Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Tidak Ada Pilihan Lain

Bab 4 Tidak Ada Pilihan Lain

Anna menghentakkan kakinya kesal sebelum menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah. Tangannya bergerak meraih pengendali televisi untuk kemudian menyalakannya, berharap untuk setidaknya mendapatkan penghiburan di tengah kesemrawutan hatinya. Ya. Mood-nya benar-benar hancur berantakan setelah keluar dari ruangan pria sialan itu. Hingga detik ini, Anna masih tidak habis pikir dengan kelakuan Vincent dan segala tawaran amoral yang ia layangkan.

Masih terbayang jelas dalam benaknya bagaimana rupa Vincent tadi sore yang membuat bulu kuduknya meremang. Tubuh tinggi tegapnya, tatapan setajam elangnya, bahkan seringaian yang tercetak jelas di sudut bibirnya. Kombinasi mengerikan itu membuat Anna benar-benar terintimidasi seketika. Oh, astaga! Teringat hal itu membuat Anna langsung meringis seraya merinding ketakutan.

Demi Tuhan! Mengapa Anna harus berurusan dengan pria semacam itu dalam hidupnya? Kesialan apa yang kini menimpanya, Tuhan? Anna bahkan tidak ingin melihat wajah bengis yang bagai mimpi buruk itu di sisa hidupnya.

Lalu bagaimana nilai praktiknya?

Ya. Itu pulalah yang menjadi kekhawatiran, bahkan beban pikiran Anna saat ini. Dari tadi sore gadis itu sengaja mengurung dirinya di kamar demi memikirkan segala jalan keluar yang memungkinkan. Sepertinya, setelah ini ia harus berkonsultasi dengan Bu Siska. Anna tahu mungkin ia akan ditolak mentah-mentah, namun Anna tidak memiliki pilihan lain. Ia juga telah berencana untuk menyeret Bella ke hadapan Bu Siska sebagai saksi bahwa mereka telah bersama-sama menyelesaikan praktik lapangan itu dan mengumpulkan laporan sebagai tugasnya.

Anna kembali mendesah lelah seraya mengusap kasar wajahnya. Astaga! Ia benar-benar merasa frustrasi!

“Dasar pria sinting!” umpatnya ke arah layar televisi yang tengah menayangkan drama roman picisan.

Oh, melihat drama ini tiba-tiba membuat Anna teringat pada ibunya. Sang ibu memang menggemari drama malam yang ditayangkan selama hampir dua jam ini, bahkan tergila-gila dengan pemeran utama prianya. Setiap malam, biasanya sang ibu yang akan menguasai televisi dan membuat Anna dan ayahnya hanya mampu pasrah dan memilih untuk tidak mengusiknya. Bukankah percuma saja melawan ibu-ibu yang menguasai televisi? Anna tidak ingin mencari masalah dengan kemungkinan akan namanya yang tiba-tiba dicoret dari kartu keluarga.

Anna melirik jam yang tergantung di tengah dinding ruangan, menunjukkan pukul delapan malam. Ayah dan ibunya belum juga pulang. Tadi sore saat naik bus dalam perjalanan pulang, Anna dikabari bahwa orang tuanya akan pergi dulu ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan bulanan seperti biasanya. Tapi kenapa kali ini lama sekali? Apakah setelah berbelanja mereka sengaja untuk makan malam di luar tanpa mengajak Anna? Ish, menyebalkan! Setelah ini dapat dipastikan Anna akan melayangkan protesnya.

Anna memutuskan untuk meraih ponsel di saku celananya untuk menghubungi ibunya. Namun saat jemarinya hendak menekan tombol panggil, tiba-tiba ponselnya berdering nyaring—menampilkan panggilan masuk dari sebuah nomor tidak dikenal.

Sempat ragu untuk menjawab, namun Anna langsung mengangkat telepon itu di nada sambung ketiga. “Halo?”

‘Ini dengan keluarga Lazuardi?’

Anna hampir tergeragap dengan suara orang di ujung sambungan. “Ya.”

Entah mengapa Anna menelan salivanya saat menunggu penjelasan orang tidak dikenal yang kini mulai memperkenalkan dirinya sebagai salah satu pegawai rumah sakit. Kegugupan seketika melanda. Anna yakin sesuatu yang buruk telah terjadi.

Dan di detik setelahnya, drama televisi yang tengah Anna tonton beberapa saat lalu kini berubah menjadi liputan langsung dari kecelakaan beruntun dengan lokasi yang tidak jauh dari rumahnya. Pikirannya kosong melompong. Lutut Anna seketika lemas dan goyah, tak mampu lagi berdiri untuk menopang bobot tubuhnya. Anna ambruk di lantai dengan lelehan air mata yang seketika itu juga langsung jatuh tak tertahankan. Orang tuanya dinyatakan menjadi korban dari kecelakaan yang baru terjadi sekitaran satu jam yang lalu.

Beriringan dengan ditutupnya sambungan telepon tersebut, Anna merasakan dunianya runtuh seketika.

**

Anna tergugu di ruang tunggu dengan mata yang luar biasa sembab. Penampilannya acak-acakan, tak ubahnya bagai orang yang telah tidak tidur berhari-hari. Anna terjaga semalaman hingga kini fajar telah menyingsing di ufuk timur. Air matanya telah mengering akibat lelah menangis. Kejadian malam tadi benar-benar bagai mimpi paling buruk di hidupnya. Saat datang ke rumah sakit, Anna langsung mencari keberadaan orang tuanya.

Anna berharap info yang didapatnya itu palsu. Anna juga berharap telah terjadi suatu kesalahpahaman di sini. Keinginannya hanya satu—keselamatan orang tuanya. Anna berharap jika orang tuanya ada dalam perjalanan pulang dan sebentar lagi akan sampai di rumahnya. Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Orang tuanya memang benar-benar menjadi korban dari kecelakaan beruntun akibat sebuah mobil truk yang pengemudinya diduga mabuk.

Terkutuklah manusia yang telah berbuat laknat itu hingga mencelakakan banyak orang! Pikiran Anna sibuk melontarkan sumpah serapah, namun Anna tahu hal itu pun sama sekali tak akan menyelesaikan masalahnya. Anna kini bagai tengah dijerumuskan ke dalam lembah tak berdasar, membuatnya mengambang kehilangan arah. Lembah itu bahkan terlalu gelap, sehingga membuat Anna kesulitan untuk menemukan setitik saja lubang terang sebagai jalan keluar.

Selain mobil yang hancur total, ayahnya mengalami patah tulang di tulang pahanya dan baru beberapa jam yang lalu dipindahkan ke ruang perawatan setelah di-gips. Sementara sang ibu masih dalam tahap kritisnya. Dokter mengatakan jika ibunya mengalami syok berat di bagian dada hingga masih tidak sadarkan diri hingga saat ini. Sang ibu juga harus menjalani sebuah operasi akibat tulang rusuknya yang patah hingga menembus pada paru-parunya.

Dokter telah mengusahakan yang terbaik untuk semua penanganan orang tuanya, bahkan membantu Anna untuk menyiapkan beberapa persyaratan agar dapat keringanan bantuan. Namun ternyata tetap saja, tidak semua biaya operasi serta perawatan dapat tertutupi dengan bantuan tersebut. Anna juga telah mengambil semua tabungannya serta tabungan orang tuanya, namun lagi-lagi belum cukup. Biaya yang dibutuhkan tidak main-main akibat kecelakaan yang fatal, terutama ini menyangkut nyawa ibunya.

Dengan air mata berlinangan, Anna bahkan telah menghubungi semua kontak keluarga di ponselnya maupun kolega terdekat untuk meminta bantuan, namun berulang kali pula Anna harus merasa dikecewakan akibat menerima penolakan. Tidak ada yang sanggup membantunya. Biaya operasi terlalu tinggi dan Anna tahu kondisi keluarganya yang pas-pasan membuat orang-orang terdekat bahkan enggan untuk meminjamkannya uang.

Anna benar-benar di ambang keputusasaannya. Apa yang harus ia lakukan, Tuhan?

“Anna, minumlah.” Bella—sang sahabat yang setia menemaninya dari semalam. Gadis itu menyodorkan kopi instan pada Anna yang tengah tertunduk lesu sebelum menempatkan diri di sebelahnya.

Anna menerima minuman itu dengan tangan gemetaran. Kehangatan yang menjalar dari gelas kopi itu membuatnya sedikit lebih tenang. “Terima kasih, Bel.”

“Bagaimana? Masih tidak ada bantuan?”

Anna menggeleng lemah, Bella mendesah pasrah.

“Maaf, Anna. Andai orang tuaku bergelimang harta, mungkin aku tidak akan kesulitan untuk membantumu.”

Anna kembali menggeleng. Tatapannya mengatakan jika Bella tidak perlu merasa bersalah. Dengan menjadi satu-satunya orang yang peduli pun saat kondisinya terpuruk seperti ini, Anna harus berterima kasih dengan kehadiran Bella di sisinya. “Bel?”

“Hm?”

“Bisakah kau menjaga ayah ibuku?”

Bella mengernyit, mendapati Anna yang kini sepertinya tengah siap-siap untuk pergi dengan menyelempangkan tasnya. “Kau mau ke mana?”

“Aku akan mencari bantuan.”

“Ke mana?”

“Entahlah. Aku akan berusaha mencari pinjaman dan melunasi semua biaya rumah sakit... dengan segala cara yang memungkinkan.”

Bella tertegun saat Anna menyelesaikan kalimatnya. Entah ada yang salah dengan pendengarannya, namun Bella merasakan ada gemetar tak biasa dari ucapan Anna barusan. Ia sempat ingin menanyakan maksud ucapan Anna lebih jauh, namun kini gadis itu telah berdiri di hadapannya dengan mengikat asal rambutnya—bersiap untuk pergi. Sebelum melangkah, Bella memegang tangan Anna, memberikannya sedikit kekuatan untuk menghadapi musibah ini.

Bella hanya mampu mendoakan segala yang terbaik untuk Anna. Ya. Setidaknya hanya pengharapan tulusnya yang mampu Bella berikan demi sang sahabat.

“Aktifkan ponselmu. Kabari aku kalau ada apa-apa.”

Anna mengangguk patuh.

“Hati-hati, Anna.”

Setelah mengulas senyum segarisnya, Anna segera melangkah pergi—meninggalkan Bella yang menatap punggung ringkihnya hingga berbelok di ujung koridor. Anna mengatur napasnya dengan tangan yang terkepal erat—meneguhkan niatnya yang sepertinya sudah tidak mampu lagi tergoyahkan. Katakanlah Anna memang sudah kehilangan kewarasannya, namun kini tujuannya sudah bulat.

Sejak semalam, Anna sudah memikirkan berbagai kemungkinan sebagai jalan keluar atas musibah yang menimpanya. Segala macam cara juga telah ia coba, namun tidak ada satu pun yang membuahkan hasil. Sialnya, takdir seolah sedang mempermainkannya dengan memberi Anna sebuah jalan keluar yang sebenarnya tidak ingin ia pilih. Opsi terburuk itu pun sepertinya kini harus digunakan. Apa boleh buat? Anna sudah tidak memiliki pilihan lain.

Keselamatan sang ibu tengah dipertaruhkan dan setelah ini pun Anna pasti akan kesulitan dengan segala kebutuhan finansial. Ayah dan ibunya akan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih, serta Anna juga membutuhkan biaya lebih untuk perawatan kedua orang tuanya yang harus terus berjalan meski nantinya sudah keluar dari rumah sakit. Berbekal kartu nama pria itu yang berada di genggaman, Anna langsung melesat keluar rumah sakit untuk mencari kendaraan agar dapat dengan segera menemui pria itu.

Tujuan Anna saat ini adalah menemui Vincent. Ya. Pria sinting itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel