Bab 3 Tawaran Sinting
Bab 3 Tawaran Sinting
“Perkenalkan, aku Vincent Chandra Aditya—CEO Dragon’s Entertainment.”
“Ap... apa?!” kaget Anna seraya mengerjap heboh.
“Mengejutkan, huh?”
Vincent menarik kembali tangannya yang tak disambut tanpa merasa tersinggung. Wajar saja karena kini Anna hanya mampu terpaku, menatap Vincent dengan dua maniknya yang berkilau indah. Ya. Vincent sanggup menyatakan bahwa manik hazel di hadapannya saat ini akan menjadi satu-satunya manik favorit bagi dirinya. Katakanlah pria itu sudah gila, namun menatap Anna dari jarak sedekat ini mampu memberikan gelenyar aneh yang merayapi tubuhnya semakin bergejolak tak tertahankan.
“Kupikir kita pernah bertemu sebelumnya. Ya... meskipun itu secara tidak langsung. Kini izinkan aku untuk memperkenalkan diri secara resmi padamu.”
Kesadaran Anna masih mengangkasa, terlalu kaget dengan situasi ini. Anna sama sekali tidak mengerti. Untuk apa pria di hadapannya ini memperkenalkan diri secara resmi pada gadis seperti dirinya?
“Bukankah kau ke sini untuk nilaimu?”
Anna tergeragap mendengar tanya Vincent. “Y... ya. Sebelumnya aku telah meminta untuk bertemu dengan Bu Novi, tapi—”
“Aku sengaja menyuruhnya untuk tidak mengeluarkan nilaimu.”
Manik mata Anna membola, menanti penjelasan Vincent agar membuatnya sedikit saja lebih mengerti akan situasi membingungkan yang tengah dihadapi.
“Aku sengaja memancingmu untuk datang kemari.”
Lagi-lagi dahi Anna terlipat bingung. “Untuk apa?”
“Aku tidak suka berbasa-basi, Anna.” Vincent berdeham sesaat sebelum mencondongkan tubuhnya untuk semakin mendekat ke arah Anna. “Jadi izinkan aku untuk mengatakan ini padamu langsung... bahwa aku tertarik padamu.”
Deg!
Anna mengerjap.
Sinting!
Anna hampir saja menyuarakan lantang umpatannya tepat di depan batang hidung Vincent. Untungnya, Anna memiliki pengendalian diri yang baik sehingga alih-alih meneriaki Vincent akibat ucapan tidak masuk akalnya, gadis itu memilih untuk memejamkan matanya serta mengatur napasnya demi menenangkan diri. Tidak! Anna tidak boleh mencari gara-gara dengan orang sekelas Vincent. Terutama, karena Anna tidak boleh melupakan tujuan utamanya datang ke tempat ini—nilai praktiknya.
Kali ini, Anna memberanikan diri menatap Vincent tepat di manik pekatnya. “Aku tidak ada waktu untuk meladeni leluconmu, Tuan!”
“Kau pikir aku punya waktu untuk bermain-main?”
Ya. Vincent mungkin telah gila, namun ia tergila-gila akibat gadis lugu di hadapannya. Semenjak dua minggu yang lalu, tepatnya hari di mana Vincent pertama kali melihat Anna, ia langsung merasakan suatu ketertarikan yang bahkan ia sendiri sulit untuk menjelaskannya. Sensasi ini terlalu asing bagi Vincent, namun terlanjur menjeratnya dalam sebuah pesona aneh yang membuatnya mabuk akan kehadiran sang gadis yang bahkan saat itu hanya ia ketahui namanya saja.
Semenjak hari itu, tidak ada hari yang mampu Vincent lewati tanpa membayangkan Anna. Wajah gadis itu selalu menghantui benaknya, bahkan membuatnya hampir gila dengan sensasi bergejolak yang ditimbulkan akibat memikirkannya. Fantasi-fantasi bahkan mulai bertumbuh semakin liar dari hari ke hari, menggerogoti akal sehatnya. Gadis pemberani itu mampu memikat Vincent dalam dimensi asing yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Obsesi gila itu telah mengikis nalar Vincent. Ia bahkan tidak peduli jika ini merupakan bisikan iblis yang akan menjerumuskan dirinya ke dalam sebuah kubangan laknat demi menjerat sang gadis lugu nan tak berdosa itu bersamanya. Karena semenjak pikirannya selalu tertuju pada Anna, Vincent telah memutuskan untuk terlarut dalam ambisi gilanya—membuat Anna menjadi miliknya. Seutuhnya.
Vincent bahkan nekat menyuruh Tristan—asisten sekaligus orang kepercayaannya—untuk mencari tahu segala asal-usul tentang Anna, bahkan tentang latar belakang keluarganya. Semua itu bukanlah hal yang sulit bagi Vincent yang memiliki kekuasaan berlimpah ruah. Seorang CEO muda di usia awal tiga puluhan dari sebuah perusahaan hiburan tersohor serta seorang anak bungsu dari orang terkaya kedua se-Asia Tenggara. Bukankah dengan gelar mentereng itu Vincent akan mudah mendapatkan segala hal yang ia inginkan?
Hanya menyelidiki latar belakang seseorang bukanlah hal yang tabu bagi Vincent. Dan dengan kekuasaannya, terbukti hari ini Vincent bahkan mampu membuat Anna mendatanginya. Bukankah... ini benar-benar menyenangkan?
“Tatap aku!”
Anna terlonjak kaget mendengar perintah mutlak yang tidak sanggup diinterupsi tersebut. Manik hazelnya kini takut-takut menatap Vincent yang semakin mengintimidasi lewat tatapan elang dari manik pekatnya.
“Berapa usiamu?” todong Vincent langsung dengan suara baritonnya.
“Usiaku?”
“Hm. Usiamu.”
Anna menelan salivanya yang entah mengapa tiba-tiba terasa pahit. “Dua puluh satu.”
Vincent mengangguk-angguk dengan jemari yang saling terpaut. Ia sebelumnya memang telah mengetahui seluk beluk Anna, termasuk usianya, bahkan seluruh latar belakang keluarganya, namun mendengar Anna yang kini menjawabnya jujur membuat gemetar aneh melanda diri Vincent. Entahlah. Bahkan kini senyum segaris mulai nampak di sudut bibirnya.
Hal itu amatlah kontras dengan Anna yang masih diliputi kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Sekali lagi. Anna masih tidak mengerti. Sebenarnya apa tujuan Vincent hingga repot-repot membuatnya datang kemari untuk menemuinya?
“Kau punya kekasih? Selingkuhan? Atau temen dekat pria?”
Astaga! Pertanyaan sinting apalagi kini?
“Aku tidak memilikinya,” jawab Anna lugu. Ia seolah tidak memiliki pilihan lain untuk menjawab segala pertanyaan Vincent yang semakin dirasa tidak masuk akal. Aura dominasi yang menguar dari sang pria sanggup membuat Anna menjadi gadis yang patuh.
“Apa? Kekasih? Selingkuhan? Atau teman pria?”
“Tidak dari ketiganya.”
“Bagus!”
Bagus? Apanya yang bagus?
Anna makin tidak habis pikir dengan respon Vincent yang benar-benar di luar nalarnya. Demi Tuhan! Apa yang bagus dari kondisi dirinya yang menyedihkan ini? Anna bahkan sudah menjomblo sejak lahir. Ia terlalu sibuk menata masa depan dibanding berurusan dengan segala hal yang berbau cinta. Lagipula... siapa pula pria katarak yang sudi mendekati gadis freak seperti dirinya? Bahkan temannya saja hanya mampu dihitung jari.
“Menikahlah denganku.”
Deg!
“Apa?!”
Rahang Anna jatuh ke tanah. Anna terlonjak kaget. Kali ini tentu saja lebih heboh dibanding yang sebelumnya. Anna bahkan hampir tersedak dengan tenggorokannya yang tiba-tiba mengering.
“Apa masih kurang jelas? Aku memintamu untuk menikah denganku, Anna. Jadilah istri simpananku.”
Anna masih bergeming di tempatnya dengan bibir terbungkam.
“Jangan salah paham! Aku bukan pria beristri, namun mari kita buat kesepakatan untuk saling merahasiakan pernikahan di antara kita.”
“Tuan, kurasa mungkin kepalamu terbentur sesuatu sebelum menemuiku—”
“Aku serius. Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku,” ucap Vincent tegas. Nampak tidak memiliki celah keraguan sedikit pun yang mampu ditemukan dari manik pekatnya yang menatap Anna dengan penuh kesungguhan. “Akan kubiayai segala kebutuhanmu asal kau bersedia menikah denganku.”
Di detik ini, Anna merasa pria di hadapannya ini benar-benar sinting! Yang benar saja! Menikah? Bisakah Anna tertawa lantang saat ini? Kata itu bahkan hanya sebuah angan-angan yang nampak mustahil bagi gadis seperti Anna. Apalagi... menikah dengan pria asing yang bahkan baru kedua kali ditemuinya? Jangan gila!
“Maaf, Tuan. Tapi aku kemari hanya karena ingin mendapatkan nilai praktikku yang masih belum keluar.”
“Ya. Kau juga bisa mendapatkan nilai praktikmu jika kau sudi menikah denganku.”
Anna menghela napasnya kasar. Maniknya berotasi jengah. “Kurasa kau mabuk, Tuan. Sebaiknya aku menemui Bu Novi saja.”
“Novi tidak akan mengeluarkan nilai praktikmu tanpa perintahku.”
Anna yang hampir beranjak dari kursinya harus kembali terduduk di sana dengan rasa dongkol yang mulai membuncah. Entah mengapa, ia merasa telah dipermainkan di sini sebagai pihak yang sama sekali tidak berdaya. Astaga! Anna tahu ia bergelimang dosa, namun haruskah ia mendapat cobaan seperti ini, Tuhan? Mengapa Anna harus ditakdirkan berurusan dengan CEO sinting seperti ini?
“Pikirkanlah, Anna. Aku tahu ini mengagetkan bagimu, namun kau harus percaya bahwa aku benar-benar serius.”
Anna menatap bengis dengan napas menderu. Ia tidak ingin lagi menahan kekesalannya di hadapan sang pria yang sepertinya akal sehatnya sengaja ditinggal di rumah. “Kau pikir menikah sama dengan transaksi jual-beli yang dapat dengan mudahnya kau ucapkan dengan enteng seperti itu?”
“Bukankah sama saja?” Alih-alih merasa terintimidasi dengan ucapan tajam Anna, Vincent dengan santainya malah mengedikkan bahunya tak acuh. “Aku menginginkanmu untuk menikah denganku lalu kau bisa mendapat apa pun yang kau mau dariku. Harta? Aku punya semuanya. Tinggal sebut saja yang apa kau mau dan aku akan dengan senang hati mengabulkannya. Tidak ada yang harus berubah dari status kita saat ini karena kau akan akan jadi istri simpananku. Pernikahan kita akan menjadi rahasia. Hanya antara kau dan aku. Bukankah... ini juga semacam transaksi yang saling menguntungkan bagi kedua pihak?”
Anna terperangah. Ia sempurna kehilangan kata-katanya akibat lidahnya yang seketika kelu mendengarkan penjelasan panjang lebar Vincent yang membuat isi kepalanya ingin meledak di detik itu. Anna mungkin akan sama sintingnya dengan Vincent jika mendengarkan ucapan melanturnya lebih jauh lagi. Lebih baik Anna segera angkat kaki dari sini sebelum otaknya terkontaminasi pemikiran Vincent yang amat tidak rasional.
Namun baru saja kakinya bergerak tiga langkah untuk mencapai pintu keluar tanpa sudi mengatakan pamit, sebuah tangan kokoh kini dengan tiba-tiba mencekal Anna, membuatnya tertahan di sana.
“Baiklah. Bagaimana dengan pernikahan kontrak? Kita bisa atur jangka waktunya sesuai kesepakatan.”
Anna berbalik, mendapati wajah menyebalkan Vincent yang berlagak tanpa dosa kini hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Secara tersirat, pria itu tengah menginjak-injak harga dirinya. Keterlaluan! Anna memang gadis yang tidak berdaya, namun tawaran sinting pria itu benar-benar membuat darahnya seketika berdesir naik ke ubun-ubun. Bagaimana bisa Vincent melayangkan tawaran dengan iming-iming ‘memberikan segala yang Anna mau’? Vincent pikir Anna perempuan macam apa? Cih! Harga diri Anna tidak serendah itu!
Anna menekan buncahan amarahnya hingga ke dasar, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kini rahangnya telah mengeras. Kedua tangannya bahkan telah terkepal erat di sisi tubuhnya. Demi Tuhan! Saat ini telapak tangannya terlalu gatal untuk melayangkan satu tamparan keras di pipi Vincent. Sayangnya, sekali lagi Anna harus menahan keinginannya itu mati-matian. Ia masih waras untuk tidak berurusan lebih jauh dengan pria gila di hadapannya.
“Dengar, Tuan! Kurasa kau butuh datang ke psikiater,” sarkas Anna dengan tatapan menghunus bak mata pedang.
Namun alih-alih terusik dengan ucapan tersebut, Vincent sekali lagi masih kukuh pada tawaran sintingnya. “Pikirkanlah kembali. Hubungi aku secepatnya jika kau siap. Aku akan menunggumu.”
Tak kehilangan akal, Vincent bahkan menyerahkan kartu namanya dengan paksa ke dalam tas selempang Anna yang sedikit terbuka. Lengkung bibirnya terukir membentuk seringaian mematikan, membuat Anna hampir gentar dengan aura dominan yang amat kental. Selanjutnya, Vincent sengaja mendorong tubuhnya untuk lebih condong ke arah Anna demi menghirup aroma khas yang menguar dari tubuh sang gadis yang semakin membuatnya dimabuk kepayang. Oh, dasar maniak!
Sebagai pergerakan akhir sekaligus mengantarkan kepergian Anna yang akan pamit, Vincent lalu membungkukan sedikit tubuhnya untuk berbicara dengan nada rendah di dekat lubang telinga sang gadis yang lebih mungil darinya tersebut. Seketika itu juga, bulu kuduk Anna langsung meremang karenanya. “Hanya datang kepadaku, maka aku akan memberikan segalanya untukmu.”