Bab 11 Kekuasaan Mutlak
Bab 11 Kekuasaan Mutlak
Anna menguap lebar lalu maniknya terbuka perlahan, mulai membiasakan cahaya matahari yang memasuki celah tirai. Tangannya tergerak untuk mengucek matanya yang masih terasa berat. Namun saat hendak menggeliat, Anna merasakan pegal yang tak tertahankan di sekujur tubuhnya. Ia bahkan merintih—merasakan sensasi perih dan ngilu di bagian intinya. Di detik itu juga Anna langsung mendapatkan kesadaran secara utuh dengan tubuhnya yang langsung terduduk tegak. Rasa kantuknya menguap entah kemana.
Jantungnya berdebar keras. Anna seketika ditampar kenyataan dengan menyadari apa yang telah diperbuatnya semalam. Anna telah melepaskan sesuatu yang paling berharga di dirinya—mahkotanya—pada Vincent dengan suka rela. Astaga! Semua ini bagai mimpi bagi Anna. Semua kejadian ini benar-benar tidak masuk akal. Mulai dari pertemuannya dengan Vincent, tawaran sintingnya, bahkan kini Anna yang sudi menjadi istri simpanan pria itu demi biaya rumah sakit orang tuanya.
Bahkan kejadian semalam—
Oh, astaga!
Anna bahkan masih jelas mengingat bagaimana panasnya kamar ini tadi malam. Gairah, erangan, keringat, bahkan rintihan saling bersahutan dari keduanya yang saling menyatu dan membutuhkan satu sama lain. Semua itu terekam jelas bagai roll film yang terputar ulang dalam benaknya. Anna langsung menggeleng keras bahkan mengacak-acak surainya frustrasi. Wajahnya menelungkup di lipatan lututnya. Saat ini ia benar-benar kacau dengan berbagai pemikiran rumit yang membuat kepalanya hampir meledak.
Ingin menyesal pun sepertinya percuma. Penyesalan tidak akan menyelesaikan apapun. Jadi tidak bisakah Anna lenyap saja dari muka bumi ini sebagai penyelesaian atas segala permasalahannya, Tuhan? Mengingat kejadian mengerikan itu membuat Anna seketika ingin mengubur dirinya hidup-hidup. Pipinya kini bahkan mulai bersemu merah. Oh, astaga! Bagaimana cara mengenyahkan segala pemikian sialan ini?
Anna bahkan tidak mampu membayangkan bagaimana ia akan berhadapan langsung dengan Vincent nantinya. Ia sepertinya tidak akan sanggup bertatap muka dengan pria itu. Oh, dan ngomong-ngomong soal Vincent, batang hidung pria itu belum juga nampak. Sekeliling mata memandang, Anna tidak mendapati tanda-tanda kehadiran Vincent di kamar itu. Saat terbangun beberapa saat lalu, Anna memang tidak menemukan pria itu di sisinya.
Saat hendak berdiri untuk mengambil air minum, ujung manik hazel sang gadis menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya. Objek tersebut diletakkan di nakas sebelah ranjang—seolah memang diisyaratkan untuk segera ditemukan setelah Anna terbangun. Setangkai mawar dan sebuah kartu ucapan dengan desain cantik tergeletak di sana. Dengan hati-hati Anna meraih kedua benda tersebut lalu membuka kartu ucapannya.
‘Selamat pagi, istriku. Maaf, aku mendadak harus pergi karena ada urusan kantor.’
Cih!
Anna langsung berdecih begitu membaca isi kartu ucapan tersebut. Surat itu langsung dilemparnya kembali ke nakas tanpa menyentuh bunganya sama sekali. Vincent pikir Anna akan merasa luluh akibat sepucuk kartu bodoh ini? Juga mawar yang tergeletak tidak berarti di sampingnya? Oke, Anna memang merasa bersyukur karena dengan kepergian Vincent berarti Anna tidak perlu menemuinya dalam waktu dekat ini, namun bagaimana bisa Vincent berlaku seperti ini padanya?
Bagaimana bisa pria itu tega meninggalkan Anna yang bahkan masih tertidur di bawah selimut dengan kulit telanjangnya tanpa berkata apa pun? Bagaimana bisa Vincent bersikap dingin seperti itu padanya padahal semalam mereka telah—
Aish! Berhenti! Berhenti memikirkan hal itu bagai seorang maniak, Anna!
Anna mendengus sebelum meraih pakaiannya yang teronggok di ujung ranjang untuk kemudian dipakainya asal dengan sedikit ringisan nyeri. Aish! Anna makin merutuk dalam hati. Rasa kesal menggelayuti hatinya akibat Vincent yang meninggalkannya dalam kondisi seperti ini sendirian. Demi menetralkan kepalanya yang mulai memanas, Anna berjalan meski harus sedikit tertatih ke arah kulkas dan meraih satu botol air mineral dingin dari sana. Ia bahkan langsung menenggak isinya hingga tandas tak bersisa.
Merasa bosan, Anna kemudian teringat akan ponselnya yang tak tersentuh di dalam tasnya. Ia bahkan baru menyadari jika ponselnya kehabisan baterai sejak kemarin. Puluhan notifikasi langsung menyerbu ponselnya saat Anna menyambungkan ponselnya pada soket pengisi daya. Seketika itu juga, Anna langsung melotot akibat pemberitahuan mendadak tentang jadwal salah satu mata kuliah yang diadakan siang ini. Padahal, seharusnya hari ini perkuliahan hanya diadakan sore hari.
Astaga! Bagaimana ini? Hari bahkan sudah hampir siang dan Anna sama sekali belum mempersiapkan apa pun untuk perkuliahannya.
Baiklah. Anna tidak memiliki pilihan lain untuk segera bersiap diri. Lagipula ia bukan tipe gadis yang akan meninggalkan kelas terkecuali dengan sebuah alasan darurat. Anna terlalu sayang dengan uang kuliahnya yang terbuang percuma dibanding memikirkan kondisinya saat ini. Namun sebelum melangkah ke kamar mandi, Anna mendapati dirinya yang kebingungan dengan pakaian yang harus ia kenakan untuk pergi kuliah.
Anna lalu berjalan untuk membuka lemari. Benar saja, di dalam sana telah disediakan beberapa pilihan pakaian untuknya. Namun bukan seperti pakaian yang biasa ia kenakan—kaus atau sweter dengan jeans belel favorit—pakaian yang ada di sana membuat manik Anna terbelalak bukan main. Vincent rupanya telah menyediakan baju ganti dengan berbagai macam gaun bermodel one piece.
Apa-apaan ini? Sama sekali bukan selera Anna!
Manik Anna melebar seraya membolak-balik baju tersebut. Tidak adakah pakaian lain yang akan lebih nyaman dipakai olehnya? Namun sayang seribu sayang, lagi-lagi Anna terjebak dan tidak mampu membuat pilihan lain. Anna tidak mungkin mengenakan pakaiannya kemarin yang sudah bau. Anna harus segera berhenti mengeluh saat menyadari waktu yang terus berjalan. Baiklah. Meski enggan, namun Anna harus segera mempersiapkan diri.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Anna langsung bergegas ke arah kamar mandi dengan langkah pasti. Ia ingin segera membersihkan dirinya dengan mengguyur seluruh tubuhnya agar tersterilkan dari pemikiran-pemikiran yang akan selalu mengarah pada pria yang telah menjerumuskannya pada situasi menyebalkan seperti ini—Vincent.
*****
Setelah meyakinkan diri, Anna keluar dari kamar hotelnya dengan rambut terikat kuncir kuda serta mengenakan gaun bermodel one piece selutut berwarna pastel. Anna cukup kesulitan saat berjalan, membuatnya berkali-kali harus menurunkan gaunnya. Pakaian ini membuatnya yang tidak terbiasa mengenakan rok merasa risih. Anna juga memilih untuk melapisi gaun tanpa lengan itu dengan jaket miliknya. Baginya, pakaian ini terlalu menunjukkan lekuk tubuhnya sehingga merasa orang-orang yang berpapasan dengannya akan memperhatikan dengan pandangan tidak nyaman.
Setelah turun dari lift, Anna memeriksa ponselnya untuk melihat rute kampus. Akan membutuhkan waktu setengah jam untuknya tiba di kampus dari sini. Setelah memastikan waktunya cukup, maka Anna memutuskan untuk berjalan sebentar ke halte bus yang jaraknya hanya lima menit dari hotel. Baru saja tungkai mungilnya itu akan melangkah, pergerakannya harus terhenti tatkala mendapati wujud nyata seseorang yang amat familiar kini memasuki pintu depan lobi hotel didampingi oleh asisten setianya—Vincent.
Astaga! Bagaimana ini? Anna belum siap untuk menemui pria itu.
“Kau mau kemana?” Tanpa membiarkan Anna sanggup lari untuk menghindarinya, Vincent telah lebih dulu menemukan Anna dan langsung menghampirinya. Pria itu bahkan menyambutnya dengan todongan pertanyaan.
“Ke kampus.”
Vincent melirik arloji di tangan kirinya. “Bukankah seharusnya kau tidak ada jadwal siang ini?”
Anna memalingkan wajahnya. Oh, Anna seharusnya tidak kaget lagi saat pria itu tahu betul tentang jadwal kuliahnya.
“Ada jadwal mendadak. Aku harus tiba di kampus sebelum jam satu siang ini.”
“Apa-apaan ini?” Alih-alih menggubris jawaban yang baru saja dilontarkan sang gadis, perhatian Vincent langsung teralihkan dengan penampilan Anna saat ini. Wajahnya kentara menampilkan ekspresi tidak suka. “Kenapa kau menutupi gaun itu dengan jaket lusuhmu?”
“Huh?”
“Lepas!”
“Apa?”
“Lepas, Anna!” titah Vincent tak terbantahkan. “Kau ingin aku yang melepaskannya?”
Deg!
Anna langsung terperangah. Kelakuan Vincent benar-benar membuatnya kehilangan kata. Terlebih, pria itu bahkan mengucapkan kalimatnya dengan nada yang cukup tinggi hingga memancing perhatian orang-orang yang tengah lalu-lalang melewati lobi. Sial! Anna mendengus. Saat ini ia hanya ingin melebur bersama debu demi lenyap dari hadapan Vincent. Baiklah. Anna akan mencoba bersikap lebih waras dengan mengalah dibanding melawan Vincent yang akan memperumit keadaan. Dengan terpaksa, Anna dengan segera menanggalkan jaketnya.
“Ini lebih baik,” ucap Vincent yang kemudian mengambil jaket Anna dan melemparnya ke arah Tristan yang berdiri tegap di belakangnya dengan mulut terbungkam. “Buang jaket itu!”
“Hei! Itu milikku!” protes Anna yang tentu saja tidak akan digubris Vincent.
“Tidak lagi. Aku akan membelikanmu yang baru. Sekarang, ikut aku!” Vincent menarik tangan Anna, membuat sang gadis berjalan terseok karena kewalahan saat mengikuti langkah panjangnya. Anna ingin memberontak—tentu saja—namun sadar bahwa kekuatan Vincent bukanlah tandinngannya.
“Kau akan membawaku kemana?”
“Pusat perbelanjaan.”
“Hah?”
Vincent membawa Anna tepat ke depan pintu mobilnya yang terparkir di pelataran hotel. “Aku akan membelikanmu beberapa pakaian yang layak untuk kau pakai. Aku tidak ingin kau memakai pakaian lusuhmu lagi.”
Anna mengernyit. “Lalu bagaimana dengan kuliahku. Aku harus—”
“Bolos satu mata kuliah tidak akan membuatmu dikeluarkan dari kampus, bukan?” tukas Vincent dengan enteng.
Anna hampir melayangkan protesnya sebelum Vincent mengarahkan telunjuknya tepat di hadapan sang gadis—mengisyaratkan agar Anna berhenti bicara.
“Dan juga—” Vincent tiba-tiba menarik ikat rambut Anna hingga terlepas, membuat rambut panjangnya jatuh terurai. Anna masih dalam mode kagetnya saat Vincent dengan tenang merapikan sedikit tatanan rambut Anna sebelum melanjutkan kalimatnya yang kelewat tidak masuk akal. “—jangan lagi mengikat rambutmu dengan asal seperti ini! Aku tidak suka leher jenjangmu terekspos.”
Anna lagi-lagi dibuat tidak percaya dengan segala ucapan sinting Vincent. Dan, sialnya Anna tidak diberi kesempatan untuk membantah sedikit pun. Ia tidak lagi memiliki kebebasan. Kehidupannya telah berubah, seperti bukan miliknya lagi. Dan kini, Anna hanya mampu pasrah saat lagi-lagi Vincent dengan seenaknya membawa tubuh mungilnya memasuki mobil dan duduk di sana sesuai perintahnya. Vincent telah menguasai Anna, bahkan melebihi kekuasaan Anna atas dirinya sendiri.