Bab 6 Diam Artinya Setuju
Bab 6 Diam Artinya Setuju
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!”
Pintu ruangan Vincent kemudian terbuka setelah diketuk tepat tiga kali. Pria itu muncul dengan jas hitamnya, seperti biasa selalu menguarkan aura gelap nan misterius—Tristan. Setelah mengangguk hormat di ambang pintu, pria bertubuh kurus namun atletis dengan suara husky tersebut kemudian duduk di hadapan Vincent. Beberapa saat lalu, atasannya itu memanggil Tristan untuk segera datang ke ruangannya.
“Siapkan segala berkas yang kubutuhkan untuk pergi ke kantor pencacatan sipil!” titah Vincent langsung tanpa basa-basi. Melihat sang asisten yang masih bergeming seolah belum mengerti akan perintahnya membuat alis Vincent terangkat. “Tunggu apa lagi, Tris? Aku akan menikah. Kau tidak akan mengucapkan selamat padaku?”
Ada kernyitan halus di dahi Tristan mendengar ucapan antusias Vincent. “Maksudmu... dengan gadis itu?”
Vincent mengangguk tegas, membuat Tristan mendengus di tempat. Rupanya, permintaan Vincent tempo hari padanya tidaklah main-main saat ia disuruh untuk menyelidiki latar belakang seorang mahasiswi yang tengah praktik lapangan di perusahaannya. Vincent memang tertarik dengan sang gadis yang bernama Anna, namun Tristan sama sekali tidak menyangka jika Vincent akan berbuat senekat ini untuk menjadikan Anna sebagai istrinya.
“Tunggu! Kau... benar-benar akan menikah dengannya?” Tristan tidak menyerah untuk kembali bertanya. Ia sungguh mempertanyakan keyakinan Vincent untuk bertindak sejauh ini. Oh, ayolah! Bahkan pria itu hanya bertemu Anna satu kali dan kini ingin menjadikan gadis lugu itu sebagai istri simpanannya? Bukankah... hal itu terdengar sinting?
“Ya. Tentu saja.” Dan sekali lagi, Vincent menjawab tanpa keraguan.
“Pernikahan kontrak maksudmu?” sindir Tristan tak habis pikir.
Hubungan Vincent dan Tristan sangatlah dekat layaknya saudara, meski pada dasarnya Tristan tetaplah asisten Vincent sekaligus satu-satunya orang kepercayaannya. Vincent yang terpaut usia setahun lebih tua telah menganggap Tristan sebagai adiknya sendiri dan terkadang tidak sungkan untuk bertukar cerita masing-masing tentang kehidupannya. Tristan tahu betul dengan segala kekurangan serta kelebihan Vincent berikut masa lalunya yang kelam, begitu pula sebaliknya.
Akibat kedekatan itulah, Tristan mampu seakrab itu dengan Vincent, meski hal itu tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap Vincent sebagai atasannya. Tristan sudah sering melakukan berbagai hal—bahkan hal sadis nan konyol sekalipun—dikarenakan titah Vincent yang penuh ambisi. Namun kali ini, Tristan benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Vincent. Bagaimana mungkin ia ingin memerangkap seorang gadis muda untuk dinikahi, bahkan menjadikannya istri simpanan?
“Tidak ada salahnya, bukan?” Vincent mengedikkan bahunya enteng. “Untuk saat ini aku hanya perlu memancingnya untuk tunduk padaku selama masa kontrak pernikahan.”
“Tidakkah... ini terlalu berlebihan?”
“Tentu saja tidak, Tris.”
“Kau menjadikannya istri simpanan. Lalu setelahnya? Bagaimana dengan nasibnya?”
“Mari kita pikirkan itu nanti. Yang jelas, untuk saat ini aku menginginkannya. Aku ingin Anna menjadi milikku.”
Tristan menghela napasnya. Tidak peduli seberapa banyak ia mempertanyakan hal yang kelewat tidak masuk akal ini, Vincent akan tetap kukuh pada pendiriannya. Jika Vincent telah menginginkan sesuatu, maka hal itu tidak akan pernah mampu dibantah oleh siapa pun. Tidak ada yang boleh menentangnya. Keinginannya adalah hal mutlak yang harus dipatuhi dengan segera. Benar-benar otoriter!
“Awasi Anna! Pantau terus gerak-geriknya! Aku yakin, cepat atau lambat, gadis itu akan mendatangiku.”
Ya. Vincent yang telah termakan obsesi gilanya itu akan melakukan segala cara untuk membuat Anna mematuhi kontraknya. Vincent harus melakukan segalanya dengan rapi dan perlahan, sebelum memiliki gadis itu secara utuh setelahnya. Ya. Itulah tujuan akhirnya—memiliki Anna secara utuh. Sangat percaya diri? Tentu saja. Vincent harus mendapatkan apa pun yang diinginkannya—termasuk Anna.
Kekuasaannya tidak terbatas. Jadi sekarang, Vincent hanya tinggal diam membiarkan semesta bekerja untuknya. Pada akhirnya, takdir akan selalu berpihak pada orang yang punya kekuasaan, bukan?
**
“Bagaimana? Kau sudah lebih tenang?” tanya Vincent dengan tatapan khawatir yang terarah pada sang gadis yang kini duduk di samping kursi kemudi.
Setelah insiden mengejutkan yang terjadi pagi tadi di perusahaannya, Vincent langsung membawa Anna naik ke mobil pribadinya. Tanpa berpanjang kata, pria itu langsung tancap gas dengan Anna yang sudi untuk duduk patuh di samping pria itu tanpa tahu ke mana tujuan mereka sebenarnya. Gadis itu terlalu terkejut dengan serangkaian kejadian tak waras yang baru saja menimpanya dalam waktu berdekatan.
Kini, mobil mewah milik Vincent tengah berhenti di tepi jalan setelah pria itu membeli secangkir kopi di kafe untuk Anna. Gadis itu menyeruput sedikit isinya sebelum kembali terdiam dengan tubuh yang luar biasa melemah. Kedua tangannya yang kini gemetaran dibiarkan untuk menggenggam cangkir kopi. Berharap dengan kehangatan yang menjalar mampu memberikan ketenangan pada dirinya.
“Kau... habis menangis?”
“Huh?” Anna menoleh mendengar tanya Vincent yang memecah keheningan.
“Matamu menjelaskan segalanya, Anna.” Tangan Vincent tiba-tiba terulur untuk mengelus wajah Anna. Sempat ingin menghindar, namun Anna tidak kuasa menolak saat telapak tangan Vincent telah mendarat di permukaan wajahnya. Jemari pria itu bergerak perlahan untuk meraba bagian bawah mata Anna yang nampak menghitam akibat kelelahan serta kurang tidur. “Jangan menangis lagi. Kau membuatku khawatir.”
Anna membeku layaknya patung dengan manik hazelnya yang membulat penuh. Ia bahkan hampir lupa caranya bernapas saat wajah Vincent yang kini terlalu condong ke arahnya. Dari jarak sedekat ini, Anna mampu dengan jelas melihat rupa pria itu yang sebenarnya rupawan. Hanya saja, luka bakar di sisi kiri wajahnya yang besar itu membuat kesan menyeramkan akan sosok Vincent yang angkuh semakin mendominasi.
“Sekali lagi aku benar-benar minta maaf karena tidak mengangkat teleponmu.” Vincent kini dengan lancang meraih tangan mungil Anna untuk dikecupnya perlahan.
Anna tentu saja tidak menduga akan pergerakan tiba-tiba itu. Dengan kaku dan takut-takut, Anna menarik tangannya dari Vincent dan langsung berdeham kikuk setelahnya. Sial! Mengapa jantungnya kini jadi bergemuruh tak karuan akibat ulah pria itu?
“Sebenarnya... maksud kedatanganku... setelah menghubungimu—”
“Sssst!” Vincent mengarahkan telunjuknya di bibir Anna yang kesulitan berbicara. Tatapan manik pekat itu lagi-lagi mematikan, membuat sang gadis harus salah tingkah akibat tidak biasa ditatap dengan begitu intens seperti apa yang Vincent lakukan. “Aku sudah tahu.”
Anna mengerjap kebingungan. Tunggu! Maksudnya—
“Orang tuamu... aku akan menanggung seluruh biaya perawatannya.”
Rahang Anna melebar. “Bagaimana bisa... kau tahu—”
“Apakah hal itu penting untukmu? Kurasa tidak.” Vincent menyunggingkan segaris senyumnya. “Yang jelas, aku menganggapmu telah menerima tawaranku kemarin dengan kau yang bahkan mendatangiku terlebih dulu.”
Tenggorokannya tercekat. Anna bahkan kesulitan saat harus menelan salivanya yang seketika terasa pahit. Entah bagaimana caranya kini Anna memberanikan diri untuk melakukan transaksi ini dengan pria yang bahkan baru ditemuinya dua kali. Namun bagaimana lagi? Seberapa keras Anna berpikir ulang bahkan hingga ratusan kali, pada akhirnya Anna tidak dihadapkan dengan pilihan apa pun selain pria di hadapannya—Vincent. Pria itu adalah satu-satunya jalan keluar dari permasalahan yang saat ini menderanya.
“Jadi... aku hanya harus menikah... denganmu?” tanya Anna dengan susah payah. Mendengar ia sendiri melantunkan kata menyeramkan nan tabu itu membuat bulu kuduknya meremang seketika. Menikah? Di usia mudanya yang bahkan sebelumnya tidak pernah ia bayangkan? Bagaimana mungkin? Anna jelas sudah gila!
“Ya. Kau hanya harus menikah denganku.”
“Secara resmi?”
“Tentu saja. Meski kau akan menjadi istri simpananku, namun kita tidak bisa menikah dengan cara ilegal.”
“Bagaimana dengan kontraknya?”
“Mari kita pikirkan itu nanti. Aku selalu terbuka akan diskusi bersama untuk mencapai kesepakatan.”
‘Terbuka’ yang dimaksud Vincent adalah dengan mengedepankan insting dominannya—tentu saja. Vincent mengulum senyum yang hampir terlukis jelas di bibirnya. Sebentar lagi, keinginannya terwujud. Rupanya, tidak perlu waktu lama bagi Vincent untuk membuat Anna mendatanginya dan dengan senang hati menerima tawarannya. Semesta telah bekerja untuknya tanpa harus Vincent yang lebih jauh bertindak untuk memaksakan kehendak.
‘Bukankah takdir sangat menyenangkan, Anna? Pada akhirnya, kau akan terjatuh dalam genggamanku.’
Vincent bersorak sorai dalam hati. Tanpa sadar, lengkung senyum mematikan kembali tercetak jelas di ujung bibirnya seraya menatap Anna. Baguslah. Pria berkuasa itu telah menang bahkan tanpa berusaha lebih keras. Anna yang sedari tadi memperhatikan wajah pria itu dalam keheningan kini merinding. Raut wajah Vincent yang nampak dingin dengan senyuman yang tersungging di sana benar-benar membuat Anna ketakutan hingga menciut di tempat.
“Baiklah. Diam artinya iya. Kuanggap kau sudah setuju,” ucap Vincent enteng seraya tergerak untuk memasang sabuk pengaman bagi Anna dan juga dirinya. “Jadi mari kini lanjutkan perjalanan kita.”
“Kau akan membawaku ke mana?” tanya Anna saat Vincent kini telah menyalakan mesin mobil.
“Ke kantor pencacatan sipil.”
Deg!
“Hah? Untuk apa?”
“Kau masih bertanya untuk apa?”
Oh, lihatlah! Bukankah Anna memang tampak menggemaskan dengan tingkah lugunya? Vincent menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan pertanyaa bodoh itu seraya tersenyum. Selanjutnya, ia benar-benar menarik pedal gas dan membelah jalanan dengan mobil mewahnya seraya mengucapkan satu kalimat pendek yang membuat sang gadis pemilik manik hazel itu melotot sejadi-jadinya.
“Tentu saja untuk mendaftarkan pernikahan kita, Anna.”
“Ap... apa?!”