Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Mabuk

Bab 9 Mabuk

Suasana rumah megah Keluarga Rahadi nampak sangat tenang di kegelapan malam ini. Lampu-lampu telah dipadamkan sesaat setelah seluruh penghuni rumah memutuskan untuk terlelap.

Tappp...

Tappp...

Tappp...

Di dalam ruangan yang remang-remang ini, seorang pria bertubuh tinggi dan juga tegap berjalan terseok-seok dengan langkahnya yang tak lagi mantap.

Mulut pria itu mengoceh tak jelas dari waktu ke waktu tanpa memedulikan keadaan sekitar yang hening.

Hingga sesaat kemudian, tubuh pria itu tiba-tiba limbung ke arah kiri lalu tanpa sengaja lengannya menyenggol sebuah guci besar berornamen khusus dan terlihat begitu mewah.

Prang...

Suara keras khas pecahan barang segera terdengar begitu nyaringnya di rumah yang bersuasana senyap ini. Menghantarkan listrik kejut bagi siapa pun yang mendengarnya.

"Mengapa kamu menyenggolku?" Racau Ronald seraya menendang pecahan guci malang tersebut.

"Apa kamu berjalan tidak memakai mata, hah?! Apa kamu buta?!" Teriak Ronald menatap guci yang telah tercerai-berai di atas lantai.

"Berani-beraninya kamu bermain-main denganku, aku pecat dirimu dari rumah ini!" Tunjuk Ronald murka dengan wajah memerah.

Semerbak bau alkohol segera menguar ketika siur angin menyapu ruangan. Aroma alkohol melekat kuat dari mulut Ronald yang terus menerus mengoceh tak jelas. Pun kini kemeja yang dikenakannya sudah tak terkancing dengan benar, hanya terpasang apa adanya saja.

"Apa kamu bisu?! Mengapa kamu tidak menjawab perkataanku, sialan!" Teriak Ronald lagi.

Bersamaan dengan itu, beberapa suara derap langkah segera terdengar dari area dalam rumah menuju tempat di mana kebisingan itu berasal.

Lita sampai pertama kali di ruang tamu yang remang-remang ini karena memang kamarnya berada di lantai satu. Di tangannya, tergenggam sebuah tongkat bisbol, menjadi senjata andalannya jika ada sesuatu hal yang terjadi.

Mata Lita menyorot gelisah ke depan sana. Siluet sesosok pria menyapu pandangan matanya.

Siapa itu? Pencuri?

Tanpa berpikir banyak, Lita segera menghampiri sakelar lampu dan menekannya ke bawah.

Teppp...

Ruangan ini menjadi terang benderang. Cahaya lampu menyoroti setiap sudut ruangan luas ini, termasuk pria yang masih mengoceh tak jelas di depan sana.

"Ro... Ronald? Apa yang kamu lakukan di sini?" Tanya Lita setelah melihat dengan jelas bahwa pria itu benar-benar Ronald lalu menghampirinya tanpa banyak berpikir.

Akan tetapi, langkah Lita segera berhenti kembali ketika hidungnya berhasil mengendus aroma kuat alkohol dari tubuh Ronald.

Dia mabuk, lagi.

"Kamu mabuk," beritahu Lita kepada Ronald.

Ronald mengalihkan pandangannya dari guci itu kepada Lita lalu mengumpat, "Pembantu ini tidak tahu malu! Dia berani menabrakku tapi tidak meminta maaf! Benar-benar menjijikkan!"

Mata Lita menyorot kosong ke arah di mana telunjuk Ronald teracung, pada sebuah pecahan guci.

Ronald Sedang mabuk berat. Lita yakin bahwa anaknya itu telah minum melebihi batas toleransi tubuhnya sendiri.

"Apa yang terjadi?" Tanya Anggita yang baru saja datang bersama dengan Rita yang kini tengah memeluk kaki Anggita dengan takut.

Tak lama berselang, seseorang lainnya pun bergabung membaur di ruangan itu."Aku mendengar ad..." Gara menghentikan ucapannya begitu saja ketika melihat situasi di depan sana.

Benar-benar kacau.

Serpihan guci berceceran di mana-mana, pakaian yang dikenakan Ronald nampak sangat acak-acakkan.

Gara tiba-tiba terbungkam. Kata-kata yang sebelumnya akan dikeluarkan kini kembali masuk ke dalam perutnya.

"Kamu pulang, aku sudah menunggumu seda--"

"Siapa kamu?" Tanya Ronald dengan nada rendah.

Anggita tertegun, belum manyadari situasi yang sebenarnya. "Kamu mabuk," katanya pelan.

Ronald tertawa keras mendengarkan penuturan Anggita, membuat Rita semakin mengerut dan beralih menuju Lita lalu memeluk kaki neneknya itu.

"Aku tidak mabuk!" Raung Ronald dan melangkah mendekati Anggita.

"Cantik," pujinya dengan tangan yang menjelajahi wajah Anggita lalu mengusapnya dengan sayang. "Mengapa kamu terlihat begitu sangat cantik?"

Anggita menahan napasnya kala semburan aroma alkohol menyapu wajahnya tanpa aba-aba. Mengikuti instingnya, Anggita mencoba untuk menjauh dari Ronald, pun Anggita mulai mencoba melepaskan tangan Ronald yang masih senantiasa membelai pipinya.

"Lepas," lirih Anggita pelan.

Ronald menggeram tak suka atas ucapan Anggita.

"Kamu mabuk, lepaskan aku," ujar Anggita.

Napas Ronald menjadi tak teratur dan memburu di detik berikutnya. Ia berteriak dengan marah seraya menarik rambut Anggita dengan kejam. "Apa? Katakan sekali lagi," ucap Ronald tanpa mengendurkan kepalan tangannya dari rambut Anggita.

"Aku mohon, lepaskan aku. Jangan seperti ini. Kamu mabuk."

Ronald meraung dan menampar pipi kanan Anggita dengan keras.

Plakkk...

Anggita terhuyung-huyung akibat tamparan itu dan jatuh terduduk di atas lantai tanpa memedulikan pecahan guci yang kini telah menancap di kedua tangannya.

Ronald berjalan mendekat, membuat Anggita beringsut mundur ketakutan.

Di sisi lain, Rita sudah terisak di dalam gendongan Lita. Tubuh kecilnya bergetar hebat setelah menyaksikan kejadian itu. Tangisnya yang pilu meyapu lembut telinga Gara, menyampaikan riak simpati di hatinya.

"Bangun!" Suruh Ronald tegas kepada Anggita.

Anggita menggelengkan kepalanya kuat-kuat seraya terus mundur.

"Bangun! Aku katakan bangun!"

"Jika aku bangun, kamu akan menamparku lagi!" Raung Anggita tak kalah keras dari teriakan Ronald.

"BANGUN!"

Tubuh Anggita bergetar, ia takut. Di saat-saat seperti ini, Anggita melirik Gara sekilas, meminta bantuan kepada mantan suaminya itu. Akan tetapi, Gara bergeming di tempatnya tanpa tergerak sedikit pun.

"Argghh... lepaskan... saa... sakit," teriak Anggita menggelegar kala jemari Ronald kembali bersarang di atas kepalanya lalu menarik rambut Anggita kejam, memaksanya untuk berdiri.

Anggita dengan terpaksa berdiri lagi dan mencoba sekuat tenaga untuk melepaskan tangan Ronald dari ramburnya. "Sa... sakit, lepaskan," desis Anggita diiringi oleh pelupuk matanya yang perlahan memerah.

Plakkk...

"Diam! Aku minta kamu untuk diam!" Geram Ronald tanpa berniat melepaskan cengkeramannya pada rambut Anggita.

Anggita pasrah dan menurut saja, menolak hanya akan mendatangkan bencana untuk dirinya.

"Apa kamu berselingkuh?!" Tuduh Ronald tiba-tiba, wajahnya memberang.

Anggita menggelengkan kepalanya ribut, tidak menyetujui gagasan itu. "Aku tidak berselingkuh!"

Anggita tahu bahwa Ronald kini dikendalikan oleh siklus mabuknya. Akan tetapi, pria itu nampak sangat menyeramkan.

"Bohong! Kamu berbohong kepadaku!"

Plakkk..

"Apakah kamu berselingkuh?" Tanya Ronald, lagi.

Anggita menggelengkan kepalanya dengan airmata yang telah mengalir deras di pelupuk matanya. Pipinya telah memerah karena rasa panas yang dihantarkan oleh masing-masing tamparan Ronald.

Plakkk...

"KAMU BERSELINGKUH DI BELAKANGKU, 'KAN?!" Teriak Ronald terus menyudutkan Anggita untuk mengakui ketidakbenaran gagasan itu.

"Aku bersumpah, aku tidak berselingkuh!" Balas Anggita lantang.

"Bohong! Siapa pria itu? Mengapa dia ada di sini?" Tunjuk Ronald pada satu titik.

Gara.

Telunjuk Ronald menyorot sosok Gara.

Gara tiba-tiba tersedak, tidak menyangka akan terlibat di dalam pertengkaran yang sedang terjadi itu.

Anggita menoleh ke arah Gara sekilas sebelum menjawab dengan keras. "Dia... dia bukan siapa-siapa! Dia hanya orang asing!" Teriak Anggita sembari menunjuk sosok Gara dengan telunjuknya.

'... bukan siapa-siapa.'

'... hanya orang asing.'

Gara tertawa getir di dalam hati, 'Aku memang bukan siapa-siapa, 'kan?'

Sayangnya, Ronald tidak memercayai ucapan Anggita. Sebaliknya, Ronald kini menarik rambut Anggita untuk mengikutinya ke lantai dua.

Selama kejadian itu, ruangan dipenuhi oleh suara isakkan dan rintihan Anggita, memohon kepada Ronald untuk melepaskannya. Sedangkan di sisi lain, Ronald terus mengumpat dengan kata-kata kotor kepada Anggita seraya mempercepat langkahnya dari waktu ke waktu, membuat Anggita terseret-seret tak berdaya.

Setelah kedua sosok itu menghilang di ujung tangga atas sana, Gara mengambil napas dalam-dalam. Tidak pernah menyangka bahwa hal seperti ini akan ia temui di rumah Keluarga Rahadi.

Pandangan Gara menyapu sekilas kepada Rita yang masih menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Lita.

Gara jadi merasa kasihan sendiri kepada Rita. Anak sekecil itu telah menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya.

Diam-diam, Gara merapalkan kalimat di dalam hatinya, 'Jika aku memiliki anak, aku tidak akan membiarkan anakku menangis seperti itu.'

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel