Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Tidak Masuk Akal

Bab 7 Tidak Masuk Akal

“Tu... tunggu!”

Vincent menahan langkahnya mendengar interupsi dari Anna. Pria itu menoleh pada gadis di sampingnya yang kini tengah menatapnya heran bak makluk asing. “Apa lagi, huh?”

Anna menghela napasnya kembali untuk menetralkan debaran jantungnya yang rusuh tak terkendali. Manik hazelnya terpejam sesaat seraya mengatur napasnya. Anna tengah membuat dirinya tetap merasa waras di situasi sinting sekali pun—seperti saat ini. Setelahnya, ia menatap gedung besar di hadapannya, masih dengan pandangan tidak percaya. Anna mengedipkan matanya berkali-kali, menyadari bahwa objek di hadapannya saat ini bukanlah ilusi belaka.

Rupanya Vincent tidak main-main dengan ucapannya beberapa saat lalu. Pria itu benar-benar melajukan mobil mewahnya untuk menyeret Anna ke kantor pencatatan sipil. Benar-benar tidak bisa dipercaya!

Anna menatap Vincent ragu sebelum memberanikan diri untuk berbicara. “Tuan—”

Vincent memutarkan matanya malas seraya mendengus. “Sudah kubilang—”

“Baik. Vincent,” ralat Anna cepat.

Usia mereka bahkan terpaut cukup jauh—sembilan tahun—namun sepertinya mulai saat ini Anna harus membiasakan diri untuk memanggil pria di hadapannya dengan namanya saja tanpa embel-embel lain. Terdengar cukup tidak sopan sebenarnya, namun Vincent tidak ingin Anna merasa berjarak dengannya. Pria itu ingin secepat mungkin lebih dekat dengan Anna dan membuat gadis itu merasa nyaman di sisinya.

“Jadi... kita akan benar-benar menikah?” tanya Anna—lagi. Bahkan ini sudah kali keempat selama perjalanan mereka ke tempat ini.

“Ya. Tentu saja. Bukankah kau sudah menyetujui itu?”

“Di sini? Sekarang juga?”

Vincent mengangguk tegas. “Aku tidak ingin berlama-lama untuk menjadikanmu istriku.”

Oh, sebuah pernyataan gila!

“Lalu... bagaimana dengan syarat-syaratnya? Aku tidak membawa apa pun selain dompet yang berisi tanda pengenal—”

“Semuanya sudah siap diatur oleh asistenku. Kau tidak usah khawatir. Kita hanya harus datang dan mengikrarkan sumpah pernikahan, setelah itu menandatangani beberapa dokumen sebagai bukti pernikahan.”

Anna makin terperangah di tempat. Bagaimana bisa semudah itu?

“Tak usah kagum seperti itu, Anna. Kau tahu jika orang sibuk sepertiku suka melakukan segala sesuatunya dengan cara yang tergolong cepat, bukan? Bahkan untuk hal-hal yang tidak pernah kau pikirkan sebelumnya.”

Vincent menyunggingkan senyum miringnya. Merasa berbangga diri, mungkin? Oh, astaga! Kini Anna bahkan baru menyadari jika Vincent juga memiliki standar dari sifat orang kaya seperti yang lainnya—kesombongan yang mutlak.

“Bagaimana dengan kontraknya? Mengapa tidak kita buat saja sekarang sebelum pernikahan? Bukankah kau bilang akan mendiskusikannya dulu denganku?” tanya Anna sedikit sewot.

Anna benar-benar tidak habis pikir dengan tindakan Vincent yang amat tidak terduga ini. Baru tadi pagi ia memutuskan mengikuti insting liarnya untuk mendatangi pria itu dan menerima tawaran sintingnya, namun bagaimana mungkin siang hari ini—bahkan masih di hari yang sama—Anna langsung diajak untuk menikah dengan segala persiapan yang bahkan tidak ia ketahui?

Anna pikir Vincent akan memberikannya sedikit tenggang waktu setelah menyatakan kesediaannya. Setidaknya beberapa hari atau bahkan seminggu untuk mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk hari pernikahan. Terlebih, Anna harus mempersiapkan mentalnya yang jauh dari kata siap. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menikah di usia muda. Ia bahkan baru saja ditimpa musibah mengerikan dengan kecelakaan orang tuanya.

Anna masih dalam kondisi mental yang tidak stabil. Namun apa yang ia lakukan saat ini?

Anna kini malah dipaksa untuk berdiri di depan kantor pencatatan sipil untuk menikah dengan sang pria asing yang bahkan hanya ia ketahui nama dan pekerjaaannya. Ya. Bukankah Vincent adalah pria asing bagi Anna? Hingga detik ini pun, Anna masih tidak percaya dengan keputusannya yang seolah tengah ‘menyerahkan diri’ dan mempercayakan nasib hidupnya di tangan sang pria asing tersebut.

“Nanti itu semua bisa kita atur setelah pernikahan,” jawab Vincent enteng tanpa beban.

“Hei, bagaimana bisa seperti itu? Kau ingin aku berkorban lebih dahulu dengan menikah tanpa ada kontrak terikat seperti perjanjian awal yang telah kau ucapkan?” todong Anna dengan tangan bersedekap. Anna langsung melotot tak percaya ke arah Vincent karena merasa tidak adil dengan jawaban pria itu yang seolah menyepelekan keputusan yang benar-benar tidak mudah untuknya. “Bagaimana bisa aku percaya padamu? Bagaimana jika kau hanya akan menjebakku dan tidak bertanggungjawab dengan janjimu nantinya?”

“Kau bisa memegang ucapanku. Aku bukanlah tipe orang yang tidak menepati janjiku.”

Anna balas menatap Vincent yang kini tengah menatapnya lurus. Meskipun terlihat takut-takut pada awalnya, namun Anna tengah berusaha menelisik sorot mata Vincent—mencari secercah kebohongan yang mungkin saja bisa ditemukan di sana. Hasilnya nihil. Anna bahkan tidak mampu menemukan celah keraguan dari tatapan Vincent yang menyiratkan kesungguhan atas ucapannya.

Seperti yang Vincent katakan, ia bukanlah pria sembarangan yang sudi menyelewengkan janji. Vincent memiliki prinsip bahwa harga diri pria terletak dari ucapannya. Vincent anti untuk bermain-main dengan ucapan yang keluar dari mulutnya. Sekali ia berjanji, maka pantang baginya untuk ingkar. Begitu pula dengan janjinya pada Anna yang akan membuat kesepakatan setelah pernikahan terlaksana.

Bukannya Vincent tidak ingin membuat kontrak perjanjian itu sebelum pernikahan, namun itu hanya akan membuang-buang waktunya lebih lama untuk membuat Anna menjadi miliknya. Ya. Saat ini, yang memenuhi isi kepala Vincent adalah untuk sesegera mungkin menyeret sang gadis untuk mengucapkan ikrar pernikahan bersama-sama. Setelah itu, Vincent akan langsung menepati janjinya untuk memberikan segala yang Anna inginkan—termasuk kontrak perjanjian itu dan juga menyelesaikan pembayaran atas biaya rumah sakit orang tuanya.

“Setelah ini... lalu bagaimana?” Pertanyaan Anna membuat Vincent mengernyit heran, belum paham akan maksudnya. “Maksudku... apakah setelah ini kita akan benar-benar berperan sebagai suami-istri sungguhan?”

“Tentu saja. Kau istriku, dan aku suamimu. Walau ini akan dirahasiakan, namun kita akan membangun sebuah rumah tangga yang sesungguhnya. Aku akan menjadi suami yang baik dan akan memenuhi segala keinginan istrinya, begitupula denganmu. Lakukan peranmu sebagai istri yang baik—seperti istri normal yang lain.” Vincent tiba-tiba menggantungkan kalimatnya di udara sebelum berdeham kecil. Pria itu dengan sengaja mencondongkan tubuhnya lebih rendah untuk menatap Anna tepat sejajar di manik hazelnya yang tengah menanti penjelasan. “Kau tahu? Aku juga butuh dilayani baik fisik maupun... batin.”

Deg!

Jantungnya bagai berhenti berdetak untuk sesaat.

Anna mengedipkan matanya lalu spontan menelan salivanya.

Ia bahkan hampir melupakan ‘hal menyeramkan’ itu yang akan otomatis menjadi suatu keharusan atas perannya sebagai seorang istri. Meski Anna berstatus jomblo seumur hidup, namun ia juga tidak terlalu bodoh untuk mengerti makna tersembunyi dari ‘kebutuhan batin’ yang Vincent maksud. Bahkan pria itu seolah dengan sengaja menambah tekanan nada bicaranya dengan aksen yang menggoda saat mengucapkan frasa itu, membuat bulu kuduk Anna meremang karenanya.

Hawa panas tiba-tiba menjalar di sekujur tubuh Anna. Darahnya berdesir hebat hingga membuat wajahnya memerah bak kepiting rebus. Astaga! Kendalikan dirimu, Anna!

“Hanya saja semua itu akan lebih terbatas dengan statusmu yang menjadi istri simapananku serta terikat dengan beberapa kontrak dan tentunya jangka waktu yang akan kita sepakati,” tambah Vincent memperjelas.

Anna berusaha berpaling, mengalihkan tatapannya dari Vincent akibat kecanggungan yang tiba-tiba dirasakan. “Aku... tidak ingin memiliki anak. Kau tahu... aku masih mahasiswi.”

Senyum Vincent kembali terpeta jelas di bibirnya. Angin segar tiba-tiba menghampiri Vincent tanpa terduga. Ucapan Anna barusan seolah telah menyiratkan kesiapan sang gadis secara utuh untuk menerimanya. Ada adrenalin yang seketika membuncah di dada Vincent begitu mengetahui bahwa kini Anna telah benar-benar menyiapkan diri untuknya, baik fisik... maupun batin.

Oh, astaga! Kutuklah Vincent dengan pemikirannya yang kini mulai berfantasi liar hanya dengan mendengungkan ucapan Anna tersebut yang langsung terngiang-ngiang dalam benak. Tidak! Vincent menggeleng tegas. Ia harus mengendalikan dirinya sebaik mungkin—setidaknya sebelum mengucap ikrar pernikahan.

“Kau tahu? Ucapanmu barusan tiba-tiba membuatku jadi lebih bersemangat untuk segera menjadikanmu istriku, Anna.”

Anna mundur selangkah begitu Vincent mengatakan kalimat itu dengan nada rendah dan dalam. Seketika itu juga Anna kembali merinding ketakutan.

“Tentu saja, Anna. Jika itu yang kau mau.” Vincent kembali menarik dirinya, sadar bahwa dia telah membuat Anna semakin menciut di tempat. “Lalu apalagi yang kau inginkan? Haruskah kita membuat perayaan kecil-kecilan setelah akad nanti?”

Anna menggeleng tegas. “Tidak usah! Lagipula hanya kau dan aku yang tahu tentang pernikahan ini.”

“Dan juga asistenku,” tambah Vincent dengan pandangan terarah pada seseorang yang kini baru saja hadir. Sang gadis langsung menoleh cepat dan mendapati sesosok pria tak dikenal yang tiba-tiba muncul di belakangnya. “Perkenalkan, Anna. Ia Tristan—asisten sekaligus orang kepercayaanku. Ia yang menyiapkan segala keperluan untuk pernikahan kita.”

Tristan membungkuk hormat sebagai sapaan perkenalan diri. “Semuanya sudah siap.”

Vincent mengangguk kemudian menyuruh Tristan pergi dengan isyarat dagunya yang seketika itu juga langsung dipatuhi tanpa banyak bicara. Tangan kanan Vincent terulur, berharap Anna sudi untuk menyambut agar mereka mampu bergandengan tangan sebelum mengucap ikrar. “Ayo! Tunggu apa lagi?”

Namun rupanya keinginan Vincent itu harus tertunda. Alih-alih menyambut hangat, Anna kini menatap uluran tangan Vincent seraya masih bergeming di tempat. Vincent menunggu dengan tidak sabar dan hampir menyuarakan protesnya sebelum Anna kembali berbicara, “biarkan aku bertanya satu hal lagi padamu.”

Vincent mendesah lelah seraya merotasi maniknya. Hampir saja ia kehilangan kesabaran. “Baiklah. Apa?”

“Apa alasannya?”

“Huh?”

“Apa alasan kau ingin menikahiku—” Anna menggeleng, merasa ada yang salah dengan kalimatnya. “—maksudku... menikah kontrak denganku.”

Ya. Itulah yang menjadi pertanyaan besar nan mengganjal bagi Anna hingga saat ini. Bagaimana bisa pria dominan seperti Vincent yang berkuasa dan kaya raya sudi menikahi gadis menyedihkan dan sama sekali tidak menarik seperti dirinya? Apa sebenarnya alasan Vincent untuk nekat menawarkan pernikahan kontrak dengan Anna? Bahkan berjanji untuk memberikan segala yang Anna inginkan jika menerima tawarannya?

Anna masih tidak juga mengerti, namun Vincent dengan kontras tersenyum sebagai respon. Kedua tangannya terulur, menyentuh bahu Anna dan meremasnya perlahan. Pria itu tengah mengisyaratkan keyakinan penuh bagi gadis di hadapannya. Setelahnya, rentetan kalimat tidak rasional kembali terucap di bibirnya dengan cara yang amat enteng. Vincent menjawab tanpa beban. “Karena aku ingin kau, Anna. Aku ingin memilikimu... untukku. Sesederhana itu. Haruskah ada alasan lain yang lebih masuk akal?”

Dan, rahang Anna harus kembali terjatuh dari tempatnya. Tidak dapat dipercaya. Bahkan, alasan yang dilontarkan itu pun sama sekali tidak masuk akal. Benar-benar pria sinting!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel