampai merinding. Lo bener-bener terlihat cantik bingit, Val. Kayak boneka."
"Ya, cantiklah. Bokap gue, nyewa make up artis. Yang biasa aja bisa cantik, kan? Udah ah. Malah ngelantur ke mana-mana. Lanjut, mending lo cerita suasana di kantor, gimana?"
"Duh, minat juga lo denger cerita tentang Fernand? Mulai ada yang menggelitik di hati lo, ya?" goda Helsa, yang membuat wajah cantik sahabatnya itu, bersemu merah jambu.
"Ih, lo kan tahu, gue belum sempet mengenalnya. Mana ada, langsung bikin gue kesem-sem sama dia." sangkalnya, tidak mau mengakui kalau hatinya mulai berdebar.
"Kalau gue sih, sekali liat udah bikin klepek-klepek. Kalau bisa di transfer, buat gue aja tuh Si Fernand."
"Ish...memang uang bisa di transfer? Ngaco, lo."
"Tuh kan, gak rela kan, lo? Kalau Fernand disabet sama cewek lain."
"Inget, Hel. Bagaimana pun dia udah jadi suami gue."
"Serius amat, gue hanya becandalah." kekeh Helsa dari sebrang selulernya.
"Ya udah, makasih lo udah cerita sama gue. Gue tunggu info berikutnya, ya?" Valerie bermaksud mengakhiri obrolannya.
"Siap, anggap mata gue jadi matanya lo." terdengar cengengesan Helsa, sebelum menutup teleponnya.
