Bab 5 Menggadai Harga Diri
Bab 5 Menggadai Harga Diri
Anna mengeratkan mantel lusuhnya sebelum berjalan yakin ke arah resepsionis. Ya. Saat ini gadis itu memberanikan diri untuk mendatangi Vincent ke gedung perusahaannya. Anna bahkan telah tiba di tempat ini semenjak pagi buta, tepatnya satu jam yang lalu—saat di mana pintu depan gedung masih tertutup rapat. Gadis itu harus menunggu dengan menahan dinginnya semilir angin yang menusuk tulang.
Hampir mati membeku di luar, untungnya lima menit lalu pintu gedung itu terbuka dan Anna dapat masuk ke sana dengan langkah sempoyongan. Anna sudah tidak mempedulikan lagi penampilannya. Matanya berkantung, rambutnya ia ikat asal dengan raut lelah yang tergambar jelas di wajahnya. Anna nampak kentara seperti gadis yang dipenuhi beban hidup yang amat berat di pundaknya. Persetan dengan penampilannya saat ini! Yang jelas, tujuannya kemari adalah untuk menemui Vincent.
Dalam perjalanan kemari, Anna sebenarnya masih menimang-nimang akan keputusan gilanya ini. Anna tahu bahwa ia mungkin telah kerasukan iblis hingga sudi mendatangi Vincent demi menerima tawaran sintingnya. Namun semakin dipikirkan, Anna memang sudah tidak punya jalan lain. Ia tidak punya tempat bergantung selain kedua orang tuanya. Lalu saat kini kedua orang tuanya harus terbaring tak berdaya di rumah sakit dengan kondisi menyedihkan, Anna merasa memang tidak punya siapa-siapa lagi.
Hanya Vincent harapannya—setidaknya itulah yang ada di benak Anna saat ini. Tekadnya sudah amat kuat. Anna sudah tidak bisa mundur lagi.
“Saya ingin bertemu Tuan Vincent,” ucap Anna saat sang resepsionis bertanya akan maksud kedatangannya.
Ada kernyitan halus di dahi Kristin—sang resepsionis wanita yang menyambut kedatangan Anna. Namanya terlihat dengan mudah dari sebuah tanda pengenal yang ada di dadanya. Wanita ini berbeda dengan resepsionis yang Anna temui kemarin. “Maksudmu... Vincent Chandra Aditya—CEO Dragon’s Entertainment?”
Anna mengangguk tegas. “Ya.”
Kristin langsung mempersiapkan komputernya untuk melihat daftar temu sang pemimpin perusahaan. “Siapa namamu, Nona?”
“Anna. Annastasia Lazuardi.”
“Maaf, namamu tidak ada dalam daftar pertemuan,” ucap Kristin setelah memeriksa daftar pertemuan Vincent hari ini dan tidak menemukan nama Anna di sana. “Apakah kau sudah ada janji sebelumnya?”
“Hm... tidak.”
“Maaf, kalau begitu kau tidak bisa bertemu dengannya.”
Anna langsung mengerjap kaget. “Tu... tunggu dulu! Tapi... kenapa?”
“Kau harus membuat janji pertemuan dulu sebelumnya, Nona,” jelas Kristin seraya mengangguk sopan. “Maaf, silakan datang kembali lain kali.”
“Kumohon... izinkan aku bertemu sebentar dengannya,” pinta Anna dengan kedua tangan yang saling tertaut erat. Matanya memelas bak anak kucing dengan bibir yang gemetaran. Keputusasaan yang kembali melanda membuat Anna hampir menangis. “Sepuluh menit... tidak! Lima menit saja.”
“Maaf, tapi sekali lagi kau tidak bisa menemui Pak Vincent jika tidak membuat janji. Ini sudah prosedur perusahaan.” Kristin masih kukuh, tidak peduli dengan raut wajah Anna yang menyedihkan di hadapan.
“A... aku punya kartu namanya.” Anna kemudian teringat dengan kartu nama Vincent yang sudah lusuh. Anna mengeluarkannya dari saku mantelnya dan menyerahkan kartu tersebut kepada Kristin. “Pria itu—maksudku Tuan Vincent—memberikanku kartu ini dan memintaku untuk menghubunginya.”
“Lalu mengapa tidak kau hubungi ia terlebih dahulu, Nona?” Kristin terlihat mulai kesal dengan Anna. Dapat terlihat dari tatapannya yang mulai malas meladeni Anna.
“Aku telah menghubunginya beberapa kali pagi ini, tapi tidak diangkat.”
Ya. Anna sudah menghubungi pria itu beberapa kali, bahkan puluhan kali, setibanya ia di depan gedung perusahaannya. Namun sayangnya, hanya ada nada tunggu yang berlarut-larut terdengar, membuat Anna harus menelan kekecewaan untuk yang kesekian kalinya. Tidak ada satu pun panggilan Anna yang diangkat pria itu.
Sial! Apakah kini ia sedang dipermainkan? Anna bahkan telah menggadai gengsi bahkan harga dirinya demi melangkahkan kaki ke tempat ini. Namun apa yang ia dapatkan sekarang? Takdir seolah senang saat mempermainkannya seperti ini. Tidak ada satu pun jalan keluar bagi gadis malang seperti dirinya.
“Tidak bisakah... kau menghubungi Tuan Vincent dan mengatakan jika ada aku di sini?” Anna masih tidak ingin menyerah. Namun sungguh, rasa putus asa itu kembali menggelayuti hatinya saat ini. “Ia pasti tahu namaku. Kumohon... sebentar saja. Aku punya kartu namanya. Sungguh, ia yang memberikanku kemarin secara langsung di ruangannya.”
Kristin mendengus sebelum menatap Anna dengan pandangan meremehkan. Sifat aslinya seketika keluar. Ia merasa telah membuang-buang waktunya percuma untuk gadis bebal seperti Anna. “Aku tahu kartu ini memang milik Pak Vincent, namun... tidak menutup kemungkinan juga kan jika kau menemukannya di sembarang tempat?”
Anna menggeleng tegas. “Tidak! Aku mendapatkan itu langsung darinya!”
“Atau bahkan... kau bisa saja sengaja mengambilnya tanpa sepengetahuan sang pemilik, bukan?”
Manik hazel Anna melotot sejadi-jadinya dengan rahang terperangah. Apakah kini ada yang salah dengan pendengarannya? Bukankah kini Kristin tengah melayangkan tuduhan tak berdasar kepadanya dengan ucapan kurang ajarnya tersebut? Benar-benar keterlaluan! “A.. apa maksudmu? Aku bukan pencuri!”
“Apa pun itu, yang jelas kau tidak bisa bertemu dengan Pak Vincent. Jika kau tidak ada keperluan lagi, silakan pergi dari sini. Kau tahu pintu keluarnya, bukan?” Satu tangan Kristin terulur untuk menunjuk pintu depan gedung di belakang Anna diiringi seulah senyum yang menyebalkan. “Lagipula... jika kau yakin Pak Vincent sendiri yang memintamu untuk menghubunginya, mengapa Pak Vincent tidak menerima panggilanmu? Bukankah itu artinya kau bukan orang yang penting baginya?”
“Yak—”
“Maaf jika ucapanku menyinggungmu, Nona. Namun bukankah aku hanya membicarakan kenyataan? Dan lagi, bagaimana bisa aku mempercayai bahwa kau ini merupakan salah satu dari kenalan Pak Vincent?” Belum puas dengan mengusirnya, Kristin kini dengan lancang menguliti Anna dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan merendahkan.
Kristin menyipitkan matanya. “Lain kali, tolong juga untuk memperhatikan penampilanmu saat akan mendatangi gedung besar seperti ini. Ini bukanlah pasar yang bisa kau datangi dengan penampilan seperti ini. Aku berucap seperti ini bukan hanya untuk kebaikan pandangan dari orang-orang yang melihatmu, namun juga untukmu agar lebih menghargai dirimu sendiri.”
“Anna!”
Deg!
Suara menggelegar itu mengagetkan seisi lobi, membuat setiap pasang mata tertuju pada sang pria yang kini berdiri tegap di pintu depan dengan setelah jas mewahnya—Vincent. Kaki-kaki panjangnya segera bergerak untuk melangkah menghampiri sang gadis yang baru saja dipanggilnya dengan suara lantang. Manik pekatnya menatap Anna lamat dengan binar tak biasa. “Kau... mencariku?”
Anna yang semula mematung bagai gadis dungu kini mulai mendapatkan kesadarannya kembali setelah mengerjap. Mendapati wujud nyata Vincent yang kini berada di hadapannya membuat Anna kaget setengah mati. “I... iya.”
Vincent mendesah sebelum menatap Anna dengan binar penuh penyesalan. “Maaf, aku ada urusan mendadak pagi ini hingga tidak sadar jika kau telah menghubungiku.”
Anna tertegun sebelum mengangguk pelan. Ia masih bingung harus bereaksi seperti apa.
Setelah tersenyum singkat pada Anna, kini Vincent melayangkan tatapan bengisnya pada Kristin—sang resepsionis wanita yang kini menatapnya dengan tubuh gemetaran. Kristin sadar telah melakukan kesalahan besar kali ini.
“Kau... siapa namamu?” tanya Vincent dengan nada rendah yang membuat siapa pun yang mendengarnya akan merinding ketakutan.
“Kristin,” jawabnya hampir tergeragap.
“Kristin, mulai hari ini... kau dipecat!”
Kristin membelalak. “Ta... tapi, Pak—”
“Cukup! Aku tidak ingin melihat karyawan lancang sepertimu mengotori kantorku!”
Kristin langsung melangkah maju dari mejanya dan tanpa pikir panjang langsung berlutut di hadapan Vincent. Air matanya luluh. Kristin benar-benar kalut sehingga hanya mampu mengucapkan berulang-ulang kata maaf seraya bersimpuh memohon ampun. Namun hal itu tentu saja percuma. Kata maaf tidak akan mengubah apa pun setelah Vincent mengambil keputusan. Darah Vincent langsung mendidih saat mendapati kelakuan Kristin yang bisa-bisanya menghina Anna—gadis yang amat berharga untuknya.
Anna kini masih terpaku di belakang Vincent yang tengah berdiri pongah. Sejujurnya, Anna amat terkejut saat menyaksikan semua ini dengan mata kepalanya sendiri, terutama saat Vincent mampu dengan mudahnya memecat karyawannya dengan cara tidak hormat seperti ini. Bahkan pandangan pria itu terlihat dingin dan tanpa ada sedikit pun rasa belas kasihan saat melihat Kristin duduk bersimpuh di hadapan.
Kekuasaan Vincent nampak benar-benar nyata dan tidak dapat lagi diragukan. Anna tiba-tiba menelan ludahnya yang terasa pahit. Setelah ini... bukankah ia akan terus berurusan dengan pria itu jika menerima tawaran gilanya? Astaga! Bagaimana ini? Apakah pilihan Anna sudah tepat untuk mendatangi pria itu? Apakah Anna tidak akan menyesali keputusannya nanti? Ish, entahlah! Pikiran Anna benar-benar sangat rumit saat ini.
“Anna?”
Di tengah pemikiran sang gadis yang makin bercabang, suara panggilan Vincent menarik Anna dari lamunannya. Manik pekat pria itu berkeliling sesaat, menatap seluruh karyawan yang memperhatikannya dalam mode hening. Aura ketegangan menyeruak—memenuhi lobi yang kini terasa mencekam itu. Tanpa mempedulikan Kristin yang masih sesenggukan di lantai ataupun puluhan pasang mata yang kini mengawasinya, Vincent langsung berbalik untuk menghadap Anna.
“Tu... Tuan—”
“Sudah kubilang untuk memanggilku Vincent. Kau masih juga tidak mau menurut, huh?” omel Vincent yang direspon kedipan mata heran dari Anna.
Setelah mengatakan ancamannya dengan lantang, kini bisa-bisanya pria itu menatap Anna penuh rasa ketertarikan. Lengkung senyum mematikan bahkan muncul di sudut bibirnya saat mendapati ekspresi bingung yang amat menggemaskan dari gadis di hadapan. Setelahnya, tangan kokoh milik Vincent meraih tangan mungil Anna untuk kemudian menyeret paksa gadis itu untuk mengikutinya entah ke mana.