Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Burung dalam Sangkar Emas

Bab 15 Burung dalam Sangkar Emas

Rahang Anna jatuh tak tertahankan saat melihat objek pemandangan yang begitu mengejutkan di hadapannya saat ini. Setelah mengunjungi orang tuanya di rumah sakit, Vincent tidak membuang waktu lebih lama untuk langsung menyeret Anna ke tempat tinggalnya—sebuah mansion mewah miliknya. Meskipun terletak di pusat kota, namun suasana di tempat ini amatlah sejuk. Deretan pohon yang tumbuh rindang nan terurus serta hamparan rumput yang tertata rapi memenuhi halaman luas tempat ini.

Saat memasuki gerbang depan yang menjulang tinggi, Anna langsung merasakan sensasi bagai dibawa ke dimensi lain. Tempat ini bagai sebuah istana impinan yang hanya ada di negeri dongeng. Bagi Anna, semua yang ada di hadapannya kini terasa amat tidak nyata. Anna bahkan langsung disambut dengan kedatangan pelayan berseragam yang dengan sigap membawa barang-barangnya yang tak seberapa banyak. Ini adalah sebuah perlakuan yang tidak pernah didapatkannya seumur hidup.

“Jadi... ini mansion-mu?” tanya Anna setelah Vincent mengajaknya untuk masuk.

Vincent mengangguk sebagai respon. Pria itu hanya terdiam dengan tangan bersedekap, betah memperhatikan pergerakan Anna yang kini seolah masih berada di dunianya. Kaki kecilnya bergerak takut-takut di lantai marmer yang bahkan baru pertama kali dilihatnya secara langsung. Katakanlah ia memang norak, namun kini manik hazelnya tidak henti berkeliling untuk menjelajah. Anna memperhatikan setiap detail dari desain interior ruangan yang benar-benar luas itu.

Pantas saja pria itu mengatakan tempat tinggalnya sempit. Rumah Anna bahkan tidak ada seperempatnya dari luas halaman mansion Vincent. Astaga! Benar-benar sebuah perbandingan yang terlalu menyedihkan untuk diketahui.

Rumah berlantai tiga yang didominasi warna putih ini bergaya klasik khas Eropa dengan langit-langit yang tinggi. Struktur bangunannya yang kokoh dihiasi oleh beberapa pilar penyangga sebagai pembatas ruangan di lantai dasar, membuat kesan luas nan megah langsung terasa meski dengan sekali tatap. Interior rumah itu benar-benar membuat Anna terpesona. Lampu gantung kristal, furniture antik, bahkan segala detail kecil seperti ukiran rumit di dinding dan di sekitar jendela besar yang mengkilap membuat sorot kagum tak henti terpancar dari maniknya.

“Kau tinggal sendiri?” tanya Anna setelah mengendalikan diri dari rasa kekagumannya.

“Ya. Begitulah.”

Ya. Vincent memang tinggal sendiri di mansion mewahnya. Meski secara teknis, pria itu tidak benar-benar sendiri dengan belasan pegawainya yang selalu siap melayani 24 jam penuh.

“Lalu... orang tuamu?”

Ada gemetar tak biasa di manik pekat milik Vincent saat pertanyaan itu terlontar lugu dari Anna. Sebuah pertanyaan yang biasa saja sebenarnya, namun memberikan efek yang tidak biasa bagi pria itu. Vincent memilih untuk terdiam sesaat sebelum berdeham—menetralkan tenggorokannya yang tiba-tiba mengering. Tanpa Anna sadari, ia baru saja mengusik sesuatu yang Vincent tidak sukai.

Alih-alih menjawab pertanyaan Anna, Vincent kini berjalan ke bagian belakang rumahnya dan membuka pintu besarnya. “Di sini juga ada kolam renang. Kau bebas menggunakannya kapan pun kau ingin.”

Anna sebenarnya sempat mengernyit atas reaksi Vincent yang seolah terburu untuk mengalihkan topik pembicaraan, namun Anna merasa bahwa akan sedikit lancang jika ia menyentuh ranah yang mengarah pada privasi Vincent. Entahlah. Anna mencoba tidak terlalu peduli. Ia lebih tertarik dengan halaman belakang rumah Vincent yang ternyata tidak kalah luasnya. Di sisi kolam renang terdapat pula taman yang dihiasi bunga-bunga cantik yang memanjakan mata.

Tidak hanya kolam renang, namun tempat tinggal Vincent memiliki fasilitas yang benar-benar lengkap seperti di hotel. Ada tempat gym sendiri serta satu buah ruangan yang didesain bak bioskop dengan ruangan kedap suara dan home theater yang memadai di lantai tiga. Vincent bahkan belum selesai memberikannya tur gratis untuk mengelilingi lantai dasar rumahnya, namun Anna merasa sudah kecapekan hanya dengan mendengarkan penjelasan Vincent.

Anna mungkin akan butuh waktu seharian penuh untuk benar-benar mengelilingi tempat ini. Bahkan mungkin saking luasnya, Anna akan kesulitan untuk mencari kamar mandi saat ingin buang air. Istilah tersesat di rumah sendiri sepertinya bukan lagi merupakan khayalan untuknya. Oh, hanya memikirkannya saja sudah membuat Anna merasa pening. Benar-benar merepotkan!

Di satu sisi, sangat manusiawi saat Anna merasa senang untuk tinggal di tempat mewah bak istana ini. Wajar saja, bukan? Siapa pun akan merasa sangat bahagia jika menjalani hidup bergelimang kemewahan dengan segala macam fasilitas yang tersedia. Bukankah ini memang hidup sempurna yang diimpikan banyak orang? Namun di sisi lain, ada perasaan yang mengganjal di hati Anna saat ini hingga di balik rasa senangnya, ada rasa sesak yang menghimpit dadanya.

Bukankah... Anna kini tak ubahnya bagai burung yang tengah terpenjara dalam sangkar emas?

Ya. Dengan menyetujui untuk tinggal di sini, maka Anna sudah siap untuk segala konsekuensi yang akan menimpanya. Anna tidak lagi bebas seperti sedia kala yang mampu menentukan segala keputusan hidupnya sesuka hati. Kini, Annaa telah terikat oleh kontrak dan diwajibkan untuk menuruti semua aturan Vincent tanpa terkecuali. Segala keputusan pada akhirnya memang memiliki risiko, bukan? Dan, keputusan ini yang telah Anna pilih—menjadi istri simpanan seorang CEO.

Menyesal? Mungkin. Namun Anna tidak memiliki waktu untuk meratapi rasa penyesalannya bak gadis dungu. Anna harus kuat, demi kedua orang tuanya, dan demi dirinya sendiri yang kini tidak memiliki tempat untuk bergantung.

“Kamar kita ada di lantai dua. Ingin naik sekarang?” tanya Vincent yang menarik Anna dari lamunan singkatnya.

Anna menoleh pada Vincent seraya menelan salivanya. Mendengar kata ‘kita’ terlantun santai dari Vincent membuat perasaan mengganjal itu kembali muncul. Anna masih tabu dengan kata itu. Ia masih perlu waktu untuk membiasakan diri. Setelah berdeham sesaat, Anna setuju untuk naik ke lantai dua. Perasaannya tidak karuan. Antara antusias dan tentu saja diiringi kegugupan yang melanda.

Berbeda dengan nuansa keseluruhan rumahnya yang berwarna putih, kamar utama milik Vincent ini bernuansa dominan abu dan hitam. Kesan maskulin yang pekat langsung menyeruak saat Anna memasuki ruangan tersebut.

“Aku... akan tidur di sini?” tanya Anna setelah melihat-lihat.

“Tentu saja. Kau akan tidur bersamaku, istriku.” Vincent mengerling genit sebagai respon.

Sementara Anna? Oh, jangan tanyakan keadaannya. Gadis itu hanya mampu tergugu seraya bergidik ngeri akan respon Vincent yang mengejutkan barusan.

“Oh ya, kamar ini juga terhubung langsung dengan ruang kerjaku.” Vincent menggeser pintu hitam yang berkamuflase seperti tembok di sudut. Di sana, Anna dapat melihat ruangan kerja Vincent dengan satu meja besar di tengah ruangan dan lemari yang berisikan buku-buku menjulang tinggi di sekelilingnya. “Sepertinya malam ini aku akan lembur.”

Setelah mengatakan itu, Vincent tiba-tiba telah berada di hadapan Anna dengan tangan bersedekap. Anna hanya mampu kebingungan dengan tingkah Vincent. Pria itu kini menatap Anna dari jarak yang benar-benar dekat tanpa berkata apa pun selama beberapa saat sebelum tanpa diduga meraih tubuh mungil Anna untuk jatuh ke dekapannya. Anna yang terkejut bukan main tentu saja hanya mampu menerima pelukan itu dengan tubuhnya yang luar biasa kaku.

Astaga! Mulai sekarang sepertinya Anna harus membiasakan diri atas perlakukan Vincent yang sering tak terduga seperti ini.

“Kau bisa bereskan barang-barangmu nanti. Sekarang kita makan malam dulu.” Vincent melepaskan pelukannya dan kembali menatap Anna yang kesadarannya masih mengangkasa tidak tentu arah. “Hm... makan malam yang agak terlambat sepertinya. Tapi... tidak apa, kan?”

Anna beringsut menjauh dari Vincent sebelum melihat jam yang ada di tengah ruangan. Waktu rupanya telah menunjukkan hampir pukul setengah sepuluh malam. Waktu yang benar-benar telat untuk sebuah makan malam, namun Anna tidak mampu menolak karena perutnya yang terasa keroncongan memang butuh diisi. “Aku akan ganti baju dulu.”

“Di sini? Di hadapanku?”

Deg!

Anna menoleh cepat dengan ekspresi wajah tak terkendali, mendapati Vincent yang tengah menatapnya santai.

“Anna, aku suamimu. Aku bahkan telah melihatmu lebih dari ini—”

“A... aku tahu.” Anna menyela dengan cepat—menghentikan ocehan Vincent yang sudah dapat dipastikan kemana arahnya. “Tapi... aku akan cuci muka terlebih dahulu. Di kamar mandi.”

Anna mempertegas ucapannya dengan memalingkan wajahnya yang hampir memerah, membuat lengkung senyum geli terangkat di sudut bibir sang pria. Menggoda Anna memang selalu menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi Vincent. Pria itu kemudian mengacak-acak pucuk kepala Anna dengan gemas seraya mensejajarkan tingginya, menatap Anna tepat di maniknya. “Baiklah. Aku akan menunggumu di meja makan. Jangan terlalu lama, oke?”

**

Vincent meregangkan tubuhnya setelah menghabiskan beberapa jam waktunya untuk terpaku di depan laptop. Pria itu menengadah menatap langit-langit ruangan kerjanya demi meredakan lehernya yang mulai terasa nyeri. Saat ini, jam telah menunjukkan pukul dua dini hari dan Vincent baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang sempat tertunda akibat pernikahan rahasianya. Ya. Sebuah kata yang masih tabu juga untuknya—pernikahan. Hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, namun lengkung senyum langsung terpatri di sudut bibirnya tatkala mendapati kenyataan bahwa kini ia telah memiliki Anna sebagai istrinya.

Ngomong-ngomong soal Anna, gadis itu mungkin telah terlelap dalam tidurnya. Setelah makan malam usai, Vincent meminta Anna agar segera beristirahat duluan. Gurat letih tergambar di wajahnya dan Vincent tidak ingin Anna menderita kelelahan karenanya. Dan benar saja, Vincent yang kini memasuki kamarnya dengan mengendap-endap langsung mendapati Anna yang telah meringkuk nyaman di ranjangnya, bergelung di balik selimut putih tebalnya.

Dengan gerakan yang perlahan, Vincent berhasil duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur untuk membenarkan surai Anna yang menutupi wajahnya hingga kini wajah cantik itu terlihat semakin jelas. Dalam keheningan, pria itu memperhatikan setiap detail dari wajah sang gadis yang memancarkan kecanduan yang memikat. Semakin lama, Vincent semakin terjatuh—terbuai dengan pesonanya.

Entah mendapat dorongan dari mana, namun kini Vincent mencondongkan tubuhnya demi mengecup kening Anna. Cukup lama Vincent bertahan di posisi itu. Ia betah menghidu aroma khas yang menguar dari surai halus Anna. Matanya bahkan terpejam, menikmati kesyahduan yang tercipta dari momen ini. “Tidur yang lelap, istriku.”

Lengkung senyum tak dapat disembunyikan saat Vincent mengelus surai Anna setelah kecupan di keningnya usai. Dan sepertinya, kini Vincent juga memiliki panggilan favorit terhadap gadis yang kini tengah mendengkur halus tersebut—istriku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel