Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Memasrahkan Diri

Bab 10 Memasrahkan Diri

Anna terduduk di sofa dengan perut membuncit. Ia kekenyangan setelah menyantap makan malamnya hingga habis tak tersisa. Gadis itu benar-benar kelaparan dan tidak ingin menyia-nyiakan makanan yang telah dipesan oleh Vincent dengan porsi banyak. Anna tahu bahwa ia mungkin telah melenyapkan rasa malunya beberapa saat lalu. Namun apa boleh buat? Urusan perutnya menjadi sesuatu hal yang tak dapat dikompromikan.

Kini, Vincent tengah sibuk merapikan meja di hadapannya. Anna bukannya tidak tahu terima kasih. Ia bahkan sempat menawarkan bantuan pada pria itu, namun Vincent dengan tegas menolak dengan tatapan tajamnya.

‘Diam! Jangan banyak bergerak!’, begitu katanya.

Setelah itu, Anna tidak lagi mengusik Vincent, membiarkan pria itu bersikap semaunya tanpa berani menginterupsi. Lumayan juga, kan? Sedikit hiburan bagi Anna untuk melihat pria berkuasa seperti Vincent menampilkan keahliannya dalam membersihkan meja.

Lidah Anna sebenarnya kini terlalu gatal ingin menanyakan kapan pria itu akan pulang. Ya. Biarkan kali ini Anna sedikit naif dengan memberi alasan bahwa pria itu mempunyai rumah yang lebih mewah dan luas dibanding kamar hotel yang saat ini terlalu sempit untuk ditempati mereka berdua. Setidaknya Vincent yang terbiasa hidup di tempat yang lebih luas harus berpikiran seperti itu, bukan?

Namun lagi-lagi ucapan yang telah berada di ujung lidahnya itu harus tertelan kembali. Anna tidak punya keberanian semacam itu untuk bertanya, terlebih tentang pertanyaan yang cukup lancang tersebut. Bukankah itu mengindikasikan secara tersirat bahwa ia ingin mengusir Vincent? Oh, astaga! Jadi kini Anna harus bersiap diri dengan berbagai pergumulan pikiran dalam benak tentang hal-hal yang sempat ia lupakan. Tentang kemungkinan terburuk, serta segala pemikiran liarnya yang semakin tak terkendali.

Setelah meja sudah tertata rapi seperti sedia kala, Vincent kini kembali menempatkan diri di sebelah Anna dengan membawa dua kaleng minuman dingin.

“Terima kasih.”

“Oh ya, ini untukmu.”

Dahi Anna langsung mengernyit menatap benda yang disodorkan Vincent untuknya—sebuah kartu hitam dengan desain mewah. “Apa ini?”

“Kartu kredit. Untukmu.”

Ck! Anna tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui fungsi dari kartu ini. Maksudnya... untuk apa Vincent memberinya kartu ini padanya?

“Tanpa limit. Gunakan sesukamu.”

“Hah?!” Anna dibuat terperangah. “Ta... tapi... untuk apa kau memberikan ini padaku?”

“Anna, kau istriku.”

Anna langsung merinding mendengar kata tabu itu terucap santai dari pria di hadapannya. “Vincent, maksudku—”

“Bukankah sudah selayaknya seorang suami memberi nafkah yang layak pada istrinya?”

“Ya, tapi—”

“Sssstt!” Vincent kembali menghentikan Anna mengoceh. “Jangan membantah, Anna! Ini sebagai bentuk kewajibanku sebagai seorang suami.”

Anna hanya mampu terdiam saat Vincent meraih tangannya untuk digenggam. Pria itu bahkan menarik tangan Anna dan menciumnya perlahan. Setelah itu, Anna dibuat tercekat saat manik pekat setajam elang itu menatapnya, membuat netra mereka saling bersitemu dalam keheningan. Perlahan-lahan, Vincent semakin mendekat, mencondongkan tubuhnya ke arah Anna, lalu mengatakan sebuah kalimat mengejutkan dengan suara beratnya. “Jadi... bisa kita mulai—tentang kewajibanmu sebagai seorang istri?”

Uhuk!

Anna tersedak hebat dengan kerongkongannya yang seketika mengering, bahkan hampir menjatuhkan kaleng minuman yang masih digenggamnya. Sementara Vincent kini menarik diri dengan senyum kecil yang tersungging di bibirnya. Kini Vincent menyadari satu hal—bahwa menggoda Anna adalah suatu kesenangan yang tak mampu terlewatkan. Ya. Vincent hanya berusaha untuk mencairkan suasana dengan candaan mesumnya.

Vincent tidak munafik bahwa saat ini benaknya dipenuhi pemikiran yang sama dengan Anna—bahkan mungkin lebih parah. Oh, ayolah! Ia juga seorang pria yang memiliki getaran nafsu pada lawan jenis, terutama jika itu dihadapkan dengan sang gadis memikat di hadapan. Namun Vincent kali ini harus menekan keinginannya mati-matian—sebuah hal yang mustahil dilakukan oleh pria yang terbiasa mewujudkan segala keinginannya dalam sekejap mata.

Vincent tahu segala situasinya masih membingungkan bagi Anna. Ini terlalu cepat—bahkan amat cepat. Vincent tengah berusaha untuk memberikan Anna ruang dan waktu yang lebih lama demi mampu menerima kehadirannya secara utuh. Saat ini, lengkungan senyum tulus menghiasi sudut bibir Vincent akibat kehebohan yang baru saja terjadi pada Anna. Segala ekspresi yang ditampilkan sang gadis merupakan ketertarikan sendiri baginya.

Tangan Vincent terulur untuk mengusak surai Anna dengan gemas, membuat sang gadis semakin tidak terkendali dengan raut wajahnya yang kentara salah tingkah. “Aku suamimu, Anna. Mulai saat ini, aku yang akan memenuhi setiap kebutuhanmu. Jadi jangan ragu untuk meminta apa pun dariku.”

Anna merasakan pipinya memanas saat ini. Hanya ditatap seperti itu oleh Vincent mampu membuat efek tidak terduga bagi tubuhnya. Padahal Vincent hanya mengusak rambutnya, namun kini Anna merasakan hatinya yang berantakan. Astaga! Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Setelah susah payah mengendalikan diri, Anna menarik dirinya lebih jauh dari Vincent seraya berdeham kikuk. Ia langsung berinisiatif untuk menyalakan televisi demi mengalihkan diri dari kecanggungan.

Saat menemukan film romantis terputar di layar besar tersebut, Vincent langsung bertanya, “ingin nonton bersama?”

“Huh?”

Anna bahkan belum menjawab apa pun, namun Vincent dengan cekatan telah beranjak dan melangkah untuk mengambil beberapa camilan dan minuman kaleng yang langsung disajikannya di hadapan Anna. “Jika mengantuk, segeralah tidur. Jangan terlalu memaksakan diri,” ucapnya yang telah kembali duduk di samping Anna dan menaikkan volume televisi.

“Aku... baru saja bangun.”

“Aku tahu, tapi kau tidak boleh tidur terlalu larut. Kau masih butuh banyak beristirahat.”

Anna mengangguk patuh seraya melirik jam yang berada di tengah ruangan. Tidak terasa, waktu kini telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ucapan Vincent barusan juga seketika membuat hati Anna tenang dan berhasil mengenyahkan segala pemikiran negatifnya yang terus berkeliaran hampir tidak terkendali. Setidaknya malam ini biarlah Anna melupakan segala kekhawatirannya dan hanya memfokuskan diri pada film yang terputar di hadapan.

Film romantis seperti ini bukan favorit Anna sebenarnya, terlalu klise menurutnya. Namun kali ini Anna akan berusaha menontonnya sampai akhir. Siapa tahu dengan menonton film ini ia akan cepat bosan dan segera mengantuk? Ya. Meskipun Anna baru saja bangun beberapa jam yang lalu, namun Anna sangat ingin untuk segera terlelap kembali dibanding terus-menerus mengingat bahwa kini ia berada di ruangan—lebih tepatnya kamar—yang sama dengan seorang pria.

“Kau... suka film ini?” tanya Anna memberanikan diri demi memecah keheningan setelah sekian lama. Film telah berjalan setengah jalan dan ternyata alurnya dapat dinikmati dan tidak terlalu membosankan seperti dugaan Anna. “Vincent?”

Anna mengulang lagi panggilannya pada sang pria namun belum juga ada respon yang berarti hingga membuat kepalanya spontan menoleh. Anna langsung mengerjap kaget tatkala mendapati Vincent ternyata tengah terlelap di sandaran sofa dengan dengkuran halusnya. Anna mengguncangkan perlahan lengan Vincent, mencoba membangunkan Vincent agar setidaknya pria itu bangun dan beranjak untuk tidur di kasur.

Anna memang telah berniat untuk tidur di sofa, namun sepertinya pria itu tidak kunjung bangun meski sudah Anna bangunkan. Vincent sudah jatuh terlalu lelap dalam alam mimpinya. Gurat kelelahan tergambat jelas di wajahnya. Tanpa sadar, Anna mengulas senyumnya. Ujung bibirnya tiba-tiba terangkat ketika meneliti Vincent yang kini terlihat damai dan polos bak anak kecil. Sebuah tampilan yang sangat jauh berbeda dari kesehariannya yang terlihat kaku dan dingin.

Melihat Vincent yang terasa tidak nyaman dengan posisinya, maka Anna memutuskan untuk memberi pria itu selimut dan memasangkan bantal di dekat kepalanya serta sedikit membenarkan posisi tidurnya. Anna melakukan semuanya dengan perlahan demi membuat Vincent tidak terganggu dari tidurnya. Namun bukannya segera menarik diri setelahnya, Anna malah terdiam seraya menatap lekat pria itu.

Ada getaran aneh saat Anna memandang wajah Vincent dari jarak sedekat itu. Dapat Anna rasakan napasnya yang bergerak teratur. Seketika itu, berbagai pemikiran mulai muncul dalam benaknya. Vincent kini adalah suami Anna secara sah. Sebuah kenyataan yang masih sulit Anna percayai bahkan dengan status kontrak yang mengikat di antara mereka.

Semakin lama, Anna semakin betah untuk menelisik wajah sang pria lagi dan lagi. Dan entah mendapat dorongan dari mana, kini tangan Anna dengan lancang menggapai, bahkan menyusuri rahang Vincent, sebelum mengelus luka bakar yang ada di wajah sang pria. Sedikit rasa penasaran menggelitik hatinya sebelum muncul ke permukaan, tentang apa yang menjadi penyebab luka ini. Luka yang menjadikan sosok Vincent begitu menyeramkan.

Sadar akan tindakannya yang terlalu berani, Anna mengerjap. Katakanlah ia sudah sinting hingga menyentuh Vincent seperti itu. Anna langsung menghentikan pergerakan tangannya. Ia hampir menjauh dari pria yang masih memejamkan matanya itu sebelum dengan tiba-tiba tangan Vincent tanpa diduga bergerak untuk menahannya.

Anna gelagapan. “Vi... Vincent?”

Dan di detik setelahnya, manik pekat itu terbuka secara perlahan. Anna tentu saja langsung kaget setengah mati. Astaga! Jangan bilang... jika sedari tadi Vincent sadar atas apa yang telah Anna perbuat dengan menyentuh wajahnya?

“Anna?” panggil Vincent dengan suara berat nan serak.

“Y... ya?”

Manik mereka bersibobrok cukup lama. Pandangan mereka saling mengunci satu sama lain. Tanpa sadar, kini Vincent semakin mengikis habis jarak di antara mereka. Kini Anna bahkan mampu merasakan deru napas Vincent yang terasa panas bertubrukan di wajahnya. Keheningan seketika menjerat, membuat kesyahduan yang tiba-tiba terbangun sebagai atmosfer di sekeliling. Sekali lagi, Vincent kembali dijatuhkan dengan amat dalam pada pesona memabukkan Anna.

“Istriku.”

“Huh?”

“Kau istriku.”

Tepat setelah mengatakan dua kata singkat tersebut, Vincent langsung mempertemukan bibirnya dengan milik Anna tanpa aba-aba. Perlu sepersekian detik bagi Anna untuk menyadari situasi yang lebih tidak waras kini tengah terjadi menimpanya. Vincent mencium Anna! Pria itu merenggut ciuman pertamanya!

Anna jelas hanya mampu melotot saat Vincent kini bertindak lebih jauh dengan mencecap bibirnya semakin dalam, mendominasi aksinya dengan pergerakan yang semakin intim. Makin lama, benda tak bertulangnya berusaha menelusup. Anna merasa asing, namun dimensi memikat yang baru pertama kali ia rasakan itu membuatnya candu. Vincent menuntunnya dengan lembut, menyesuaikan ritme pergerakan hingga tercipta harmoni selaras dari keduanya.

Atmosfer memabukkan di sekeliling membuat Anna yang sebelumnya amat pasif kini memberikan akses lebih jauh bagi Vincent untuk mengeksplor bibirnya. Tangan kokoh Vincent terulur, menarik tengkuk Anna agar semakin mendekat, memperdalam pagutan mereka dan semakin jauh tergoda akan sensasi dahsyat tersebut. Sensasi tak biasa ini makin menjerat sang gadis. Lidah lugunya meliuk, mengikuti ritme Vincent yang semakin cepat dan panas.

Kupu-kupu saat ini seolah tengah berterbangan di perut Anna, menggelitik untuk kemudian menghentaknya hingga menciptakan erangan tertahan di sela-sela pergulatan lidah itu. Persetan dengan gemuruh suara televisi! Anna sudah tidak peduli lagi dengan akhir cerita dari film romantis tersebut. Baik Anna maupun Vincent hanya ingin menikmati momen luar biasa ini tanpa banyak berpikir.

Dan entah siapa yang memulai, namun kini Anna telah berada di atas pangkuan Vincent. Tangan mungil gadis itu bahkan bergerak dengan sendirinya untuk melingkar di leher Vincent, bahkan sesekali meremas surainya dengan gerakan pasrah. Sadar akan kondisi sang gadis yang sesaat kemudian terasa kesulitan bernapas, Vincent menghentikan aksinya dengan enggan. Benang saliva menggoda di bibirnya tercipta saat wajah Vincent menjauh.

Ibu jari Vincent mengusap permukaan bibir Anna setelahnya. Napas keduanya compang-camping, saling berebut oksigen dengan dada yang naik-turun. Ciuman panas itu kini telah terlepas, meninggalkan bibir bengkak menggoda serta rona merah di pipi sang gadis. Manik hazel itu menatap Vincent sayu dengan bibir setengah terbuka, masih terengah. Astaga! Vincent bisa gila di detik ini juga!

“Vincent... aku—”

“Bolehkah?” Alih-alih membiarkan Anna menyelesaikan ucapannya, tangan Vincent kini bergerak untuk membelai wajah Anna. “Aku yakin kau tidak terlalu lugu untuk mengetahui hal apa yang akan terjadi setelah ini.”

Anna menelan salivanya. Manik pekat itu kini menghunus ke arahnya dengan kilat gairah yang tak terbantahkan. Vincent memang meminta izin, namun nada dominasi yang terselip dalam ucapannya membuat Anna tahu bahwa ia tidak memiliki pilihan untuk menolak. Vincent menarik kembali keinginannya untuk memberi Anna waktu untuk bisa menerimanya secara utuh. Sesuatu yang baru saja bangun di bawah sana—di lipatan pahanya—membuat Vincent harus memprioritaskan kebutuhan biologisnya melebihi apa pun.

Kini, hanya deru napas yang saling bersahutan terdengar memenuhi ruangan. Vincent telah membawa Anna ke ranjang dan mencumbunya dengan lebih dahsyat. Anna membiarkan dirinya dikuasai oleh Vincent tanpa perlawanan apa pun. Melihat Anna yang kini terlentang di bawah kungkungan tubuhnya membuat Vincent merasakan kepasrahan dari Anna. Kemurnian Anna adalah hal menakjubkan untuknya, yang bahkan tidak pernah Vincent temukan pada gadis lain. Ada selipan rasa salah yang tiba-tiba menggelayuti hatinya, namun Vincent sudah tidak bisa berhenti.

Vincent butuh pelampiasan. Segera.

“Jangan menyuruhku untuk berhenti, Anna.” Vincent mengecup singkat bibir Anna yang kini sempurna menjadi candunya. Tangannya kembali mengelus perlahan wajah Anna sebelum merayap turun dan dengan perlahan menyingkap sweternya. Diamnya Anna membuat Vincent mengartikannya sebagai tanda setuju. Lagi. “Terimalah aku, istriku.”

Dan setelah mengatakan itu, Anna benar-benar memasrahkan dirinya di hadapan sang pria yang kini telah menjadi suaminya. Ya. Meskipun masih merasa asing, namun Anna membiarkan dirinya terhanyut dalam setiap pergerakan Vincent yang menuntunnya dengan lembut dan perlahan. Malam itu menjadi saksi, bahwa Anna telah dengan sadar diri menyerahkan sesuatu dari yang paling berharga di dirinya hanya pada Vincent—kesuciannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel