Bab 8 Kendali Sang Dominan
Bab 8 Kendali Sang Dominan
Anna masih tergugu bak gadis dungu, menatap tidak percaya beberapa dokumen di hadapannya dengan manik melebar. Setelah mengucapkan ikrar pernikahan dengan amat singkat, kini Anna resmi mengubah statusnya di usia yang ke-21. Sulit dipercayai, bahkan tanpa perayaan apa pun, Anna telah berstatus sebagai seorang istri. Oh, betapa mengerikan saat Anna harus melantunkan kata itu meski hanya dalam hatinya!
Ya. Kini Anna adalah seorang istri simpanan secara sah. Benar-benar sebuah fakta yang mencengangkan!
Anna kemudian menoleh—mendapati Vincent yang tengah menandatangani dokumen terakhir pernikahan. Anna mengerjap tidak percaya seraya memperhatikan segala gerak-gerik pria itu dari samping. Jadi... kini pria itu adalah suaminya? Pria asing nan sinting yang telah menjerat Anna dengan tawaran gilanya? Astaga! Harus berapa kali Anna meyakinkan diri bahwa kini mereka sudah secara sah terikat menjadi suami-istri—baik secara agama maupun negara.
“Jadi... kita benar-benar telah menikah?” tanya Anna sekali lagi saat Vincent menyerahkan map yang berisi dokumen pernikahan di hadapannya.
“Haruskah kita membuat pesta kecil-kecilan sebagai perayaan hanya untuk kita berdua saja?”
“Tidak!” jawab Anna cepat—bahkan amat cepat, membuat Vincent terkikik geli dengan reaksi Anna yang masih linglung dengan situasi ini.
“Baiklah. Terserah kau saja, istriku.” Vincent mengangguk sebelum—
Cup!
Dengan lancang, pria itu mendaratkan sebuah kecupan di pipi Anna.
Anna yang mendapatkan pergerakan tak terduga tersebut jelas langsung histeris dan mundur satu langkah dari Vincent. “Yak!”
Alih-alih sadar dengan kelakuannya, Vincent hanya mengedikkan bahunya enteng seraya maju satu langkah untuk kembali mendekat pada Anna. Tangannya seketika terulur untuk meraih wajah Anna—sedikit memaksa gadis itu untuk menatapnya. “Kenapa? Aku kini suamimu, Anna. Salahkah jika aku ingin mencium istriku sendiri?”
Anna menepis tangan Vincent dan memalingkan wajahnya. Ia tidak sanggup menatap manik pekat itu secara langsung. Anna merasakan jantungnya kembali bergemuruh tidak karuan dengan tangan yang terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Jika saja Anna tidak ingat dengan perjanjiannya, maka sudah pasti Anna akan mendaratkan satu hadiah tamparan di wajah sang pria. Wajar saja, keadaan ini masih terlalu membingungkan untuknya dan Vincent yang berlagak santai di hadapan hanya membuat tingkat stres Anna semakin naik dengan drastis.
“Lalu bagaimana dengan janjimu?” Anna kembali membuka suara setelah berusaha sebaik mungkin untuk mengendalikan diri. “Tentang orang tuaku—”
“Ah, Tristan telah mengurus semuanya.”
“Semuanya?” ulang Anna untuk memastikan.
Vincent mengangguk. Ia baru saja mendapatkan sebuah pesan dari Tristan beberapa saat lalu yang mengabari bahwa asistennya tersebut telah mengurus segala keperluan juga biaya rumah sakit untuk kedua orang tua Anna. “Kau bisa menghubungi pihak rumah sakit jika memang perlu.”
Dan benar saja, saat Anna menghubungi pihak rumah sakit, rupanya semua biaya tanggungan untuk kedua orang tuanya telah lunas dibayarkan. Anna juga mendapat kabar bahwa sang ibu telah ada dalam kondisi stabil dan akan menerima operasi lanjutan, sementara sang ayah telah sadarkan diri tadi pagi dan kini tengah mengalami pemulihan. Syukurlah, kondisi kedua orang tuanya mulai membaik ke arah yang positif. Anna menutup sambungan teleponnya sebelum menatap Vincent ragu-ragu yang kini tengah mengawasinya dengan tangan bersedekap.
“Bagaimana? Kini kau percaya bahwa aku adalah pria yang pandai menepati janji, bukan?”
Selanjutnya, Vincent juga berjanji untuk terus membiayai seluruh perawatan kedua orang tua Anna hingga sembuh total. Anna diminta tidak usah lagi mengkhawatirkan apa pun. Dengan menikahi Vincent, Anna tidak lagi dibebankan atas apa pun—terutama segala hal yang terkait masalah finansial dalam hidupnya. Semuanya terasa lebih mudah memang untuk orang berkuasa seperti Vincent. Sementara menurut Anna, ini merupakan sebuah keajaiban.
Haruskah Anna bersyukur atas segala kemudahan ini? Entahlah. Yang jelas, ia memang harus membayar sebuah kemudahan dengan pengorbanan. Anna tidak semata-mata menerima semua ini dengan percuma, seolah mendapat sebuah rezeki nomplok dari langit. Ada nilai besar yang harus Anna relakan dengan melepas masa lajangnya demi mengikuti pernikahan konyol dengan berdasarkan kontrak. Harga diri Anna telah habis tergadai dengan menyetujui ide gila Vincent.
“Masalah kontrak hitam di atas putih juga akan diurus Tristan. Beberapa poin keinginanmu sudah kukirimkan padanya. Nanti Tristan akan mengirim draft kontrak yang bisa kau baca terlebih dulu. Jika ada tambahan—seperti beberapa hal yang kau inginkan atau bahkan jika kau ingin merevisi kontrak, kau bisa langsung mengatakannya padaku.” Vincent menjelaskan panjang lebar, membuat Anna mengangguk mengerti.
“Baiklah. Jadi kini aku sudah bisa pulang?”
“Tentu saja. Kau pulang bersamaku.”
Deg!
“Apa?”
“Apanya yang salah? Kita sudah sah menjadi sepasang suami-istri. Dan kini kau bisa tinggal di mansion-ku.”
“Tu... tunggu!” Anna kembali melangkah mundur dengan kedua tangan yang langsung memberi tanda menjauh bagi Vincent, takut-takut pria itu akan mendekat ke arahnya. “Kita tidak pernah membicarakan ini sebelumnya.”
“Bukankah aku sudah mengatakan padamu bahwa kita akan berperan layaknya suami-istri pada umumnya? Lalu bagaimana kita akan mewujudkan itu jika kau tidak tinggal bersamaku?”
Anna mendengus frustrasi, merasa menjadi orang terbodoh sedunia. Mengapa tidak pernah terpikirkan oleh Anna sebelum ini jika Vincent akan membawa dirinya untuk tinggal bersama? “Maksudku... bagaimana dengan orang tuaku?”
“Orang tuamu akan menjalani perawatannya hingga pulih. Tristan akan mengawasinya, dan mulai hari ini akan ada orang yang mengurusnya dari pihak rumah sakit. Kau juga bisa sesekali menjenguk mereka. Aku tidak akan melarang untuk itu. Asalkan kau tidak melupakan prioritasmu dalam melaksanakan kewajibanmu sebagai istriku.”
“Lalu apa yang harus aku katakan pada mereka jika aku akan tinggal denganmu?”
“Mari kita pikirkan sebuah alasan yang masuk akal nanti.”
Ya. Vincent telah memikirkan beberapa opsi yang dapat Anna pilih sebagai alasannya meninggalkan rumah. Gadis itu bisa saja mengatakan pada orang tuanya bahwa ia telah mengambil pekerjaan paruh waktu di sela-sela kuliah hingga mengharuskannya untuk tinggal di tempat yang lebih dekat dengan tempat kerjanya. Atau alasan apa pun itu, Vincent tidak terlalu peduli. Meraka bisa pikirkan itu nanti. Yang jelas, Vincent akan segera memboyong Anna ke tempat tinggalnya—sebuah mansion mewah yang terletak di pusat kota.
“Ah ya, dan temanmu... siapa namanya? Bella? Tristan juga telah mengurusnya. Gadis itu sekarang sudah pulang ke rumahnya. Kau bisa menghubunginya nanti.”
Anna menepuk jidatnya. Oh, astaga! Ia bahkan hampir melupakan kehadiran sang sahabat yang telah bersedia menunggu kedua orang tuanya di rumah sakit.
“Berikan aku waktu.”
Vincent mengernyit mendengar ucapan tiba-tiba itu. “Untuk?”
“Mempersiapkan kepindahanku.” Anna menatap Vincent dengan berani untuk mengutarakan keinginannya. “Sekarang biarkan aku pulang, beristirahat, dan mengambil beberapa barangku.”
“Ya. Kau bisa lakukan itu nanti.”
Ucapan yang bernada perintah tersebut membuat Anna langsung melotot.
“Sekarang, kau harus ikut denganku terlebih dulu.”
Anna menepis Vincent yang hampir meraih tangannya kembali. “Aku tidak mau ikut denganmu!”
Vincent mendesah jengah. Gadis ini bisa keras kepala juga ternyata. Haruskah ia sedikit mengalah demi Anna? “Baiklah. Jika kau tidak ingin pergi ke tempat tinggalku, maka kau harus ikut aku ke hotel.”
“Apa?” Anna makin menganga tidak percaya dengan perintah yang lebih tidak masuk akal tersebut. “Kau tidak bisa semena-mena seperti ini padaku, Vincent!”
“Bukankah kau bilang ingin istirahat?”
“Ya, dan aku ingin pulang!” Anna membiarkan dirinya meledak di hadapan Vincent. Ia merasa tidak terima jika harus diperlakukan seenak jidat oleh pria angkuh tersebut.
“Aku tidak akan membiarkanmu beristirahat di rumah sempitmu itu!”
Anna tergugu, begitu pun dengan Vincent yang kemudian terdiam—sadar akan ucapannya yang kurang ajar tersebut. Namun mau bagaimana lagi? Perkataannya memang benar adanya. Pria itu tidak ingin jika Anna harus kembali terpuruk di rumahnya sendirian. Vincent tahu betul akan kondisi Anna yang masih terguncang. Anna juga menderita kelelahan yang tergambar jelas dari raut wajahnya.
Terlebih, Vincent juga tidak ingin membiarkan Anna lepas dari jangkauannya untuk saat ini. Vincent tidak ingin menerima risiko buruk yang mungkin terjadi jika bahkan kini mereka belum menandatangani kontrak secara resmi.
Anna hanya bisa mendecih dengan linangan air mata sialan yang seketika menyeruak—mengaburkan pandangannya. Anna tiba-tiba mengasihani nasibnya sendiri yang terlalu malang ini hingga bahkan tidak memiliki pilihan selain menuruti perintah sang tuan dominan yang telah membayar penuh biaya rumah sakit orang tuanya. Anna menyadari betapa rendah harga dirinya di hadapan Vincent yang memiliki segala kekuasaan yang berlimpah ruah.
Dunia seolah-olah berada dalam genggamannya, hingga pria itu mampu dan berhak menentukan opsi terbaik untuk kelangsungan hidup Anna selanjutnya—sang gadis miskin yang tak berdaya. Lagipula, mengapa Anna harus kaget? Seharusnya Anna tidak perlu terlalu terkejut lagi akan Vincent yang mampu mengetahui segalanya—termasuk seluk beluk hidupnya hingga keluarganya. Pria itu mempunyai segala cara ajaib untuk menyelidiki latar belakangnya terlebih dulu.
“Aku hanya ingin kau beristirahat dengan nyaman dan memberikan segala fasilitas terbaik untukmu, Anna.” Vincent melembutkan suaranya. Sadar jika gadis di hadapannya masih berada dalam kondisi mental yang tidak stabil. Tidak seharusnya ia memperumit keadaan. Meski sebenarnya ia juga hampir kehilangan kesabaran dengan kekeraskepalaan Anna. “Masalah kepindahanmu... baiklah. Kau bisa melakukannya besok atau lusa.”
“Tapi—”
“Annastasia!” Vincent menaikan satu oktaf suaranya pada gadis yang tak kunjung menurut itu, membuat Anna tersentak kaget dengan linangan air mata yang sedari tadi ditahannya mati-matian hampir tumpah membasahi pipinya.
‘Tahan, Vincent! Tahan! Kau bisa mengendalikan emosimu dengan baik!’
Setelah mengendalikan dirinya dengan susah payah, kini tangan Vincent terulur demi menggenggam tangan mungil Anna seraya mengelusnya perlahan. “Ikut aku dan beristirahatlah. Percayalah padaku. Aku hanya ingin memberikan segala yang terbaik untukmu, Anna.”
Dan dengan itu, Anna kembali pasrah saat tubuh lemahnya harus ditarik paksa oleh Vincent menuju mobil mewahnya. Manik hazel itu menerawang dengan pandangan yang tak memiliki secercah kilau semangat. Anna merasa hampa. Kosong. Kini ia bahkan merasa tidak memiliki daya atas hidupnya sendiri. Terlebih, karena kini sang pria dominan di balik kemudi telah mengendalikan Anna dengan segala keinginannya yang sulit untuk terbantahkan.
Kontras dengan Anna, kini satu seringaian bengis tercetak samar di salah satu sudut bibir sang pria. Sesuai rencananya, perjanjian itu membuat Vincent memiliki kendali penuh atas hidup Anna. Bukankah... ini menyenangkan?