Part 8 Rikuh
Rikuh
"Lo, udah berhasil berdamai dengan Fernand?" tanya Helsa, begitu Valerie masuk ke kamarnya. "Hebat lo, dia segarang singa gunung gitu, dengan mudahnya lo taklukin."
Valerie malah nyengir. "Siapa bilang, gue udah bisa taklukin. Gue malah takut, tahu."
"Itu buktinya, dia udah bisa senyum lagi." Helsa tidak percaya.
"Emosinya belum stabil, Hel. Kadang marah, kadang baik. Gue nyadar, mungkin gue udah bikin dia kecewa sangat dalem, ya? Jadinya gitu."
"Ya, udah resiko lo sih, disabarin aja. Untuk saat ini lo nurut aja dulu sama maunya dia." saran Helga, yang mendadak dewasa banget.
"Itulah yang dimauin dia, Hel. Gue harus ikut dia tinggal bersamanya."
"Waw, itu bagus dong, Val. Berarti dia udah ngakuin lo sebagai istrinya."
"Deket dia aja gue udah gemetaran, Hel. Harus gimana, gue?"
"Lo, gemetarannya kenapa? Apa karena lo takut sama dia, atau karena lo terpesona sama dia?"
"Gue gak ngerti, Hel."
"Ish, gak jelas gitu sih." cebik Helsa.
"Gue belum merasa yakin aja kalau Fernand mau memaafkan gue secepat itu."
"Val, berlakukan sebagai istri yang baik, mulailah dengan cara manut apa kata suami. Jangan suami sudah berlaku baik, malah masih dicurigai."
"Bukan begitu, Hel. Kita hanya baru sehari bersama, tidak serta merta aku bisa mengenalnya."
"Gue bilang lo sangat beruntung, dapat suami tajir, ganteng lagi. Gak usah banyak berpikir, bersikap baik-baik seperti Valerie yang selama ini gue kenal." kini giliran Valerie yang mencebikkan bibirnya.
"Tumben otak lo lurus, Hel. Kata-kata lo, bijak banget kaya Mario Teguh." ledeknya.
"Inspiratif banget kan gue?" yang dipuji, malah makin kepedean.
"Kali udah kejedot pintu, Lo." timpal Valerie.
Helga mengerucutkan mulutnya, bertingkah childish lagi.
Valerie jadi mengulas senyum, lalu memeluk sahabat terbaiknya itu. "Gue pamit ya, Hel. Terima kasih atas semua bantuannya."
"Gue seneng kok, lo udah nikah. Sekarang lo punya keluarga sendiri yang bisa lo bangun bersama Fernand. Berbahagialah, Val. Lo pantas bahagia, setelah selama ini hidup lo penuh dengan tekanan."
"Iya, Hel. Terima kasih banyak. Hanya lo yang tahu hidup gue gimana. Hanya lo yang nerima Gue apa adanya dan sikap keluarga lo yang bikin gue nyaman selama ini. Terus terang, gue belum berani lagi pulang ke rumah. Tamparan papa waktu itu sangat keras sekali, kemungkinan papa masih marah sama gue."
"Gak usah lo pikirin terlalu peliklah, sekarang ini fokus aja dulu dengan hubungan antara lo dan Fernand."
Sasudah meninggalkan kamar Helsa, Valerie kembali menghampiri suaminya, yang sedang mengobrol dengan santai bersama orang tua Helsa.
Pada akhirnya mereka berpamitan. Valerie memeluk bunda, berulang-ulang mengucapkan terima kasihnya.
Semakin mendekati rumah Fernand, hati Valerie semakin ketar-ketir. Ia merasa pasti kalau sikap om Adolf yang kini sudah jadi mertuanya, akan berubah.
"Kenapa diam saja? Kamu takut akan berhadapan dengan papi?" seloroh Fernand, agak meledeknya.
"Seneng ya, aku akan disidang nanti oleh keluargamu." ungkap Valerie semakin down.
Fernand malah tertawa, "Aku kan sudah bilang, soal papi kamu sendiri yang harus menghadapinya."
"Apakah om Adolf segalak papaku?" ringisnya.
"Mungkin akan mengulitimu, karena gadis pilihannya telah berlaku mengecewakan. Dan ingat panggil 'papi', kalau kamu lupa? Akan semakin membuatnya marah." Fernand memperingatinya.
Valerie hanya menarik napasnya secara kasar. Rasanya seperti mau digiring ke tiang gantungan. Semakin dekat degup jantungnya semakin kencang.
Om Adolf yang dikenalnya sangat baik, selalu bersikap ramah padanya. Pesta-pesta yang diadakan keluarga Gughe, selalu meminta papanya untuk membawa serta dirinya. Itu terjadi setelah usianya 14 tahun, di mana Fernand sudah pergi ke Amerika untuk meneruskan kuliahnya di sana.
Valerie tidak pernah bertemu dengan Fernand. Ia hanya tahu namanya, tetapi tidak pernah tahu orangnya. Itu juga diceritakan saat om Adolf merasa kangen sama anaknya yang sedang bersekolah di luar negeri.
Valerie sama sekali tidak merasa penasaran ingin tahu, toh tidak ada sangkut paut dirinya dengan keluarga Adolf Guhe, selain hanya sekedar relasi bisnis papanya.
Namun, ia benar-benar dikejutkan ketika ayahnya memberitahukan bahwa anak Om Gughe akan dijodohkan dengan dirinya yang baru menerima ijasah kelulusan sarjananya.
Awal-awal Valerie menunjukan sikap protesnya, mengingat ia sama sekali tidak mengenal orangnya. Namun, papa dengan tegas mengharuskan untuk Valerie menyetujuinya.
Kembali Valerie menarik napasnya dengan kasar, sekarang ini dirinya sudah menjadi istri Fernand. Dengan skandal dihari pernikahannya, masih berbuntut panjang.
Hingga ia bingung sendiri, bagaimana untuk menjelaskan kepada orang-orang? Bahwa kejadian itu bukan dia yang ciptakan. Justru dirinya di sini yang jadi korbannya.
Memasuki rumah besar nan megah itu, Valerie mulai pasrah. Apapun yang akan dilakukan keluarga Fernand padanya, ia tidak akan melawan.
Ia tidak mungkin menyeret Dylio untuk mengklarifikasi soal skandal yang sudah dibuatnya. Valerie tidak mau berurusan lagi dengan Dylio, cukup ia atasi dan hadapi sendiri. Tekadnya.
Sebelum membuka pintu mobil, Fernand menepuk bahunya pelan. " Jangan terlalu tegang, keluargaku buka orang yang biasa menghakimi orang dengan kejam. Cukup tunjukan dirimu yang sebenarnya." Fernand melembutkan tatapannya, berusaha menenangkan hati istrinya.
"Aku akan hadapi." tegasnya.
Fernand mengakat sebelas alisnya, tersenyum. "Aku yakin, istriku tidak lembek. Kamu pasti bisa!" apakah Fernand sedang mengejeknya? Kalimat yang diucapkannya menyemangati, tetapi melihat ekspresi wajahnya membuat Valerie ingin meninjunya.
Ia segera turun dari mobil, disusul oleh Fernand. Berjalan bersisian menuju pintu depan.
Begitu masuk ke ruang tamu yang luas, sudah terlihat Adolf duduk di sofa dengan bersilang kaki. Di tangannya sedang memegang ipad ukuran 10 inci.
"Selamat sore, Pi." sapa Valerie, ketika sudah dekat dengan keberadaan lelaki setengah baya itu. Tubuhnya masih terlihat gagah, tidak jauh dari anaknya.
Adolf menurunkan kaca mata bacanya, melihat pada Valerie. Air mukanya tak menunjukan ekspresi apapun, tidak seperti biasa yang selalu ditunjukan bila bertemu dengannya. Tidak ada senyum di sana.
Pandangannya malah beralih pada putranya. "Berhasil juga kamu bawa gadis nakal ini, kemari."
Apa, dia gadis nakal? Apa yang sebenarnya ada dipikiran mertua laki-lakinya ini?
"Ya, kalau menantu Papi ini nakal, apa yang pantas dilakukan untuk menghukumnya, Pi?" provokasi Fernand.
Gila! Kenapa juga Fernand jadi ikut ada di pihaknya, bukan bersikap melindungi istrinya sendiri?
Adolf tampak menyeringai, melihat raut ketakutan pada Valerie yang lututnya sudah gemetaran.
Tanpa bicara Adolf pergi meninggalkan Valerie.
Valerie tersentak, "Papi ... Maafkan Valerie." melangkah maju, tapi tak di hiraukan oleh Adolf.
"Pi ... Vale minta maaf, Vale memang salah." lirihnya, matanya sudah berkaca-kaca.
"Salahnya, kenapa?" Adolf bertanya. Berrbalik, menghentikan langkahnya.
"Vale gak tahu kalau sahabatku Dylio akan bersikap seperti itu, Pi." dengan suara serak, Valerie menunduk tak berani melihat mertuanya.
"Urus aja istrimu ini, Fer. Itu bagianmu." Adolf bergerak mau meninggalkan mereka lagi.
"Pi... Fernand lebih menakutkan, dibanding Papi." celetuk Valerie, tanpa dipikir lagi.
Tiba-tiba terdengar gelak tawa Adolf. Sebenarnya dia sudah berusaha menahan tawa dari tadi, sejak Valerie meminta maaf padanya. Namun, pernyataan polos Valerie benar-benar telah membobol pertahanannya untuk tidak tertawa.
Beruntung Mercy, maminya Fernand hadir, langsung mendekati Valerie yang sudah bersimbah air mata. Ia memeluk bahunya Valerie, menegur dengan tatapan ke arah suaminya.
"Kalian ya, seneng banget gangguin Valerie. Kasian dong." sungut Mercy.
Adolf yang melihat Valerie makin tersedu di pelukan istrinya, langsung merapatkan bibirnya, kasian juga melihat gadis itu jadi menangis. Berjalan ke arah istri dan menantunya.
"Sini, Papi peluk." tawarnya.
Tubuh yang sudah terlihat ringkih itu berpindah kepelukannya. "Maafkan Papi juga, jangan terlalu dianggap serius. Kita sudah tahu kalau sahabatmu itu bermaksud mau mengacau. Tapi Papi percaya, kamu tetap sebagai gadis pilihan terbaik Papi."
"Papi....!" seru Valerie, semakin mengeraskan tangisnya. Ada kelegaan di hatinya, masih mendapatkan kepercayaan dari om Adolfnya.
Kemudian Adolf terkekeh. "Tapi memang kamu nakal, kenapa harus berlari? Bikin Fernand kaya cacing kepanasan aja."
Valerie mengangkat wajahnya, melirik Fernand yang terdiam, berdiri di tempatnya sedari tadi. Menatap papinya dengan wajah tidak setuju. Kenapa papinya harus bilang begitu juga? Dia tidak mau Valerie tahu betapa gelisah dan marahnya saat pengantinnya kabur dari hadapannya.
"Sudahlah Fer, tidak mudah bagi Valerie untuk memutuskan kembali kepada kita.
Kalian sudah menjadi suami-istri, jalanilah hidup kalian berdua dengan saling memupuk rasa cinta. Saling melupakan apa yang sudah terjadi. Toh, bukan salah Valerie juga." ungkap Adolf panjang lebar. Dia menyerahkan Valerie kepada Fernand.
"Jaga menantu kesayangan Papi ini baik-baik, jangan sampai kabur lagi." Adolf meninggalkan mereka, masih dengan sisa tawanya.
Mercy kembali mendekati menantu cantiknya, menggandeng bahunya. "Ayo, Mami anter ke kamar pengantinmu. Selama ini kosong, karena Fernand pun lebih betah tinggal di apartemennya."
Dengan wajah bersemu dadu, Valerie mengikuti mertuanya naik ke lantai dua.
"Ini kamarmu dan Fernand. Sudah bibi Jum bersihkan karena sudah lama tidak diisi."
Valerie untuk sesaat merasa terpana, melihat ruang kamar begitu besarnya. Ada king size bed dan sofa yang menghadap pada televisi berlayar besar pula. Lengkap dengan kamar mandi yang mewah dan walk in closet. Mami Mercy menunjukkan itu semua.
"Ini semua barang-barang pribadi Fernand." tunjuknya pada deretan baju-baju jas yang tergantung, di sebelahnya nampak pakaian yang terlipat rapih. Sekilas Valerie melihat lemari kecil berkaca, berisi jam dan barang lainnya. "Ini pakaianmu, Val. Khusus disiapkan Fernand untukmu." tunjuk Mercy kemudian, ke deretan pakaian wanita yang ada berhadapan dengan lemari terbuka milik Fernand. Tidak begitu luas, hanya di pisahkan oleh meja dan kursi rendah. Sepertinya untuk memakai sepatu.
Valerie terkejut saat ditunjukan baju-baju wanitanya. Ada yang tergantung, ada yang tersusun rapih juga. Lengkap dengan pakaian dalam, yang dilipat di laci khusus.
Di sebelahnya lagi yang tertutup pintu kaca, berjejer tas dan sepatu berbagai warna dan bentuk.
Valerie tertegun dibuatnya. Bagaimanapun semua ini sudah dipersiapkan dengan baik untuk dirinya.
Matanya berkaca-kaca lagi. Ia merasa belum pernah diberi perhatian seperti ini, meski di rumah orang tuanya sekalipun.
"Mami tahu selama ini kamu kurang dapat perhatian dari ibumu, juga papamu bersikap sangat keras. Sekarang kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini, jangan sungkan kepada mami, ya?"
Valerie langsung memeluk Mercy, tidak menyangka bahwa ibu mertuanya tahu tentang latar belakang kehidupannya. Entah dari siapa. Tidak menyangka juga akan diterima sebaik ini, setelah membuat sikap tidak menyenangkan mereka.
"Jangan menangis, sekarang waktunya kamu bahagia. Mami yakin Fernand mampu membahagiakanmu, dia sudah terlalu lama menunggumu." ungkap Mercy, tangannya sibuk menghapus air mata Valerie yang terus berderai di pipinya.
Sebenarnya Valerie agak penasaran dengan pernyataan 'terlalu lama menunggumu' dari Mercy.
'Terlalu lama?' Mereka kan baru bertemunya saat pernikahan saja. Namun seolah-olah mereka sudah saling kenal sejak lama. Lalu pakaian dan segala keperluannya ini, sudah dipersiapkan sejak lama pula? Namun, kenapa Fernand hanya menunggu saat ia bersembunyi? Malah ia yang datang sendiri kepadanya, tanpa mau berlelah-lelah mencarinya?
Valerie tidak ungkapkan pertanyaan yang ada di pikirannya itu kepada Mercy. Ia hanya menyimpannya di dalam hati.
"Terimakasih, Mi." katanya singkat. Banyak yang ingin diungkapkan, tetapi sedikit yang bisa ia utarakan. Hatinya terlalu penuh dengan rasa haru, setelah sekian lama tidak menerima dekapan kasih seorang ibu.
"Ya, sudah. Sekarang kita siap-siap untuk makan malam. Bersihkan dirimu dan berganti pakaian." tangan Mercy mengelus rambutnya dengan senyum yang sangat menenangkan hati.
Setelah ibu mertuanya menutup pintu, Valerie langsung masuk ke kamar mandi. Tidak begitu lama ia sudah keluar dengan jubah mandinya.
Ia terkejut saat Fernand sudah ada di dalam kamar, sepertinya baru masuk. Berdiri di tengah ruangan, menatapnya.
Valerie yang merasa rikuh, langsung mengambil langkah seribunya menuju ruang walk in closet. Dengan cepat mengambil pakaian dalamnya, lalu mengenakannya.
Walau Valerie tahu bajunya ber-branded terkenal semua, tetapi ia mengambil yang paling sederhana potongannya.
Baru saja hendak melepas jubah mandinya, ia melihat Fernand masuk keruangan yang sama.
Tadinya Fernand bermaksud mengambil baju gantinya, sebelum masuk ke kamar mandi. Mengingat nanti Valerie akan terlihat kikuk lagi bila keluar hanya mengenakan handuk melingkari pinggangnya saja.
Akan tetapi, saat melihat Valerie yang sekarang nampak rikuh karena ingin berganti pakaian, mendadak otaknya ingin kembali menggodanya.
