Bab 14 Roller Coaster
Bab 14 Roller Coaster
Anna menggoyangkan kakinya akibat rasa bosan yang mulai mendera. Helaan napas terlontar lelah dari bibirnya seraya melirik lagi jam yang tertera di layar ponselnya. Sudah sepuluh menit Anna menunggu di sini tapi orang yang ditunggunya belum juga tiba. Ya. Siapa lagi jika bukan Vincent? Padahal Anna sudah mengirim pesan pada Vincent bahwa ia bisa mengurus dirinya sendiri hingga tidak usah diantar-jemput seperti ini, namun Vincent dengan tegas menolak usulan tersebut. Sudah diduga, bukan?
Kekeraskepalaan pria itu menjadi alasan Anna selalu tidak memiliki pilihan lain. Bukankah akan percuma mendebat keinginan pria dominan itu? Maka Anna dengan terpaksa harus menunggu kedatangan pria itu di sini—di halte yang agak jauh dari kampusnya. Anna rela berjalan sedikit lebih jauh dari biasanya demi mengurangi kemungkinan akan tertangkap basah seperti tadi sore. Astaga! Anna bahkan harus sedikit tega menghindari Bella dan menyuruhnya pulang terlebih dulu dengan beberapa alasan.
Anna kembali menghela napas, kali ini lebih berat dan menyesakkan. Sulit sekali menutupi statusnya yang kini menjadi istri simpanan seorang CEO, bukan?
Mobil Vincent datang sesaat kemudian, membuat Anna sesegera mungkin berdiri serta melangkah panjang-panjang sebelum duduk rapi di samping Vincent dan memasangkan sabuk pengaman.
“Tak sabar bertemu denganku membuatmu terburu seperti itu, huh?”
Anna berdecak. “Jangan banyak bicara! Cepat jalan!”
Alis Vincent terangkat, agak terkejut dengan ucapan Anna yang seketika memerintahnya. Namun sesaat kemudian, ia langsung menginjak pedal gas seperti keinginan Anna. “Kenapa kau minta aku menjemputmu di sini? Bukankah ini agak jauh dari kampusmu?”
Anna makin melesakkan punggungnya ke sandaran kursi seraya memijit pelipisnya yang terasa nyeri. “Seseorang melihat mobilmu tadi sore saat mengantarkanku di depan kampus.”
“Lalu?”
“Lalu Amy menodongku dengan beberapa tuduhannya hingga kami menjadi tontonan gratis seisi kantin. Ia bahkan dengan lantang menuduh bahwa aku menjadi simpanan seorang pengusaha kaya. Bukankah... itu sebuah tuduhan yang tepat? Mungkin setelah lulus nanti aku harus menyarankannya untuk jadi cenayang saja,” celoteh Anna kesal.
“Benarkah? Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Vincent makin tertarik dengan cerita Anna. Gadis ini rupanya dapat cerewet juga jika sedang kesal begini. Menggemaskan!
“Aku mungkin telah gila dengan melawan balik Amy dan mempermalukannya di depan umum. Aku harus mempersiapkan diri akan kemungkinan lain yang lebih buruk setelah ini. Amy and the gengs pasti tidak akan tinggal diam.” Anna mengusap wajahnya kasar.
“Jika kau mau, aku bisa mengurusnya untukmu.”
Anna mengernyit bingung. “Maksudmu?”
“Sebutkan saja nama-nama mereka dan biarkan Tristan yang akan mengurusnya nanti. Kau tahu? Aku bisa memberi sedikit pelajaran agar mereka berhenti mengganggumu.”
Rahang Anna terbuka lebar seraya menatap Vincent tidak percaya. Pria ini benar-benar menggunakan kekuasaannya dengan amat ‘baik’.
“Kumohon... berhentilah memperumit keadaan!” pinta Anna dengan sedikit menggeram marah. “Dan, tolong berhenti memaksaku untuk diantar-jemput layaknya anak manja seperti ini! Sungguh, aku bisa mengurus diriku sendiri.”
“Astaga! Kau selalu menolak kebaikanku.”
Anna berdecak. “Vincent, kau tahu kan bahwa hubungan kita ini dirahasiakan? Bukankah seharusnya kita tidak membuat ini terlalu jelas?”
Vincent berpikir sesaat sebelum bergumam. “Hm... baiklah. Kalau begitu besok aku akan meminta Tristan untuk menemanimu.”
“Hei!” Anna berteriak keras tak terima. Pria ini benar-benar!
“Kau bisa bilang pada temanmu bahwa Tristan kini adalah supirmu... atau asistenmu? Atau... entahlah.” Vincent mengedikkan bahunya tak acuh.
“Mereka tahu kondisi keluargaku. Tidak mungkin aku—”
“Kau bisa mengatakan bahwa kau baru saja menang lotre atau apa pun itu—”
“Vincent!”
Anna sempurna naik darah. Ia kini memelototi Vincent dengan tangan bersedekap. Semi Tuhan! Tidak bisakah pria itu berhenti bertindak sesuka hati dan sedikit memikirkan posisinya? Anna sudah kelimpungan atas perubahan mendadaknya, namun kini Vincent ingin memperburuk keadaan.
“Baiklah, baiklah.” Vincent berusaha mengulum senyumnya agar tidak terlalu kentara. Ia tidak berniat menggoda tadinya, namun memancing emosi Anna dan mendapati berbagai ekspresi menggemaskan di riak wajahnya ternyata menjadi salah satu penghiburan bagi Vincent. “Tapi pastikan untuk selalu mengabariku agar aku tahu dimana kau berada.”
Manik hazel Anna seketika mendelik. Ia memalingkan wajahnya seraya mendengus. Ish, dasar pria posesif! Kerangkeng saja terus ia dengan segala aturannya yang memuakkan! Demi Tuhan! Saat ini Anna hanya ingin menyumpah-serapahi Vincent tepat di depan batang hidungnya—mengeluarkan segala kekesalannya yang menggunung.
“Anna, bisakah kau menjawabku?”
Anna yang sudah berada di ambang batas kesabarannya kini harus kembali mendengus mendengar pertanyaan menyebalkan itu. “Baiklah, Tuan Vincent yang terhormat!”
Vincent mengembangkan senyum kemenangan di bibirnya. Seketika itu juga terlintas ide dalam benaknya untuk menggoda Anna—lagi. “Panggilanmu barusan membuatku terpikirkan akan sesuatu yang menyenangkan, Anna. Mungkin... lain kali kita harus sedikit bermain peran?”
Anna menatap Vincent dengan dahi terlipat. Apa maksudnya?
“Kau tahu? Untuk meningkatkan adrenalin dan... sedikit gairah. Semacam... peran master dan slave, misalnya?”
Deg!
Anna melotot sejadi-jadinya. Rahangnya mengeras seketika. Bukan hanya ingin memaki, namun kini Anna juga ingin mendaratkan satu buah tamparan keras di pipi Vincent. Benar-benar amoral! Ucapannya yang frontal sangat amat tidak pantas untuk didengar. “Demi Tuhan! Jaga ucapan murahanmu, Vincent!”
“Bukankah itu hal yang wajar dibicarakan bagi suami-istri?” tanya Vincent enteng tanpa merasa ada yang salah dengan ucapannya. “Lagipula... kita sudah melakukan ‘itu’, bukan? Tak perlu malu seperti itu, istriku.”
Anna tergugu dengan lidahnya yang kelu. Kontras dengan Vincent yang semakin menjadi-jadi dengan ucapan liarnya.
“Jadi... haruskah kita kini membahas malam kita yang begitu panas dan menakjubkan, Anna?”
“Yak!”
Vincent meledak dalam tawa. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan rasa menggelitik saat mendapati reaksi Anna yang begitu berlebihan. Wajar saja. Itu adalah hal yang masih tabu bagi Anna meski semalam ia telah melepaskan sesuatu yang paling berharga pada Vincent. Terbukti, saat ini Anna hanya mampu terdiam dengan manik bergerak gelisah serta tangan yang saling tertaut. Ia kembali memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan pipinya yang memerah bak tomat segar, bahkan hingga ke telinganya.
Astaga! Ucapan Vincent barusan membuatnya luar biasa malu hingga ke ubun-ubun.
“Hari ini... bisakah aku mengunjungi kedua orang tuaku?” tanya Anna setelah beberapa lama keheningan melingkupi. Ia ingin menanyakan ini sedari tadi sebenarnya, namun ia merasa segan.
“Ke rumah sakit?”
Anna mengangguk seraya berusaha menatap takut-takut pada Vincent yang tengah mengemudi dengan fokus. “Aku... sudah membeli ini untuk mereka.”
Vincent menoleh pada barang bawaan Anna. Rupanya, Vincent baru menyadari jika gadis itu menenteng tas belanjaan kecil yang berisi beberapa buah dan makanan untuk kedua orang tuanya yang dibelinya dari minimarket dekat kampus. Vincent yang kini menghentikan mobilnya di depan lampu merah melirik jamnya sekilas. “Hm... baiklah. Tapi kuharap kau tidak akan terlalu lama.”
“Kenapa?”
“Bukankah kau ingin ke rumahmu untuk mengambil beberapa barang? Malam ini aku akan membantu mengurus kepindahanmu.”
Anna kembali menatap Vincent dengan maniknya yang seketika melebar. “Tu... tunggu! Apa maksudmu? Aku... akan pindah? Malam ini?”
Vincent mengangguk tegas. “Malam ini kau akan pindah ke mansion-ku.”
“Apa?!”
Anna tidak mampu menahan rasa terkejutnya yang bertubi-tubi akibat kelakuan Vincent. Pria itu terlalu mengejutkan dan tidak terduga. Selama mengenalnya, Anna seolah diseret dan dipaksa untuk menaiki wahana roller coaster—naik turun sesuai keinginannya. Anna harus mempersiapkan jantungnya agar siap menghadapi situasi yang bahkan tidak pernah terbayangkan sekali pun dalam benak. Anna tidak tahu di detik keberapa pria itu akan menaik-turunkan tensi darahnya hingga membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
Anna hanya berharap ia tidak akan terkena serangan jantung di usia muda. Sungguh!
“Tapi... kupikir kau akan memberiku sedikit waktu untuk mempersiapkan kepindahanku. Sehari? Atau... semalam?” ujar Anna dengan tatapannya yang memelas bak anak kucing. Baiklah. Jika Anna tidak mampu membantah ucapannya, maka Anna tidak akan ragu untuk mengemis rasa simpati dari Vincent. “Bisakah malam ini aku pulang ke rumah untuk menginap satu malam di sana? Aku janji, besok pagi kau sudah bisa menjemputku.”
Vincent menimang-nimang permintaan itu sejenak. “Hm... kurasa tidak.”
Dan, voila! Taktik Anna bahkan tidak berhasil meluluhkannya.
“Vincent!” Anna kembali menaikkan satu oktaf suaranya, namun hal itu juga tidak akan mengganggu gugat keputusan Vincent.
“Sudah cukup tawar menawarnya, Anna!” tegas Vincent. “Atau haruskah kutarik kembali izinmu yang bepergian tanpaku atau Tristan?”
Deg!
Anna kalah. Telak. Ia dibungkam paksa dengan ancaman itu. Kedua tangannya langsung terangkat ke atas megisyaratkan tanda menyerah. Anna kembali membanting tubuhnya ke kursi tanpa ingin mendebat Vincent lebih jauh. Anna memilih untuk menjadi pihak yang lebih waras dalam menangani keinginan Vincent yang kadang memang harus menguji kesabarannya hingga di ambang batas. Lagipula... pria itu terlalu lihai untuk mengendalikannya, bukan? Argh!
Melihat Anna yang pasrah di sebelahnya membuat Vincent tersenyum puas tepat sebelum lampu jalanan berubah warna menjadi hijau. “Good girl!”