Bab 9 Pesona Memikat
Bab 9 Pesona Memikat
Anna tertidur bak mayat hidup. Sama sekali tidak bergerak hingga berjam-jam penuh seraya memeluk erat gulingnya. Gadis itu langsung terpejam lelap tidak lama setelah memasuki kamar suite di salah satu hotel bintang lima ternama yang telah direservasi oleh Vincent. Anna bahkan tidak sempat mandi ataupun makan. Setibanya di kamar tadi siang, Anna yang sudah kelelahan ingin segera merebahkan diri saat melihat kasur empuk di hadapan.
Namun tentu saja niatnya itu harus terhalang akibat mendapati Vincent yang berada di ruangan yang sama dengannya. Jantungnya kembali bertalu-talu—merasakan debaran aneh dengan kehadiran Vincent yang sialnya tidak ingin menjauh darinya. Saat memasuki kamar, Anna sempat sungkan bahkan hanya untuk sekadar mendudukan dirinya di sofa. Bahkan saat ditawari untuk istirahat, Anna menggeleng keras.
Keheningan langsung menyergap begitu Vincent dan Anna duduk bersebelahan dengan tidak ada satu pun dari mereka yang ingin membuka pembicaraan. Tidak lama setelah itu, Vincent kemudian keluar kamar dan meminta Anna untuk menunggunya. Vincent sadar bahwa Anna masih canggung berada di sekitarnya. Jadi ia memutuskan untuk memberikan Anna sedikit waktu dan ruang privasi untuk beristirahat sendiri di kamar.
Pria itu pergi selama hampir satu jam untuk membeli pakaian dan beberapa peralatan lain untuk Anna. Sebuah hal yang amat jarang untuk dilakukan orang sekelas Vincent tanpa menyuruh orang lain. Biasanya, ia langsung menghubungi Tristan jika ada hal yang ia butuhkan. Namun entah mengapa, kali ini Vincent tiba-tiba berinisiatif sendiri untuk pergi ke pusat perbelanjaan terdekat dan berkeliling untuk berbelanja sendiri.
Setelah kembali ke kamar, Vincent telah disuguhkan dengan pemandangan Anna yang telah terbaring lelah di kasur. Gadis itu meringkuk di balik selimut putih tebalnya, bahkan juga sempat mendengkur. Vincent yang menemukan Anna dengan kondisi alamiah tersebut hanya mampu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum gemas. Vincent bahkan dengan hati-hati membenarkan posisi kepala Anna yang sedikit terlihat tidak nyaman.
Vincent menatap kantung belanjaannya yang diletakkan di atas meja. Di dalam salah satu kantung yang ia bawa juga terdapat makanan yang telah ia beli untuk Anna. Vincent yakin jika gadis itu pasti belum makan seharian ini. Namun saking lelahnya, Anna malah tertidur. Tidak apa. Vincent sebaiknya membiarkan Anna beristirahat dengan baik saat ini. Gadis itu sudah melewati hari yang benar-benar berat.
Meskipun bosan dan hari sudah beranjak malam, namun Vincent tetap setia menemani Anna yang masih tidak sadarkan diri itu dengan duduk di sofa. Saat tengah sibuk dengan ponselnya, suara gumaman dari Anna membuat Vincent menoleh dengan cepat. Perlahan-lahan, kelopak manik hazel itu mengerjap sebelum kemudian terbuka. “Kau sudah bangun?”
Anna yang mendengar suara asing itu langsung terperanjat. Ia terlonjak kaget mendapati Vincent yang kini duduk tegak di sofa yang tak jauh dari kasurnya. Seketika itu juga Anna langsung terduduk di ranjangnya dan menatap Vincent dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah. “Kau... di sini?”
“Tentu saja. Kau pikir aku akan ke mana?”
Anna mengerjap beberapa kali, berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih berceceran di dimensi lain. Kemudian ia berdeham, menetralkan tenggorokannya yang amat kering sebelum bertanya pada Vincent yang masih menatapnya dengan tangan bersedekap. “Kau... menungguiku dari tadi?”
“Hm. Sempat keluar sebentar untuk berbelanja sebelum kau tertidur layaknya babi.”
“A... apa?” Anna langsung merengut, sementara Vincent mengulum senyum mengejeknya. Cih! Pria sombong itu rupanya juga pandai mengejek. Benar-benar menyebalkan!
“Kau... tidak pergi ke kantor?”
Vincent menggeleng. “Tidak perlu. Semuanya sudah ditangani oleh Angela.”
Anna ber-oh-ria sebelum menghela napas panjangnya. Oh, bukankah amat menyenangkan jika hidup sebagai orang yang punya kuasa seperti pria di hadapannya? Hidupnya terlalu mudah. Segala urusannya dapat ditangani dengan cepat tanpa perlu bersusah payah. Benar-benar hidup yang semua orang impikan.
“Kau ingin minum sesuatu?”
Anna hampir berdiri dari kasurnya untuk mengambil minumannya sendiri sebelum Vincent dengan tegas mencegah pergerakannya. Pria itu berjalan ke arah kulkas dan langsung dengan sigap menyodorkan air mineral dingin di hadapan Anna.
“Terima kasih,” ucap Anna kikuk seraya menerima botol air mineral tersebut.
Vincent yang kini duduk di tepi kasur tiba-tiba menempelkan telapak tangannya di dahi Anna, membuat sang gadis yang baru saja minum itu hampir tersedak akibat air yang belum sempurna tertelan. Untungnya, Anna sanggup mengendalikan diri dengan baik.
“Tidak demam. Syukurlah,” ucap Vincent seraya menatap sang gadis yang kini melotot ke arahnya akibat pergerakannya yang tak terduga. “Istirahatlah dulu di sini. Setidaknya hingga besok. Aku tahu kau masih kelelahan. Jangan pikirkan apa pun dan urus dirimu dengan baik.”
Anna mengerjap tak percaya saat mendengar sebuah nada ketulusan tersirat dari ucapan Vincent. Oh, jadi haruskah kini Anna sedikit terharu akan perhatian Vincent? Anna langsung memalingkan wajahnya yang hampir memerah. Astaga! Yang benar saja!
“Kapan terakhir kali kau makan?”
Anna tergugu mendengar pertanyaan tersebut, kebingungan harus menjawab apa. Saking terbebani dengan permasalahan yang menimpanya, ia sendiri bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mengisi perutnya dengan makanan. Seperti yang Vincent duga, gadis itu bahkan tidak mampu mengurus dirinya sendiri dengan baik.
“Kau ingin makan apa?”
“Apa saja.”
Karena makanan yang dibelinya sudah dingin, maka Vincent memutuskan untuk memesan lewat room service yang tersedia di hotel tersebut. Setelah menyebutkan beberapa menu, Vincent kembali menatap Anna yang masih betah terduduk tegak di ranjangnya dengan pandangan awas yang terarah padanya. “Selagi menunggu pesanannya datang, kau bisa mandi dulu.”
“Huh?”
“Mandilah dulu. Aku sudah menyediakan baju gantimu di kamar mandi.”
Anna masih bergeming di tempat. Bahkan kini dengan menampilkan ekspresi wajah yang tidak terkendali. Astaga! Bagaimana ini? Mengapa pikiran liar Anna langsung menjalar ke mana-mana? Benaknya terlalu bar-bar dengan membayangkan segala kemungkinan yang mungkin akan segera terjadi setelah ini. Anna memanglah cenderung lugu, namun ia tidak cukup polos untuk mengingat bahwa ini adalah malam pertamanya bersama Vincent—sang pria yang berstatus sebagai suami sahnya.
Bukankah... biasanya hal yang tidak-tidak akan terjadi setelah ini? Astaga! Anna tidak sanggup membayangkannya terlalu jauh!
“Kau tidak ingin mandi?” tanya Vincent yang seketika menarik Anna ke dunia nyata dari segala macam pemikiran rumitnya. “Hari sudah malam, Anna.”
“Ya. A... aku akan mandi. Tentu saja aku akan mandi.”
Setelah mengatakan itu dengan susah payah nan tergeragap, Anna langsung bergegas ke arah kamar mandi. Anna langsung mengunci pintunya rapat-rapat sebelum menyenderkan punggungnya di balik pintu dengan napas memburu. Aish, sial! Kini bahkan degup jantung kembali tidak mampu dikendalikan. Astaga! Terkutuklah ia dengan segala pemikiran liarnya! Tidak bisakah Anna memfokuskan diri untuk mandi saja tanpa mempedulikan hal-hal lain yang mungkin akan terjadi setelahnya?
Sebagai bentuk kepasrahannya akan keadaan, Anna kini mengepalkan kedua tangan seraya memejamkan matanya. Anna tahu berdoa di kamar mandi bukanlah tindakan yang sopan, namun bagaimana lagi? Hanya ini yang mampu Anna lakukan sebagai upaya terbaik—berharap jika Tuhan masih sudi mendengar doanya.
‘Berikanlah aku kekuatan untuk menjalani segala ujianmu ini, Tuhan!’
**
Anna keluar dari kamar mandi dengan langkah penuh keraguan. Ia kini tampil lebih layak dengan sweter dan celana training yang Vincent belikan. Vincent tidak tahu betul selera Anna, jadi ia hanya memilih pakaian yang sekiranya nyaman dipakai. Anna menengadahkan wajahnya takut-takut, sebelum pandangannya bertemu dengan Vincent yang tengah menunggunya di sofa, lengkap dengan beberapa hidangan yang tersaji rapi di hadapan.
Liur Anna seketika hampir tumpah ruah menyaksikan jejeran hidangan menakjubkan yang mampu membuat maniknya terbuka lebar tersebut. Aroma menggungah selera yang menusuk hidung langsung membuat perut kosongnya keroncongan. Persetan dengan rasa malu dan segala pemikiran negatifnya yang terlalu aktif berimajinasi! Tanpa membuang waktu lebih lama, Anna menempatkan diri di sebelah Vincent.
“Selamat makan!” Bahkan tanpa harus diminta, Anna dengan senang hati mengangkat sendoknya sebelum makan dengan amat lahap.
Vincent yang sempat terkejut dengan perubahan ekspresi Anna kini menatap gadis itu dengan pandangan yang terlalu sulit untuk mampu dijelaskan. Baru kali ini Vincent menyadari aura aneh sekaligus mengesankan dari seorang gadis yang membuatnya semakin terpikat. Anna benar-benar lugu. Kecanggungan yang terbangun di antara mereka kini mampu diruntuhkan dalam sekejap mata dengan deretan hidangan yang tersaji di hadapan.
Katakanlah pria itu memang telah kehilangan akal sehatnya, namun hanya dengan menatap binar dari manik hazel yang berpendar terang milik Anna sudah mampu membuat hati Vincent yang sekeras batu itu kini menghangat. Semakin Vincent menyelami manik favoritnya tersebut, maka Vincent akan semakin terpikat dengan segala apa yang ada pada diri Anna. Vincent benar-benar mabuk kepayang dengan obsesinya terhadap Anna.
Vincent menemukan pesona asing namun memikat dari kehadiran Anna, dan hanya gadis itu yang mampu membawa Vincent untuk terjerat pada kubangan daya tarik aneh tersebut. Tanpa Anna sadari, Vincent telah terjerat amat kuat pada pesonanya yang tak mampu terbantahkan. Vincent bahkan dengan senang hati membuat dirinya terjebak semakin dalam pada pusaran pesona memabukan sang gadis yang bahkan ia tidak mengerti.
Namun selama itu dengan Anna, Vincent rela terjebak di sana tanpa menemukan jalan keluar. Meskipun itu artinya... selamanya.