Ringkasan
Anna seorang perempuan introvert berstatus mahasiswi tingkat 3 terpaksa menikah kontrak dengan Vincent karena membutuhkan biaya untuk membiayai orang tuanya yang kecelakaan.Vincent seorang CEO Grup Entertainment yang terkenal kejam dan bahkan luka bakar di wajahnya pun membuatnya semakin ditakuti.Bagaimana kisah Anna menjalani harinya sebagai istri simpanan Vincent?
Bab 1 Fashion Terrorist
Bab 1 Fashion Terrorist
Seorang gadis berperawakan mungil itu kembali menghela napasnya—membuat kepulan asap di udara pagi yang menusuk tulang. Rambut terurai kecokelatannya berkibar di tengah kegugupan yang melanda. Ia menggembungkan pipinya sesaat seraya makin mengeratkan tas ranselnya untuk kemudian melangkah tanpa ragu ke pintu masuk gedung besar di hadapan—sebuah gedung impian dimana nantinya ia berharap akan bekerja di sana.
“Anna!”
Lengkingan suara norak nan familiar itu terdengar. Yang dipanggil segera menoleh dan langsung mendapati sang sahabat yang kini berlari tergopoh ke arahnya. Sebuah lengkung senyum muncul dari sudut bibirnya melihat kedatangan Bella—gadis yang selalu tampak imut dengan poni dan bandana di kepalanya. “Hai, Bella!”
“Kau siap untuk praktik hari ini? Aku bahkan hampir tidak bisa tidur semalam akibat terlalu gugup.”
“Hm,” sahut Anna pendek seraya mengangguk antusias. Tidak hanya Bella, namun Anna juga semalam harus tidur lebih larut dibanding biasanya akibat rasa yang bergejolak di dalam dadanya—bak seorang anak kecil yang menanti liburan di esok hari.
Tanpa menunggu lama, mereka berdua lalu melangkah beriringan ke arah lobi gedung dengan tangan bergandengan. Hari ini, Anna dan Bella, beserta teman kelas lainnya ditugaskan untuk praktik lapangan ke sebuah perusahaan hiburan ternama yang telah mengorbitkan banyak bintang besar—Dragon’s Entertainment.
Perusahaan ini dipilih langsung oleh Bu Siska—dosen ilmu komunikasi yang mengampu salah satu mata kuliah praktik sebagai syarat kelulusan sebelum sidang. Hari ini para mahasiswa yang berada di tingkat tiga jurusan komunikasi itu akan memulai observasinnya dan akan dibimbing langsung oleh salah satu staf di sana.
Saat tiba di lobi, rupanya telah cukup banyak anak kelas yang berkumpul. Masih ada sisa waktu dua puluh menit lagi sebelum jam praktik akan dimulai. Mereka sengaja datang lebih awal sesuai permintaan Bu Siska agar tidak membiarkan staf di sana menunggu. Anna dan Bella memilih untuk duduk di kursi yang hampir di sudut, dengan sengaja lebih memilih untuk tidak terlihat di kerumunan.
Mereka memang biasa terasingkan di kelas—terlebih Anna yang sering diperlakukan keterlaluan oleh orang-orang yang lebih berkuasa, seperti Amy. Selama ini, hanya Bella yang selalu setia membelanya dan mendampinginya.
Yang paling vokal—Amy—sang primadona kelas yang banyak ditaksir oleh kakak tingkat kini sedang bercengkrama dengan geng sosialitanya. Mereka ber-haha-hihi, tampak mencolok dengan cat rambutnya yang disemir warna kemerahan serta gaya busana yang amat modern. Berkebalikan dengan Anna—tentu saja—yang telihat lusuh dengan mantel abu miliknya.
“Hei, kau lihat pria yang di sana? Wajahnya terlihat mengerikan!”
Amy tiba-tiba berkata cukup lantang pada temannya seraya dagunya menunjuk pada kehadiran orang tidak dikenal yang saat ini tengah berada di seberang mereka. Seorang pria bertopi kini tengah duduk tumpang kaki seraya membaca koran. Tampangnya tidak terlalu jelas terlihat dengan matanya yang terhalau, namun siapa pun mampu mendapati luka bakar yang cukup besar di pipi kirinya.
Amy tidak berniat memelankan suaranya, meski ia tahu betul jaraknya dengan sang pria asing tidak cukup jauh dan memungkinkan ucapan kurang ajarnya terdengar hingga pada sang objek pembicaraan. Namun Amy sama sekali tidak peduli. Jiwa perundung ulungnya telah menggeliat—dengan senang hati melihat mangsa yang tepat terlihat tidak berdaya. Masa bodoh dengan sopan santun! Gadis dominan sepertinya tidak mengenal kata tersebut untuk orang yang kiranya berada di bawah levelnya.
Amy malah dengan sengaja makin memancing perhatian. “Bukankah ia lebih terlihat seperti seorang... mafia? Astaga! Siapa yang mengizinkan pria menyeramkan itu masuk? Bukankah ia hanya akan menakuti orang-orang?”
Teman satu gengnya—Elsa—juga mulai menimpali, “melihat luka di wajahnya benar-benar membuat bulu kudukku merinding!”
Olokan itu tentu saja direspon tawa cekikikan dari teman satu gengnya, terlebih Amy yang tawanya paling kencang terdengar. Meski teman-teman kelas yang lain juga ada yang terlihat risih dengan tingkah laku ‘Amy and the gengs’ yang jauh dari kata sopan, namun tidak ada satu orang pun yang berani melawan Amy. Lagipula... siapa yang sudi menjadikan dirinya musuh dari anak salah satu donatur terbesar yayasan unversitas?
“Bukankah kita tidak berhak menilai penampilan orang?”
Serempak, anak-anak kelas yang sudah lengkap berdatangan kini menoleh ke arah sumber suara. Sang gadis bermanik hazel rupanya baru saja bersuara—Anna. Bella di sampingnya yang sedari tadi duduk anteng juga kini melayangkan tatapan tak percayanya ke arah Anna yang kini terduduk tegak dengan rahang mengeras. Tidak hanya, Bella, Amy, atau anak kelas lainnya yang kini memandang Anna dengan was-was, Anna sendiri pun sebenarnya tidak menyangka bahwa ia akan menyuarakan pemikirannya dengan amat lantang seperti tadi.
“Kau... bicara padaku?” kaget Amy seraya melotot sejadi-jadinya pada Anna.
Anna menelan salivanya yang tiba-tiba terasa pahit. Ia gugup setengah mati diperhatikan seperti ini dengan puluhan pasang mata yang tertuju padanya, namun ia juga tidak mampu menahan diri. Darahnya langsung berdesir hebat tatkala melihat Amy, bahkan anak kelas lainnya yang diam-diam menertawai olokan kurang ajarnya. Anna hanya tidak habis pikir. Di mana letak sopan santun mereka pada orang lain?
“Tidak baik menilai penampilan orang sembarangan seperti itu. Apalagi jika kau bahkan tidak mengenalnya,” ucap Anna dengan berani walau harus menahan mati-matian gemetar di suaranya.
“Kalian dengar? Anak introvert di kelas kita sekarang sudah pandai berbicara rupanya!” Alis Amy terangkat, cukup kaget dengan keberanian Anna yang entah datang darimana. Ia kini berdiri dari duduknya, menatap Anna dengan penuh ketertarikan. Bisa-bisanya gadis freak itu menentangnya? Baiklah. Tidak ada salahnya untuk sedikit bermain-main, bukan? “Bisakah kita memberinya tepuk tangan?”
Sekali lagi. Entah sedang kerasukan apa, kini Anna juga berdiri menantang meski dengan menggigit bibir bawahnya yang gemetaran. Ia menoleh saat Bella menahan tangannya. Sorot pandangnya terlihat khawatir, namun Anna menegaskan dengan tatapannya bahwa ia baik-baik saja dan mampu menghadapi ini. Ya. Semoga saja.
“Lalu mari kita dengarkan penjelasanmu selanjutnya, Nona. Apa hakmu melarangku menilai penampilan seseorang?” Amy kembali mengkonfrontasi.
“Aku bukannya melarang, namun ada baiknya jika kau lebih bijak untuk tidak menilai penampilan seseorang seperti itu—terutama itu karena kekurangan fisiknya.”
Anna sedikit mengintip pada sang pria yang masih betah terduduk di tempatnya, bahkan masih fokus pada koran di genggaman. Pria itu terlihat sama sekali tidak terusik dengan keributan yang mulai memenuhi ruangan. Padahal, awal pemicu adu mulut ini adalah karena pria tersebut. Mungkinkah... pendengaran pria itu agak terganggu? Oh, astaga! Anna baru menyadari jika ia telah bertingkah keterlaluan dengan berani-beraninya meladeni Amy—sang gadis hampir sempurna dari segala sisi kecuali akhlaknya.
“Bukankah... setiap orang juga ingin dilahirkan sempurna?” tandas Anna mengakhiri pembelaannya. Setidaknya ia tidak ingin mempermalukan dirinya yang telah bertindak sejauh ini.
“Ya... kurasa kau ada benarnya.” Amy mengangguk pelan lalu menghampiri Anna dengan tangan bersedekap. Tatapannya tajam menghunus, hampir membuat Anna ciut di tempat. “Namun... bukankah lebih bijak jika kesempurnaan yang fisik yang telah diberikan itu digunakan sebaik mungkin? Bukan malah diabaikan dan menjadikan dirimu terlihat menyedihkan seperti ini?”
“A... apa maksudmu?”
“Jangan terlalu lugu, Anna!” Amy menyeringai. “Tidakkah selama ini kau lelah karena penampilanmu yang mengerikan seperti ini? Atau kau memang sengaja menjadikan dirimu seperti ini untuk menarik simpati orang-orang?”
Deg!
Tangan Anna terkepal erat. Napasnya seketika memburu dengan hazelnya yang menatap tajam. “Amy!”
“Kenapa? Kau merasa tersinggung?” tanya Amy dengan tangannya yang terangkat, membuat alarm bahaya bagi Anna yang mundur selangkah. Namun sialnya, Amy kini makin mendekat ke arahnya—mengikis habis jarak mereka dengan tangannya yang ternyata terangkat untuk memilin-milin surai Anna. Tatapannya melembut, namun percikan bengis masih tergambar jelas dari sorot matanya.
“Haruskah aku menjelaskan lebih jauh, Anna? Namun... bukankah orang katarak pun akan dengan jelas menyadari bagaimana penampilan mengerikanmu saat ini? Oh, haruskah aku katakan jika kami terlalu sial berada di satu kelas denganmu?” lanjut Amy yang semakin mengintimidasi dengan seringaian iblisnya.
Tubuh Anna menegang seketika. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya.
“Dibanding terlalu sibuk membela kebenaran bagai pahlawan kesiangan, bukankah ada baiknya jika kau benahi saja dulu penampilanmu itu, fashion terrorist?!”
Anna hampir meludah dengan salivanya yang terkumpul di hadapan wajah pongah nan menyebalkan Amy yang terpoles riasan tebal. Sebelum niat jahat itu terlaksana, kedatangan Bu Siska dan salah seorang staf perusahaan yang menemani di sebelahnya mengalihkan perhatian tepat di detik setelahnya. Beruntungnya, Anna diselamatkan dengan kondisi tersebut sehingga tidak membuatnya bertindak keterlaluan sehingga memungkinkan dirinya akan berlarut-larut berurusan dengan Amy—sang biang onar.
Amy segera melangkah pada gengnya yang kini menatap sengit pada Anna, begitu pun juga Anna yang langsung digandeng erat oleh Bella demi keselamatan gadis tersebut. Tanpa Anna sadari, sepasang telinga begitu runcing untuk mendengarkan keributan itu sedari awal. Sepasang telinga itu milik pria yang sedari tadi menjadi objek pembicaraan dan terlihat tidak acuh, bahkan disangka menjadi orang yang terganggu pendengarannya oleh gadis bermanik hazel yang mulai menarik perhatiannya.
Sang pria asing menyeramkan itu—Vincent.
Kaki-kaki panjang Vincent kini melangkah untuk menaiki lift. Tatapan setajam elang langsung terlihat begitu sang pria mulai menengadahkan wajahnya. Sebelum pintu itu tertutup, pandangannya tidak pernah terlepas dari gadis bersurai kecokelatan yang kini terfokus pada penjelasan dosen yang ada di hadapan. Sebuah lengkung senyum tersungging kecil di bibirnya. Kini, dengan perlahan Vincent mulai menggumamkan sebuah nama yang terngiang, yang entah mengapa serasa merdu untuk dilantunkan, sebelum pintu lift tertutup dan membawa Vincent hingga ke ruangannya. “Anna.”