Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Singkat namun Membekas

Bab 12 Singkat namun Membekas

Anna mendengus kesal saat harus berjalan kembali ke arah Vincent yang tengah terduduk santai di sofa. Saat ini mereka tengah berada di salah satu butik ternama yang terletak di pusat perbelanjaan kota. Dan, ini adalah kali kelima Anna keluar dari kamar ganti dan memperlihatkan baju yang tengah dikenakannya pada Vincent. Anna benar-benar jengah saat harus menuruti segala titah Vincent dengan mencoba berbagai jenis pakaian tanpa sanggup membantah.

Kini Anna tengah mencoba gaun selutut dengan rok mengembang berwarna soft pink yang membungkus pas tubuh mungilnya. Gaun yang elegan nan sederhana itu mampu membuat sang gadis terlihat anggun nan imut—jauh dari kesan membosankan yang biasa terlihat. Jujur, dalam diamnya Vincent merasa terkesan dengan gadis di hadapannya yang kini bahkan terlalu malu untuk menatapnya.

Seperti yang sudah diduga, Vincent hanya tinggal memoles berlian yang sempat terjatuh di lumpur. Anna sudah cantik natural, namun selama ini semua itu tertutupi dengan penampilannya yang tidak menarik. Hanya membutuhkan sedikit sentuhan, Vincent telah mampu mengubah Anna menjadi gadis idaman yang sudah pasti diinginkan para pria. Namun jangan berharap siapapun bisa memilikinya, atau bahkan bermimpi sekalipun untuk mendekatinya.

Vincent tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi, karena hanya dirinya yang mampu memiliki Anna. Seutuhnya.

“Baik, aku juga akan ambil yang ini,” ucap Vincent seraya tersenyum puas meneliti penampilan Anna. Vincent berdiri, lalu tatapannya langsung mengarah pada jejeran pakaian, sepatu, bahkan hingga tas dan segala aksesoris yang berderet rapi di sana. Vincent rasa itu akan cocok dengan Anna. Jadi tanpa harus berpikir panjang ia memutuskan untuk membeli semuanya. “Aku juga ambil semua ini.”

Salah satu pelayan butik di sana langsung mengangguk ramah, bahkan memanggil pelayan lainnya untuk segera membungkus rapi pesanan bejibun Vincent.

“Kau akan membeli semuanya? Untukku?” tanya Anna dengan riak terkejut yang tak mampu disembunyikan.

“Ya. Tentu saja.”

“Tapi... itu bukan seleraku!”

“Itu seleraku. Dan kau terlihat cocok mengenakannya.”

“Kalau begitu kau saja yang pakai semua itu!” Anna memberontak. “Kesepakatan kita tidak melibatkan ini, Tuan! Kau tidak bisa memaksaku untuk mengenakan apa yang tidak aku mau.”

“Benarkah? Lalu haruskah aku menambahkan poin ini sebagai tambahan pada kontrak kita?”

“Hei!”

Menanggapi Anna yang makin naik darah, Vincent hanya tersenyum simpul. “Dengar, Anna! Aku melakukan ini juga demi kebaikanmu.”

Anna memalingkan wajahnya seraya mencebik. Cih! Kebaikan pantatmu!

Bahkan hingga kini kontrak tertulis di antara mereka belum juga ditindaklanjuti oleh Vincent. Jadi bagaimana ia akan mempercayai Vincent sepenuhnya dengan segala ucapannya yang semakin hari dirasa semakin tidak masuk akal? Anna merasa telah diperbudak. Vincent terlalu berkuasa atas dirinya bahkan mendobrak kebebasannya secara terang-terangan. Anna benar-benar jengah dengan keadaan ini, namun sialnya ia juga tidak memiliki cara lain untuk keluar dari segala situasi sinting ini.

“Lagipula... tidakkah kau lelah dikucilkan dan diejek seperti itu oleh teman-temanmu?”

Anna merasa ditarik paksa dari lamunannya. Ia langsung menoleh cepat dan mendelik pada Vincent.

“Fashion terrorist!”

Deg!

“Jangan biarkan siapapun merendahkanmu seperti itu!” Vincent mencondongkan wajahnya hingga kini manik mereka bertatapan sejajar. “Menurutlah, Anna. Sudah kukatakan aku akan memberikan yang terbaik untukmu.”

Mendengar penuturan Vincent membuat perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, Anna merasa sangat malu. Bagaimana mungkin Vincent tahu tentang julukan mengerikan itu? Oh, pria itu pasti mendengarnya akibat ucapan lantang Amy yang mempermalukannya di lobi kantornya saat itu. Astaga! Jadi bahkan saat itu Vincent mendengar semua ucapannya? Dan pria itu memilih untuk berpura-pura tidak acuh padanya?

Namun di sisi lain, hati Anna juga merasa dicubit secara perlahan. Maniknya bahkan sempat tertegun beberapa saat dengan binar tak biasa. Ucapan Vincent seolah menamparnya—membawanya ke alam sadar bahwa bahkan orang yang baru saja mengenalnya juga tahu akan penderitaan yang harus dilaluinya selama ini. Harus diakui, hidupnya memang menyedihkan, bukan? Sial! Kini Anna merasa benar-benar tidak punya muka lagi di hadapan pria itu.

Alih-alih menghindar, Anna malah mendengus seraya makin mengangkat dagunya untuk sengaja menantang Vincent. “Dan kau pikir ini yang terbaik untukku? Dengan memaksakan kehendakmu atas sesuatu yang bahkan tidak aku sukai?”

“Terkadang suatu kebaikan memang harus sedikit dipaksakan. Bukankah begitu?”

Anna sempurna terperangah di detik itu. Ia menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Pria ini benar-benar!

“Pakailah!” Sekali lagi, Vincent menyuruh Anna untuk memakai sepasang sepatu yang berwarna senada dengan gaun yang tengah dikenakannya. Pria itu bahkan dengan amat sopan berjongkok di hadapan kaki Anna dan berniat untuk memasangkannya langsung.

“Aku benci mengenakan hak tinggi,” tolak Anna dengan tangan bersedekap.

Vincent menengadah. “Aku sengaja memilihkan yang tidak terlalu tinggi untukmu.”

Astaga! Baiklah. Anna terpaksa melepas sepatu kets kesayangannya demi memakai jenis sepatu yang paling dibencinya—hak tinggi. Ia terlalu lelah untuk menolak dan hanya ingin segera pergi dari sini. Dadanya terlalu sesak saat menyadari beberapa pasang mata yang sedari tadi terus mengawasinya—terutama yang berasal dari para pelayan butik. Oh, astaga! bisa-bisanya mereka menatap Anna penuh rasa iri sementara kini Anna merasa menjadi tawanan yang tengah dikerangkeng dalam kekuasaan Vincent.

Setelah tersenyum puas menatap penampilan Anna, Vincent kemudian bergerak menuju kasir untuk membayar semua tagihannya. Ia bahkan menolak dengan tegas saat Anna menyodorkan black card miliknya untuk membayar. Lagipula semua belanjaan itu memang untuknya, bukan? Namun Vincent yang angkuh itu tidak mau menerimanya. Vincent membayar dengan kartu lain miliknya—yang tentunya tanpa limit.

Tanpa harus kerepotan membawa berbagai macam barang belanjaan yang akan memenuhi satu lemari besar tersebut, Vincent memutuskan untuk menyerahkan segala urusan itu pada Tristan yang saat ini telah kembali ke kantor sesuai titahnya. Biarkan asistennya itu yang akan mengurus barang-barang ini nanti yang akan langsung dikirim ke mansion-nya. Ya. Vincent akan bersikeras untuk sesegera mungkin membawa Anna ke tempat tinggalnya.

Ck! Vincent benar-benar tengah memamerkan kekayaan serta kekuasaannya yang tidak terbatas.

“Jadi bisa kau antar aku ke kampus sekarang?” tanya Anna setelah keluar dari butik.

Vincent menggeleng setelah melirik arloji di tangan kirinya. “Belum saatnya.”

“A... apa?”

“Kurasa kita membutuhkan sedikit sentuhan lagi di sini,” ucap Vincent seraya tersenyum misterius ke arah Anna yang lagi-lagi hanya mampu membuat gadis itu terlihat makin bodoh dengan kernyitan di dahinya. “Tujuan selanjutnya adalah salon.”

“Apa?!”

*****

Anna mendesah lelah dengan pandangan kosong. Berbeda dengan beberapa jam yang lalu saat ia bersikeras untuk pergi ke kampusnya demi mengikuti jadwal kuliah, kini rasanya Anna ingin bolos saja hari ini. Saat ini Anna tengah duduk rapi di mobil yang baru saja diparkirkan Vincent di pelataran kampusnya. Kelas selanjutnya akan dimulai setengah jam lagi dan Anna tidak berniat sama sekali untuk mengikutinya.

Tidak dengan tampilannya saat ini yang membuatnya enggan untuk bergerak kemana pun. Vincent berhasil menyeret Anna ke salon. Di sana, gadis itu diberi sentuhan make-up natural yang flawless hingga membuatnya tampil menawan. Rambut panjangnya bahkan kini ditata dengan bergelombang di ujungnya. Benar-benar berbeda dan... luar biasa! Vincent bahkan harus berdecak kagum beberapa kali saat memandangi Anna setelah selesai dirias.

Mata elang nan tajam Vincent memang terlalu jeli untuk memilah sesuatu—termasuk memilih Anna sebagai istrinya. Lihat? Hanya diberi sentuhan sedikit saja, kini tampilannya mampu mengalihkan perhatian dari puluhan pasang mata untuk meliriknya. Penampilannya membuat pangling. Anna menjelma menjadi orang yang benar-benar berbeda dari biasanya. Dan, Vincent menyukai perubahan tersebut yang menjadikan Anna—gadis yang kini menjadi miliknya—lebih bisa dihargai.

Ya. Vincent hanya ingin membuat kehadiran Anna lebih dihargai oleh orang-orang sekitarnya. Tidak ada lagi yang boleh menghina atau merendahkan Anna seperti waktu itu. Dunia memang terlalu kejam untuk menilai kepribadian seseorang berdasarkan penampilannya saja. Tidak munafik, namun penampilan seseorang memang akan mempengaruhi kedudukan sosialnya di mata masyarakat yang mengedepankan sisi penampilan dibanding kepribadian.

“Kenapa masih diam? Kau tidak akan masuk kelas?” tanya Vincent yang heran melihat gadis di sampingnya yang tidak menunjukkan pergerakan apapun.

“Tidak bisakah aku pulang saja?” Anna malah bertanya balik dengan memelas.

“Kenapa? Bukankah kau bersikeras untuk masuk kelas sore ini?”

“Aku tidak biasa menggunakan pakaian seperti ini.”

Vincent mendesah lelah seraya memutar maniknya jengah. Ini bukan pertama kalinya Anna mempermasalahkan penampilannya yang membuatnya tidak nyaman. “Mulai sekarang kau harus terbiasa, Anna.”

“Tapi—”

“Anna, kau sangat mengangumkan,” potong Vincent cepat. Manik pekatnya menatap Anna dengan penuh kesungguhan. “Percayalah. Tidak ada yang salah dengan penampilanmu.”

Anna menggigit bibir bawahnya seraya menatap cemas. Ini juga bukan kali pertama bagi Vincent untuk meyakinkan Anna bahwa tidak ada yang salah dengan penampilannya. Sungguh. Sebenarnya Anna juga kaget saat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin beberapa saat lalu. Ia terlihat... cantik? Astaga! Memuji diri sendiri terdengar agak memalukan, bukan? Namun sungguh, Anna juga merasa sedikit kagum dengan dirinya sendiri yang bisa terlihat menjadi orang yang berbeda saat tampilannya dipoles oleh Vincent.

Tapi Anna juga tidak mampu menampik rasa tidak nyamannya saat harus mengenakan busana seperti ini ke kampus. Ia tidak biasa berdandan dengan gaun atau sepatu hak tinggi—layaknya Amy and the gengs. Anna hanyalah gadis biasa yang bahkan penampilannya dianggap memalukan oleh teman-teman kelasnya. Jika Anna sekarang harus masuk kelas dengan dandadan seperti ini, lalu apa yang akan terjadi? Bukankah ia akan lebih dicerca dan dicemooh setelah ini?

Astaga! Membayangkan berbagai macam kemungkinan terburuk itu membuat Anna makin frustrasi. Ia benar-benar tidak percaya diri dengan penampilannya saat ini yang terlalu ‘wah’, namun ia juga tidak bisa mengabaikan kewajibannya untuk segera memauki kelas. Kini tinggal lima belas menit lagi waktu tersisa sebelum kelasnya dimulai.

“Aku pergi.” Pada akhirnya, Anna memilih untuk memberanikan diri dengan satu helaan napas panjangnya. Ia membuka sabuk pengamannya lalu hendak membuka pintu mobil itu sebelum—

Grep!

Anna harus menghentikan pergerakannya saat kini dengan tiba-tiba Vincent mencekal tangannya.

“Apa lagi?” sewot Anna seraya menatap nyalang pada Vincent. Oh, ayolah! Ia tidak ingin berubah pikiran padahal ia telah memantapkan diri beberapa detik yang lalu.

Bukannya sadar akan ulah menyebalkannya, kini Vincent mengulas senyum jahilnya sebelum telunjuknya terangkat dan menepuk-nepuk pipinya. “Kau tidak terlalu bodoh untuk mengerti isyarat ini, bukan?”

Anna langsung melotot seraya bergidik ngeri. Apa-apaan pria itu?

“Apa lagi yang kau tunggu? Ayo, cium aku!”

“Kau gila!”

Vincent mengedikkan bahunya tak acuh. “Tidak ada yang salah dengan seorang suami yang meminta salam perpisahan dari istrinya, bukan?”

“Vincent—”

“Anna!”

Vincent memotong cepat memelototi balik Anna. Cengkeraman pria itu bahkan semakin terasa erat di pergelangan tangan Anna. Seolah mengisyaratkan bahwa ia tidak akan melepas Anna sebelum keinginannya dituruti. Sial! Anna menghembuskan napasnya kasar dengan rasa dongkol setengah mati yang harus ia tahan demi tidak menghadiahi Vincent dengan tamparan di wajah menyebalkan sang pria.

Alih-alih menuruti niat gilanya, Anna pada akhirnya hanya mampu pasrah. Dengan sekelumit perasaan campur aduk—antara kesal dan malu—yang mulai menjalar, akhirnya Anna memberanikan diri untuk mendaratkan sebuah kecupan singkat di pipi pria itu. Setelahnya, ia buru-buru melesat pergi dengan suara bantingan pintu mobil sebagai ucapan pamit tanpa mempedulikan reaksi Vincent.

Aish! Kini pipinya malah terasa memanas akibat kejadian singkat namun membekas tersebut. Sial!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel