Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Perkenalan Tak Terduga

Bab 2 Perkenalan Tak Terduga

“Bisakah kau minggir? Kehadiranmu mengganggu penglihatanku!” hardik Amy frontal, membuat sang gadis yang kini tengah menikmati makan siangnya kembali harus memejamkan matanya erat demi menekan buncahan amarah yang hampir meledak tatkala dipancing seperti itu.

“Tidakkah kau keterlaluan? Kami dulu yang duduk di sini. Kau bisa mencari tempat lain yang masih kosong, bukan?” Bukan Anna, melainkan Bella yang berada di sebelah Anna, kini berdiri untuk meladeni. Ia tidak terima jika mereka—terlebih Anna—harus diusir dengan alasan kurang ajar tersebut.

Amy maju satu langkah. “Kalau aku dan teman-temanku ingin duduk di sini, bagaimana?”

Ya. Saat ini Amy memang tidak sendiri. Ke mana pun gadis itu pergi, pasti pasukannya selalu mengikuti bak rombongan bebek yang mengikutin sang induk. Bella tahu mereka kalah jumlah maupun kekuasaan, namun ia tidak ingin menyerah begitu saja ketika sahabatnya diperlakukan seperti ini, bahkan terasa makin keterlaluan dari hari ke hari.

“Bel!”

Anna menggeleng tegas, memberi isyarat pada Bella agar tidak usah meladeninya lebih jauh. Toh, pada akhirnya pun akan percuma. Amy tidak akan berhenti menganggunya. Gadis itu memang pendendam. Bahkan dua minggu telah berlalu semenjak kejadian adu mulut mereka, namun gadis itu masih saja bebal—terus merecoki Anna dari hari ke hari. Bahkan meski sebelum kejadian itu ‘Amy and the gengs’ memang selalu merundungnya, namun kali ini lebih parah dan lebih sering.

Setiap bertemu dengan Anna, Amy selalu saja mencari gara-gara. Jika saja Anna tidak memiliki kesabaran yang super duper ekstra, mungkin bisa aja ia saat ini menjambak rambut indah Amy demi memberinya pelajaran. Namun... tidak. Anna sudah kapok untuk terlibat dengan Amy. Ini ruang publik. Anna tidak ingin dipermalukan lebih jauh. Ia juga tidak ingin jika Bella juga harus terseret lebih jauh akibat membelanya.

“Biar kami yang pergi,” tandas Anna tanpa berpanjang kata dan segera menggandeng Bella untuk pergi dari meja kantin tersebut. Anna memilih untuk menghabiskan makan siangnya di dekat air mancur taman kampus, bersama Bella yang setia di sampingnya. Pada akhirnya, kaum tertindaslah yang harus sering mengalah.

“Sekarang kau mencegahku untuk melawannya, sementara seminggu yang lalu kau terang-terangan mengibarkan bendera perang padanya,” protes Bella seraya mendengus. Gadis itu mengunyah roti lapisnya dengan wajah ditekuk.

“Entahlah. Mungkin saat itu aku kerasukan.”

Anna mendesah, menghabiskan gigitan terakhir roti lapisnya dengan enggan. Hingga detik ini, ia juga masih tidak habis pikir dengan keberanian dirinya yang entah muncul darimana dan bisa-bisanya menantang Amy sefrontal itu. Lihat akibatnya sekarang! Anna jadi makin menderita selama dua minggu terakhir. Astaga! Annastasia bodoh! Benar-benar bodoh! Untunglah saat ini ia masih waras untuk tidak ingin berurusan lebih jauh lagi dengan Amy.

“Aku hanya ingin segera lulus, mendapatkan pekerjaan tetap yang cukup layak, setelah itu aku bisa membantu kedua orang tuaku,” curhat Anna dengan pandangan menerawang.

Ya. Sesederhana itu keinginan Anna. Tidak peduli jika ia harus menelan kepahitan akibat perlakuan orang-orang di sekitar yang merundungnya, gadis itu memiliki impian kecil untuk bisa membantu perekonomian keluarganya dengan gelar yang akan ia sandang nantinya. Bagi Anna yang orang tuanya hanya bekerja sebagai pegawai rendahan, sudah mampu kuliah saja merupakan suatu kemewahan baginya.

Selama ini, orang tuanya banting tulang untuk membiayai Anna kuliah demi putri semata wayangnya tersebut mampu mengenyam pendidikan yang layak. Selain itu, Anna juga menjadi pengajar bagi beberapa siswa sekolah dasar di dekat rumahnya untuk memberikan les di akhir pekan. Meskipun tidak seberapa, namun uang hasil mengajarnya tersebut selalu digunakan Anna untuk membantu meringankan beban orang tuanya. Ya, lumayan untuk tambah-tambah uang saku dan transport.

“Kau pasti bisa, Anna. Apalagi dengan nilai-nilaimu yang selalu lebih baik dariku.” Bella menyemangati dengan senyum tulus. “Sepertinya aku yang harus belajar lebih giat semester ini untuk memperbaiki nilaiku.”

“Kau juga pasti bisa, Bel. Tenang, aku akan membantumu sebisaku. Kita bisa belajar bersama nanti.”

“Kau memang sahabat terbaikku!” Bella memeluk Anna erat sebelum melepaskannya lalu mereka terawa bersama. “Oh ya, kau sudah melihat nilai praktikmu?”

“Memangnya sudah keluar?”

Bella mengangguk. “Aku baru memeriksanya tadi pagi, dan ya... aku mendapatkan nilai B. Tapi syukurlah, nilaiku lebih baik dibanding semester sebelumnya. Kau belum memeriksanya?”

Anna menggeleng. Bella pun mengusulkan agar Anna memeriksanya sekarang. Dengan patuh, Anna membuka ponselnya untuk memeriksa portal nilai yang ada di akun mahasiwanya. “Nilaiku belum keluar.”

Bella terkejut dan langsung merebut ponsel Anna. Benar saja, nilai praktik Anna masih kosong di sana. Padahal, mereka selalu bersama-sama saat menjalani praktik observasi. Sebuah laporan pun telah diberikan sebagai tugas akhir dari praktik tersebut. Namun mengapa hanya nilai Anna yang belum keluar?

“Mungkin... terjadi kesalahan?” Anna menebak-nebak. “Sepertinya aku harus mendatangi Bu Siska setelah ini.”

**

“Nilaimu belum dikeluarkan oleh pihak Dragon’s Entertainment.”

Berbekal pernyataan Bu Siska saat mendatanginya seusai makan siang, Anna kini kembali mendatangi perusahaan ini—Dragon’s Entertainment. Tadinya Anna akan ditemani oleh Bella, namun rupanya gadis itu ada urusan lain seusai kelas akhir sehingga membuatnya datang sendirian dengan perasaan dongkol. Bagaimana bisa hanya Anna—satu-satunya mahasiswa di kelasnya yang nilai praktiknya tidak keluar? Apa ada yang salah dengan laporannya? Bukankah Anna juga telah menjalani praktik lapangannya dengan baik? Astaga! Sepertinya ada yang salah di sini.

“Saya ingin bertemu dengan Bu Novi,” ucap Anna lantang saat ditanya oleh pihak resepsionis perusahaan. Anna memang telah membuat janji sebelumnya dibantu dengan Bu Siska sebagai pihak yang memediasi. Novi merupakan salah seorang staf perusahaan yang bertugas untuk mengawasi praktik lapangan kelasnya. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, Anna diminta menunggu di lobi.

Tidak lama kemudian, seorang wanita dengan rambut pendek berumur awal tiga puluhan menghampiri Anna. Bukan. Itu bukan Bu Novi. Anna bahkan baru bertemu dengannya hari ini.

“Maaf membuatmu menunggu. Mari, kau bisa ikut aku sekarang.”

“Saya... kemari untuk bertemu dengan Bu Novi.”

“Bu Novi sedang ada urusan saat ini.” Melihat reaksi Anna yang masih bergeming, wanita itu baru teringat jika ia bahkan belum memperkenalkan diri. “Ah, saya Angela—sekretaris dari CEO Dragon’s Entertainment.”

Anna yang awalnya ragu kini menjabat uluran tangan Angela sebelum mengekorinya untuk melangkah menuju lift. Angela sepertinya adalah wanita yang tegas dan disiplin, dapat dilihat dari caranya berjalan dan berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Anna agak gugup juga sebenarnya, namun ia harus memberanikan diri untuk menyelesaikan urusan nilai praktiknya. Bagaimanapun juga, Anna sangat membutuhkan nilai itu sebagai salah satu syarat kelulusannya nanti.

Lift yang ditumpangi Anna dan Angela kemudian berdenting, berhenti di lantai paling atas. Seketika pintu terbuka, mata Anna langsung dibuat kagum dengan deretan poster besar berlapis kaca yang dipampang dari artis terkenal debutan perusahaan di sisi kanan-kiri dinding. Dari pintu lift, maka hanya ada satu jalan yang menuju ke arah satu ruangan, menunjukkan bagian kekuasaan pemimpin tertinggi.

Sebelum ruangan yang dari pintunya saja sudah tampak mewah tersebut, nampak sebuah ruangan lain yang lebih kecil di sebelah kiri dengan kaca transparan dan meja megah yang terdapat laptop serta setumpuk berkas di atasnya. Mungkin itu adalah ruangan Angela, pikir Anna. Kesan mewah adalah yang paling dominan saat manik hazel Anna berkeliling meneliti hampir seluruh desain ruangan yang ada di perusahaan ini. Benar-benar berkelas.

“Silakan masuk!”

Alih-alih dibawa ke ruangannya, Anna kembali dibuat kebingungan dengan titah Angela yang mempersilakannya masuk ke ruangan dengan pintu mewah nan berkelas di hadapan. Tunggu! Bukankah ini merupakan ruangan petinggi perusahaan? Lalu mengapa Anna—sang mahasiswa yang hanya ingin meminta nilai praktiknya harus masuk ke dalam? Bukankah ini terasa... berlebihan?

“Masuklah, Anna. Sudah ada yang menunggumu.”

Dahi Anna makin terlipat. Menunggunya? Siapa?

Anna masih dilanda kebingungan saat Angela menarik tangannya dan membawanya ke ruangan tersebut setelah mengetuk pintunya. Terdengar perintah masuk dari seseorang yang ada di dalam sebelum—

Deg!

Manik hazel Anna melotot sejadi-jadinya saat mendapati sang pemilik ruangan yang baru saja memutar kursi dan mempertemukan manik setajam elangnya dengan Anna. Pria ini—

“Sudah kuduga kau akan datang lagi ke sini.”

Anna makin terlihat kelabakan dengan raut bingung yang tergambar jelas. Terlebih saat Angela tiba-tiba memilih untuk pamit dari sana, meninggalkan Anna dan sang pria asing di ruangan tersebut dengan pintu tertutup.

Anna mundur selangkah. Pegangan tangan di tas selempangnya makin mengerat—menandakan kegugupan dan kegelisahan yang melanda. “Tunggu! Kenapa... kau ada di sini?”

Alih-alih menjawab, sang pria dengan santai mengulaskan senyum segarisnya. “Duduklah dulu.”

Anna bergeming di tempat, merasakan ada hal yang tidak beres tengah mengintainya saat ini.

“Duduklah. Bukankah kedatanganmu ke sini karena terkait nilai praktikmu?”

Anna mau tidak mau menurut saat mendengar ucapan sang pria. Dibatasi meja besar, pria itu duduk di kursinya dengan pandangan menyelidik yang membuat Anna luar biasa risih. Semenjak Anna memasuki ruangan, pria itu menguarkan aura dominasi yang kuat seraya memangku dagunya di kedua tangan. Tatapannya tajam mengarah hanya pada gadis yang kini tengah duduk gelisah seakan-akan terintimidasi. Hanya dengan ditatap seperti itu, Anna merasa dikuliti hingga ke tulang.

“Kau... Annastasia Lazuardi?”

“Kau—” Anna menggeleng cepat. Sadar bahwa pria di hadapannya bukan orang yang dapat dianggap main-main. “Maksudku... Tuan tahu namaku?”

Pria itu kembali melengkungkan senyumnya melihat kegugupan Anna yang terlalu kentara. “Santailah, tidak usah formal seperti itu. Kau bisa memanggilku Vincent, Anna.”

Alih-alih menyambut, melihat uluran tangan dari pria itu malah membuat Anna tergugu selama beberapa saat sebelum—

“Perkenalkan, aku Vincent Chandra Aditya—CEO Dragon’s Entertainment.”

Deg!

Jantung Anna terjatuh amblas ke perutnya.

Anna terperangah bersamaan dengan lengkung senyum sang pria yang entah mengapa terasa semakin mengintimidasi. Anna tidak sanggup berkata-kata lagi. Pria yang kini berada di hadapannya adalah pria yang sama yang ditemuinya dua minggu lalu. Pria yang membuatnya harus berdebat dengan Amy. Pria bertopi yang tak acuh bahkan setelah ia membelanya. Pria ini... adalah pria dengan luka bakar di wajahnya—Vincent.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel