Bab 16 Sebuah Ritual
Bab 16 Sebuah Ritual
Setelah seminggu lebih tinggal di tempat tinggal mewah tersebut, kini Anna sudah mulai terbiasa hidup satu atap bersama dengan Vincent. Hidupnya berjalan normal. Anna menjalani hari-harinya dengan nyaman, bahkan sesekali masih mengunjungi kedua orang tuanya yang kini mulai mengalami pemulihan yang positif meski keduanya masih harus terbaring lemah di rumah sakit.
Hari ini Anna harus bangun pukul tujuh karena kelas paginya akan dimulai. Setelah mempersiapkan diri selama satu jam penuh, Anna langsung bergegas ke lantai satu untuk sarapan. Satu hal yang berubah dari Anna semenjak tinggal di sana ialah bahwa kini ia sangat memperhatikan penampilannya. Setiap akan berangkat ke kampus, Anna selalu sibuk menghabiskan lebih banyak waktunya untuk memilah pakaian yang akan ia kenakan.
Yang lebih mengejutkan, Anna juga kini mulai belajar untuk merias diri. Belum sampai di tahap handal, hanya riasan sederhana yang terkesal flawless yang ia pelajari dari tutorial video make-up di internet. Meski terkesan simpel, namun Anna kini menjelma menjadi gadis mempesona yang diidam-idamkan banyak orang. Penampilannya semakin stylish dari hari ke hari, mencuri perhatian banyak orang dalam sekali tatap.
Mari ucapkan selamat tinggal pada gelar ‘fashion terrorist’ yang selama ini disandangnya! Ejekan itu sudah tidak berlaku lagi bagi seorang Annastasia Lazuardi—gadis yang bahkan kehadirannya saja kini sudah menjadi buah bibir di lingkungan kampusnya.
“Selamat pagi!” sapa Anna riang pada Vincent yang telah duduk di meja makan untuk menikmati sarapannya terlebih dulu. Pria itu telah rapi dengan jas kantornya dan kini tengah sibuk menilik sebuah kotak berukuran sedang yang baru saja diterimanya. Semacam paket? Entahlah. Anna tidak terlalu peduli dan segera mengambil roti panggang untuk sarapannya.
“Kau akan memakai itu ke kampus?” tanya Vincent tiba-tiba saat Anna membuka mulutnya lebar-lebar—hendak menyuap rotinya.
Mau tidak mau, pergerakan Anna terinterupsi hingga ia menurunkan kembali rotinya ke piring. Mendapati Vincent yang kini mengarahkan tatapan tajam padanya, Anna merasa ada sesuatu yang salah dengan busana yang dikenakannya. Namun... apa? Anna menunduk—memperhatikan lagi penampilannya dengan saksama. Di mana letak kesalahannya kali ini?
Berhubung cuaca akhir-akhir ini dingin bahkan hujan terkadang datang tanpa diduga, maka saat ini Anna lebih memilih untuk mengenakan sweter rajutan gombrong berwarna abu serta celana jenas hitamnya, lengkap dengan sepatu wedges berwarna hitam mengkilat. Tidak lupa, agar tetap membuat tubuhnya terjaga dari hawa dingin maka Anna mengenakan syal hitam yang membalut lehernya.
Seharusnya tidak ada yang salah dengan penampilan Anna saat ini yang amat simpel nan casual ini, bukan?
“Ganti syalmu!”
Anna mengernyit. “Kenapa?”
“Terlalu suram. Flat. Ganti dengan warna putih!”
“Tapi—”
“Anna, ganti!”
Mendengar penekanan atas kata perintah itu membuat Anna langsung mencebik tak suka. Gadis itu kemudian menarik kursinya sebelum melangkah dengan kaki yang dihentak-hentakkan sepanjang perjalanannya menuju kamar di lantai dua bak anak kecil yang tengah merajuk. Vincent yang melihat itu hanya mampu terdiam dengan menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Ia sudah mulai terbiasa dengan tingkah kekanakkan Anna yang terkadang muncul setelah mengalami perdebatan dengannya.
Kali ini, mau tidak mau Anna harus patuh untuk mengganti syalnya sesuai keinginan Vincent. Lagipula, selama seminggu ini Vincent yang membantunya untuk memadupadankan pakaian sehingga selalu tampil mempesona di setiap penampilannya. Manik pekat milik Vincent selalu jeli dalam menilai penampilan seseorang. Pengalamannya sebagai CEO di usia muda dalam memimpin perusahaan hiburan ternama memang tidak akan pernah menipu.
“Begini lebih baik,” ucap Vincent saat kini Anna telah kembali duduk di hadapannya dengan syal yang ia rekomendasikan. Harus diakui, penampilan Anna saat ini lebih baik dibanding yang sebelumnya.
“Terserahlah!” ketus Anna yang langsung menyantap rotinya dengan bibir yang masih manyun.
Kesal? Tentu saja. Sarapannya jadi terganggu, bahkan ia harus kembali berjalan ke kamarnya yang lumayan jauh itu hanya untuk mengganti syalnya. Ish! Merepotkan saja! Namun, kekesalan Anna kemudian segera teralihkan saat Vincent kini malah sibuk dengan sebuah kamera di tangannya alih-alih menikmati sarapannya. Kamera itu sepertinya adalah isi dari kotak yang baru saja dibukanya.
“Kamera baru?”
Vincent mengangguk. “Tristan baru mengirimnya tadi pagi. Ingin mencobanya?”
“Aku... tidak tahu cara menggunakannya.”
“Sudah kuduga.”
Anna kembali mencebik saat mendengar nada mengejek yang tertangkap jelas dari ucapan Vincent. Ck! Dasar pria sombong!
“Nanti akan kuajari caranya jika ada waktu luang.”
Ckrek!
“Hei, apa-apaan?!” kaget Anna saat tiba-tiba Vincent mengarahkan lensa kamera tersebut padanya dan memotretnya tanpa izin.
“Memotretmu,” jawab Vincent enteng, kontras dengan Anna yang mulai menunjukkan tanduk kemarahannya. “Lihat! Kau lucu dengan pipi menggembungmu itu!” Vincent kemudian menunjukkan foto Anna yang baru saja diambilnya—memperlihatkan sang gadis yang tengah mengunyah rotinya dengan mulut penuh hingga pipinya menonjol. Aish, memalukan!
“Hapus, Vincent!” geram Anna dengan mata melotot.
“Tidak!”
“Yak!”
“Kau ingin jadi modelku?”
Manik Anna melebar dengan kening mengernyit atas pertanyaan tiba-tiba itu di tengah keributan mereka. Anna pikir Vincent tengah melontarkan candaan, namun raut wajahnya kini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pria itu tengah menggodanya. “A... aku?”
“Coba kau bergaya!”
“Gaya... apa?”
“Gaya apa pun, Anna.”
“Aku tidak bisa bergaya di depan kamera,” tolak Anna seraya melahap suapan terakhir rotinya.
“Oh, ayolah! Kau harus mencobanya!”
“Vincent, aku—”
“Sebentar saja.”
Vincent menarik paksa Anna agar sudi berdiri dari kursinya. Gadis itu bahkan tidak sempat meraih gelas jusnya untuk diminum akibat paksaan Vincent yang kini menyeretnya ke bagian belakang rumahnya. Vincent kemudian mengarahkan Anna untuk bergaya di depan kamera dengan kolam renang sebagai latar fotonya. Awalnya, Anna hanya berdiri kaku. Ia tidak tahu harus menggerakkan tubuhnya seperti apa hingga menciptakan gaya seperti gadis seusianya yang handal dalam berpose.
Maklum saja, selama ini Anna memang jarang difoto—atau bahkan mungkin dapat dikatakan tidak pernah bergaya sendirian di depan kamera selain foto kelulusannya. Anna terlalu malu menunjukkan penampilannya yang hanya akan jadi cibiran banyak orang. Namun kini, Vincent merasa bahwa Anna perlu meningkatkan kepercayaan dirinya. Dengan perubahannya yang signifikan, Anna tidak perlu merasa minder lagi, bukan? Bahkan seharusnya, Anna tidak perlu malu lagi untuk menunjukkan pada dunia tentang dirinya.
Vincent bahkan dengan lihai mengajarkan Anna beberapa pose andalan saat berfoto di depan kamera, layaknya seorang model profesional yang biasa ditanganinya di perusahaan. Walau merasa gelisah dan sedikit tidak nyaman, namun Anna menurut saja saat Vincent dengan telaten menyuruhnya mengikuti beberapa instruksi gerakan tersebut. Sejujurnya, ini terlalu memalukan bagi Anna yang bahkan tidak terlalu suka wajahnya diekspos berlebihan di kamera.
“Bagaimana? Cantik, bukan?” tanya Vincent seraya memperlihatkan hasil jepretannya kepada Anna.
Jujur, Anna yang tadinya merasa malu kini malah terkagum dengan hasil foto Vincent. Ia bahkan tidak percaya bahwa gadis yang ada di layar kamera itu adalah dirinya. Hasil fotonya terlalu... mengagumkan? Oh, kini bahkan Anna merinding sendiri saat menyadari bahwa ia tengah memuji dirinya sendiri. Namun sungguh, ini tidaklah berlebihan. Tidak ada foto yang bahkan nampak jelek untuk dilihat. Anna sangat menyukai hasil foto Vincent.
“Foto akan tampak lebih bagus saat kau tahu angle mana yang pas untuk ditunjukkan di kamera,” jelas Vincent setelah menunjukkan karyanya yang membanggakan.
Pantas saja pria itu menyandang jabatan menakjubkan di usia muda, bahkan terus membawa nama perusahaannya semakin tersohor. Ternyata, kemampuannya juga tidak main-main. Terlepas dari segala keberuntungannya dengan terlahir membawa sendok emas di mulutnya, Vincent juga amat berbakat. Terbukti, ia bisa mengubah Anna yang canggung nan kaku ini menjadi seperti sekarang. Ia juga bisa menyulap dengan singkat kemampuan Anna untuk berani bergaya dengan beberapa pose yang menakjubkan di depan kamera.
“Bagaimana? Kau tertarik untuk jadi modelku?”
Anna menggeleng tegas. “Tidak!”
“Kenapa? Aku bisa melatihmu untuk tampil lebih baik di depan kamera. Nantinya, tubuhmu tidak akan kaku lagi layaknya papan seperti tadi.”
Anna mendengus atas ejekan Vincent. “Tidak. Hanya... tidak ingin saja.”
“Aku akan membayarmu. Tenang saja. Meskipun kau istriku, aku akan tetap profesional jika menyangkut masalah pekerjaan.”
“Tidak, Vincent. Bukan masalah itu.” Anna menggeleng sebelum menatap Vincent ragu. “Aku... tidak percaya diri di depan kamera.”
“Itu dia masalahnya. Kau terlalu takut untuk mencoba hal baru. Kau tidak yakin akan kemampuan dirimu sendiri, Anna.” Vincent menghela napasnya. Kedua tangannya terangkat untuk memegang bahu Anna, membuat tubuh mereka saling berhadapan.
Ditatapnya gadis itu dengan pandangan lurus tepat di maniknya sebelum melanjutkan, “Cobalah untuk lebih percaya dengan dirimu, Anna. Kau tidak akan tahu sampai mana batas kemampuanmu jika kau masih terus-terusan stuck dan terperangkap di posisi yang sama. Sesekali, cobalah keluar dari zona nyamanmu. Tunjukkan, bahwa kau memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dari ini. Aku yakin, masih banyak potensimu yang belum tergali.”
Anna meresapi betul ucapan panjang lebar Vincent dengan manik berbinar. Baru kali ini ia merasakan didukung sepenuhnya oleh seseorang selain kedua orang tuanya, juga Bella—sang sahabat terdekat. Anna merasa... berharga? Ini adalah kali pertama di hidupnya saat merasa terspesialkan oleh seseorang, dan itu adalah Vincent. Entahlah. Anna tahu ia tidak seharusnya terbawa sensasi akan perasaan menggebu-gebu ini terlalu jauh, terutama mengingat akan statusnya yang hanya terikat oleh kontrak.
Namun... letupan euforia mendadak di hatinya ini tidak bisa begitu saja dipadamkan. Astaga! Kendalikan dirimu, Anna!
Setelah susah payah mengendalikan diri dengan menarik napasnya berulang kali, kini Anna memutus kontak mata dengan Vincent. Ia mundur selangkah sebelum berbicara dengan hampir terbata. “Sepertinya... aku... harus segera berangkat.”
“Oh ya, kau harus berangkat sekarang.” Vincent melirik arloji di tangan kirinya dan baru menyadari jika ia pun harus segera bersiap-siap untuk pergi ke kantor. “Ingin diantar?”
“Tidak!” jawab Anna cepat—bahkan terlalu cepat untuk melontarkan penolakan tegas, membuat Vincent yang sudah hafal akan reaksi Anna hanya mampu mengulum senyum. “Aku pergi dulu.”
“Kau lupa sesuatu, Anna.”
“Huh?”
Anna yang baru saja hendak berbalik untuk mengambil tasnya di meja makan kini harus kembali menghadap pada Vincent yang berdiri menyender di ambang pintu belakang. Pria itu tengah menatapnya, seolah-olah menunggu dengan tangan bersedekap. Tanpa harus mengucapkan apa pun, Anna kini sudah paham betul dengan apa yang diinginkan Vincent. Baiklah. Anna harus mengakui bahwa ia hampir lupa dengan kebiasaannya selama seminggu ini—bahkan mungkin akan menjadi kebiasaannya pada hari-hari mendatang.
Cup!
Anna mendaratkan kecupan kilat di pipi Vincent sebelum benar-benar pergi dengan tasnya yang telah terselempang rapi. Jadi, anggap saja kecupan di pipi tersebut adalah ritual yang harus dilakukan Anna saat hendak berpamitan kemana pun ia akan pergi. Ish! Keinginan Vincent benar-benar merepotkan!