Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 1 Kabur

Menenangkan diri di tempat tersembunyi

Valerie Aquella Allent 23 tahun. Melayangkan pandangan ke sekitarnya, dari balik jendela rumah kostnya yang kecil. Sudah sebulan lebih, ia tinggal di rumah kost-nya itu, setelah pelariannya.

Badannya terasa lelah, karena seharian ini, toko tempatnya bekerja, cukup ramai pembelinya. Ini bukan pekerjaan yang sesuai harapannya. Namun, sekedar penyambung hidup sebelum ia benar-benar berani keluar dari persembunyiannya.

Dirinya yang sebenarnya, bukanlah seorang pengecut. Dia adalah gadis yang tegas dalam bersikap dan berani melawan yang berbuat tidak adil padanya.

Namun, saat kejadian dipernikahannya itu, ia memang lebih memilih lari. Tidak ada gunanya memberi penjelasan, karena semua melihat kejadian di mana Dylio Varco yang tiba-tiba memeluk dan menciumnya.

Itu sebuah fakta yang tidak bisa di sanggahnya. Jelas, alasan apa pun yang akan dikatakannya, tidak akan membuat mereka percaya. Jadi, ia memilih diam dan pergi. Ia butuh waktu untuk memikirkan sikap selanjutnya.

Semua pasti mengira kalau Dylio sudah memilikinya, yang berarti dirinya sudah tidak suci lagi. Padahal, itulah ciuman pertama yang diberikan Dylio padanya. Sahabatnya itu berubah jadi jahat dan telah berhasil mempermalukannya, di depan keluarganya juga keluarga suaminya. Valerie jadi membencinya.

Kalau memang sahabatnya itu punya perasaan padanya, kenapa tidak menyatakannya? Padahal, begitu banyak kebersamaan mereka selama ini.

Kemudian Valerie jadi mengingat kembali, saat ia bilang akan menikah pada Dylio.

"Dy, lo jangan patah hati ya, kalau gue menikah nanti." ucap Valerie, saat mereka sedang makan siang di sebuah kafe. Masa perkuliahan mereka sudah berakhir, hanya tinggal menunggu waktu di wisudanya saja.

Dylio nampak nyantai, mungkin ia mengira itu hanya sebuah gurauan. "Emang siapa lakinya yang mau sama lo?" ejeknya, tak percaya. "Setau gue, lo dari SMP sampai kuliah, gak pernah punya pacar."

Mata Valerie melebar, kesal. "Yeee ... lo tahu, kalau yang naksir gue tuh banyak. Berhubung di samping gue selalu ada elo, mana ada cowok yang berani deket-deket sama gue. Yang ada tuh, lo akan jotosin semua mahluk yang deketin gue, ngerti lo.." tujuknya ke muka Dylio. "Di pikir-pikir, lo kayaknya jadi jongos gue deh." cemberutnya.

"Apa lo bilang?" sentak Dylio tidak terima, "yang ada tuh, lo sebagai bini gue. Makanya gue jagain terus, biar gak ada yang berani nyentuh lo."

"Siapa yang suka sama lo? Gue cuman sahabat lo, gak lebih." tegas Valerie.

Terlihat Dylio menatapnya dengan intens, membuat Valerie agak jengah. "Ngapain lo liatin gue terus? Ada belek emang di mata gue?" selorohnya, sambil mengusap-ngusap sudut matanya dengan lentik jarinya.

Dylio mendecih, nampaknya kesal. Sangat susah untuk mengajak gadis ini, diajak ngomong serius.

"Val, rencana lo setelah ini mau kerja di mana?" masih dengan tak melepaskan tatapannya.

Dari mulai kenal, masih di bangku SMP sampai sekarang. Ia selalu mengagumi wajah oval nan cantik ini. Kulitnya yang putih, hidung mancung dan bibir merah merekah, sangat indah. Membuat ia tidak bisa berpaling ke gadis lainnya. Padahal dirinya pun termasuk cowok yang banyak dikagumi teman-teman ceweknya, karena tubuh tingginya dan wajahnya yang tampan.

Hanya Valerie seorang, yang menganggapnya biasa saja. Gadis ini sepertinya belum terkena panah dewi asmara, hingga sikapnya anteng-anteng saja.

"Gue bilang mau menikah, lo malah gak percaya." cibir Valerie. Sepuluh tahun ia mengenal Dylio, sudah gak aneh bila bersikap saling ledek, saling menghina dan bahkan saling menghujat pun tak membuat mereka jadi tersinggung.

"Gue gak percaya." sangkalnya, padahal dadanya sudah berdetak tak nyaman. "Lo mau kan, bekerja di perusahaan bokap gue? Sebentar lagi juga, akan diserahkan ke gue. Jadi gue butuh lo, untuk dampingi gue terus." berusaha mengabaikan pernyataan sahabatnya, yang akan menikah itu tadi.

Valerie terdiam, omongannya malah tidak dianggap oleh Dylio.

Kali ini Valerie menatapnya dengan tegas. "Gue memberitahu lo, sekarang. Kalau gue benar-benar mau menikah, Dy."

Nampak wajah Dylio memucat, tatapannya jadi tidak fokus. Butuh tarikan nafas berkali-kali, agar wajahnya berwarna lagi. "Val, ini bukan candaan, kan?" tanyanya, untuk lebih memastikan.

"Kali ini, gue gak lagi bercanda. Dua minggu lagi tepatnya." pelototnya.

Dylio mengepalkan tangannya, di bawah meja. Rahangnya mengeras, tanda emosinya terangkat. Mengapa, Valerie akan menikah? Sungguh, gadis yang sangat tidak peka. Kalau selama ini dirinya sangat mencintainya.

Apakah gadis ini benar-benar tidak tahu, kalau selama ini ia menyimpan rasa? Meski ia tidak pernah menyatakannya, tapi dengan sikap pun seharusnya Valerie tahu. Tidak! Tentu saja Dylio tidak mengijinkan gadis yang sudah dicintainya sejak lama itu, dimiliki oleh laki-laki lain.

Kenangan Valerie buyar, dengan kehadiran Si Lola. Kucing kampung ini sudah jadi temannya sejak ia pungut dari pinggir jalan, dalam keadaan banyak luka. Sepertinya telah jadi mainan anak-anak sekitar. Hatinya tergerak untuk memelihara kucing berwarna hitam-putih itu. Tangannya mengelus bulu halusnya, dengan penuh rasa sayang.

Masih memeluk Si Lola, ia menutup jendela. Selain udara yang sudah mulai terasa dingin, juga hari sudah mulai menggelap. Menyalakan lampu, menaruh Lola di tempat tidurnya, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Malam semakin larut, tapi matanya belum mau terpejam juga. Seraut wajah malah muncul. Berkulit agak kecoklatan, tinggi dan wajah ganteng yang tidak bisa dipungkirinya. Itu penilaian pertama saat melihat calon mempelainya. Mereka benar-benar baru bertemu muka, saat pemberkatan nikah mereka akan dilaksanakan.

Ia tidak bisa menolak papanya, saat bilang akan menikahkan dirinya dengan laki-laki anak dari relasi bisnisnya. Setelah ia dinyatakan lulus dari Universitasnya.

Tidak tanggung-tanggung, relasinya itu seorang pengusaha yang bergerak dalam usaha perhotelan, restoran dan usaha lainnya. Pengusaha yang sangat sukses, Adolf Gughe dan anaknya yang bernama Fernand Gughe.

Sebelumnya, Valerie belum bisa bertemu dengan Fernand. Pria itu, masih ada sedikit urusan dalam menyelesaikan S2-nya di Amerika. Dan tepat di hari H-nya, Laki-laki itu datang, dengan segala kharismanya yang menawan.

Jantung Valerie belum pernah berdetak sekencang itu. Meski ia sering berpegangan tangan, bahkan dipeluk Dylio, tapi perasaannya biasa saja.

Namun, saat sedang mengucap janji, banyak kata-kata yang dilupakan Valerie, saking tidak fokusnya. Debaran jantungnya berdetak lebih kencang lagi, saat Fernand memasangkan cincin di jarinya yang panjang. Kukunya yang pendek-pendek, terlihat bersih. Apalagi saat bibir itu menyentuh dahinya dengan lembut dan ternyata tidak sampai di situ, bibirnya juga dicium cukup dalam. Meski hanya sekilas, tapi sangat berkesan dihatinya.

Karena tanpa persiapan sama sekali, membuat ia gugup. Kalau bisa, ingin saja ia menggali tanah yang dipijaknya dan menguburkan dirinya di sana. Namun, saat melihat tatapan Fernand dan senyumannya, hati Valerie jadi berubah. Terasa nyaman dan bahagia.

Tidak sadar, ia menyentuh bibirnya. Masih terasa hangat sentuhannya. Benar, itu ciuman pertamanya. Bersyukur, bukan oleh Dylio. Sahabatnya yang brengsek itu.

Saat ini, Valerie belum siap secara mental untuk menghadapi Fernand. Mungkin, suatu saat nanti ia berjanji akan menemui laki-laki itu, bila dirinya sudah benar-benar merasa tenang.

Valerie terbangun karena alarm HP-nya berdering tanpa henti. Matanya terasa masih sepet, sepertinya ia baru tertidur menjelang pagi.

Sebelum turun dari tempat tidur kecilnya, ia mematikan alarm dan mulai menautkan kedua tangannya untuk berdoa. Segala sesuatunya, ia serahkan pada kehendak Tuhan. Sang Pencipta, tempat utama yang jadi sandaran dari segala pengharapannya.

Sebelum berangkat kerja, ia mengingat teman baiknya Helsa. Sambil memegang HP-nya, ia menimbang-nimbang. Apa sudah waktunya ia menghubungi Helsa? Dia sahabat baiknya, bersama Dylio. Ia masih mengingat nomor telepon selulernya. Nomor SIM-nya sendiri sudah ia ganti hingga hubungan dengan orang-orang sebelumnya sudah benar-benar terputus.

Melihat jam, masih ada waktu 30 menit. Toko tempatnya bekerja, tidak begitu jauh. Cukup berjalan 10 menit, sudah sampai.

Masih dalam keadaan ragu-ragu, ia memencet 12 digit yang masih diingatnya. Tak lama terdengar nada sambung, yang berarti nomor Helsa masih aktif.

"Hallo..." terdengar suara Helsa. tertegun sejenak, sudah lama tidak mendengar suara sahabatnya itu. Padahal sebelumnya hampir setiap hari, selalu bersama-sama, karena mereka satu Fakultas di Administrasi Kesekretariatan. Sementara Dylio di Fakultas Manajemen Bisnis, dalam universitas yang sama.

"Hel," sapanya. Hening.

"Valeeeee....!" Sebuah teriakan, cukup memekakkan telingannya, hingga Valerie sedikit menjauhkan alat pipih itu. "Ini beneran, elo kan?" masih dengan nada tinggi.

"Iya, dodol! Ini gue."

"Njir! Kemana aja, lo?"

Terdengar cengengesan, dari Valerie.

"Gue lagi bertapa."

"Hahh? Lo kan udah nikah, mentang-mentang lagi honey moon, sampai nomor HP pun, lo non aktifkan. Takut diganggu, lo?"

Valerie terdiam sejenak, berarti berita kaburnya belum tersebar. Terbukti sahabat terdekatnya saja, sama sekali tidak tahu.

"Hel, lo udah bekerja? Masuk perusahaan mana?" tanya Valerie, mengalihkan topik.

"Udah dong, ikut kantornya kakak gue, kak Andre. Di perusahaan suami lo."

Deg! Helsa kerja di perusahaan milik Fernand? PT. Gughe Grup.

"Lo kenapa diam, nyonya CEO?" tanya Helsa sedikit heran.

"Oh, Hel. Lo betah kerja di situ?"

"Gue jadi sekretarisnya paman suami lo, di HRD, masih berusaha menyusaikan diri, gue baru bekerja seminggu ini soalnya. Heran gue, kenapa lo gak pernah muncul di perusahaan? Gue nunggu-nunggu untuk bisa ketemu lo."

"Gue masih bertapa, tadi udah bilang kan gue? Hm...menurut lo, Fernand orangnya gimana?"

"Wah, lo malah nanya pendapat gue tentang suami lo sendiri." Elsa terkikik, merasa lucu. "Suami lo itu cool banget deh, gantengnya gak ketulungan hingga banyak karyawan gagal fokus saat berhadapan dengannya. Val, lo beruntung banget sih punya suami sekeren itu." celoteh Helga yang tak bisa direm mulutnya.

Valerie menelan salivanya, Tiba-tiba merasa kering kerongkongannya. "Lo kan tahu, gue nikah karena perjodohan."

"Jadi lo belum ketemu chemitry-nya sama suami lo, gitu?" tanya Helsa, penasaran.

"Belumlah, dodol. Emang gampang? Ketemu aja baru."

"Njir, kalau gue nih, bakal langsung di lahap abis tuh. Kalau punya suami sekeren Fernand, tajir melintir lagi."

"Hush! Gue bukan lo, yang main nyosor saat di kasih kesempatan. Agresif banget lo." terdengar Helsa ngakak.

"Iya sih, lo kan gadis dingin sekutub utara. Dylio yang mepetin terus lo aja, gak pernah dianggap." Begitu nama itu disebut, membuat hati Valerie serasa diguyur air es.

"Lo tahu gitu, kalau Dylio punya perasaan sama gue?"

"Ya elah, itulah gak pekanya lo, Val. Orang mati-matian, ingin selalu ada di samping lo terus. Masa lo gak ngerasa sih?" Valerie merasa males untuk menjawabnya.

Valerie melihat jam sudah 30 menit berlalu. Ia dengan cepat meninggalkan kamar kost-nya. "Hel, sorry ya. Gue mau putus teleponnya, mau berangkat kerja. Nanti gue sambung lagi, malam setelah pulang kerja."

"Eh, bentar dulu, Val." seru Helsa.

"Gue bilang, nanti kita ngobrol lagi. Dan gue pesen sama lo, jangan cerita ke siapa pun, kalau gue ngehubungin lo."

"Kenapa, Val?"

"Nanti gue cerita lebih banyak lagi. Udah ya, Sel? Gue buru-buru nih. Sorry...."

Valerie menutup sambungan teleponnya. Meski ia tahu, Helsa di seberang sana masih dalam keadaan penasaran.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel