Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Sebuah Tanya

Bab 10 Sebuah Tanya

Gara duduk di salah satu sofa yang berada di balkon kamarnya, membiarkan sepoian angin menerjang kulitnya tanpa aba-aba seraya berkutat dengan sebuah koran di dalam genggamannya.

Hari ini, Gara benar-benar tidak memiliki jadwal apa pun. Gara lupa bahwa dia sama sekali tidak memiliki plan selama mengambil cuti di Bandung. Haruskah Gara menghabiskan waktunya satu minggu penuh tanpa keluar dari rumah ini?

Drrttt..

Drrttt...

Drrttt...

Gara meletakkan korannya di meja kala ponselnya bergetar secara samar.

"Stella?" Gumam Gara tak yakin saat melihat ID sang penelepon di seberang sana.

Ada apa gerangan atasannya itu menelepon Gara di pagi-pagi buta seperti ini?

Meskipun ragu karena bisa saja Stella salah memencet nomor panggilan yang sebenarnya bukan ditujukan untuk dirinya, Gara masih tetap harus menerima panggilan itu.

"Halo?" Tanya Gara untuk pertama kali.

Di seberang sana, Stella tersenyum cerah saat mendengar suara Gara. "Apakah itu kamu, Gara?" Tanya Stella berbasa-basi.

"Hm, ini aku. Ada apa? Apakah Nona--." Batuk Gara karena menyadari jika ia tidak diperbolehkan lagi menyebut Stella dengan embel-embel 'Nona'. "Apakah kamu tidak salah menelepon?"

Stella menggeleng, meski ia tahu bahwa Gara tidak bisa melihatnya. "Tidak. Aku benar ingin menghubungimu."

Gara terdiam selama beberapa saat, tidak mengerti mengapa Stella tiba-tiba menghubunginya seperti ini. "Jika memang seperti itu... apa yang ingin kamu bicarakan, Stella?"

Di ujung sana, Stella hampir memekik ketika namanya disebut oleh Gara. Sangat aneh. Baginya, ketika Gara menyebutkan namanya seperti tadi, itu terdengar sangat-sangat-sangat-sangat merdu di telinganya. "Aku... apakah kamu memiliki waktu luang hari ini?" Tanya Stella setelah menarik napas selama beberapa saat untuk menekan kebahagiaan yang baru saja hinggap di hatinya.

"Aku memiliki cukup banyak waktu luang hari ini," jujur Gara kepada Stella.

Stella tersenyum senang saat mendengarkan hal itu. "Jika tidak keberatan, apa kamu mau menemaniku ke Braga hari ini?"

"Braga? Untuk apa?"

"Untuk makan siang... mungkin. Di sana juga aku akan bertemu dengan teman lamaku."

Gara merenung memikirkannya sejenak. "Jika memang kamu membutuhkan teman untuk ke sana, aku bisa menemanimu. Braga juga tidak jauh dari sini. Berkendara sekitar duapuluh menit saja sudah cukup."

Senyum Stella mengembang lebih lebar. "Apakah kamu benar-benar mau menemaniku?"

"Hm. Sudah aku katakan bahwa aku memiliki cukup banyak waktu luang."

Stella mengangguk senang. "Kalau begitu, aku akan menjemputmu pukul sepuluh nanti."

Kening Gara mengernyit dalam, merasa aneh dengan kalimat itu. "Menjemputku? Mengapa aku saja yang tidak menjemputmu?"

"Aku akan menemui kolega bisnisku terlebih dahulu untuk membicarakan suatu hal. Maka dari itu, setelah aku menyelesaikan kegiatanku, aku akan langsung menjemputmu kemudian."

Gara mengangguk saja. "Kalau begitu, aku akan menunggumu jam sepuluh nanti."

"Jangan lupa untuk mengirimkan lokasimu kepadaku nanti. Aku tidak tahu di mana rumahmu."

"Hm, aku akan mengirimkan lokasiku, nanti."

"Baiklah, akan aku matikan sambungan teleponnya. Sampai jumpa nanti, Gara," pamit Stella dengan suasana hati yang sangat riang.

"Hm. Sampai nanti."

Tuttt...

Sambungan telepon terputus begitu saja. Gara mendesah, setidaknya hari ini ia memiliki rencana, bukan? Tidak dengan berdiam diri seharian penuh di dalam kamar. Gara bosan.

Ketika matahari mulai beranjak menaik, pun waktu telah menunjukkan pulul setengah sembilan, Gara memutuskan untuk membersihkan dirinya di dalam kamar mandi. Sengaja, Gara kini menata jadwal mandinya sedikit lebih siang bukan karena dirinya malas, melainkan menghindari hawa dingin di pagi hari yang akan lebih terasa menyengat kulit ketika dirinya menyelesaikan sesi mandi.

Dengan begitu, Gara hanya menunggu sampai waktu menujukkan pukul sepuluh. Seperti yang Stella katakan.

*****

Tokkk...

Tokkk...

Tokkk...

Stella mengetuk pintu kokoh berwarna putih gading di depannya dengan sedikit bertenaga. Ia mendengus saat tidak mendapatkan jawaban dari dalam, kini punggung tangannya telah menampilkan rona merah samar.

Akan tetapi, setelah bersiap untuk melakulan sesi mengetuk gelombang keduanya, pintu tiba-tiba terbuka dari dalam menampilkan sesosok perempuan bertubuh ramping dan juga berparas manis.

Rambut perempuan itu berwarna hitam legam, cocok dengan manik matanya yang juga berwarna hitam. "Kamu sudah datang," sambut Anggita kepada Stella.

Di sisi lain, Stella hanya mampu mengangguk dan tersenyum, mencoba meleburkan kejengkelan yang hinggap di hatinya beberapa saat lalu. Kejengkelan tentang betapa kerasnya pintu rumah ini sehingga membuat punggung tangannya terasa nyeri akibat terlalu banyak mengetuk.

"Silakan masuk," ujar Anggita seraya membuka pintu lebar-lebar, membiarkan Stella masuk ke dalam.

Stella tidak terlalu memerhatikan penampilan Anggita di depannya, hingga tidak menyadari bahwa sudut mulut perempuan di hadapannya itu sobek. Tentu saja itu adalah perbuatan Ronald kemarin malam yang secara membabi-buta terus menampar Anggita tanpa henti!

"Duduklah, aku akan mengambilkan minum terlebih dahulu."

Stella menurut saja. Toh, dirinya adalah tamu di rumah ini.

Selama menunggu kedatangan Anggita, Stella mengeluarkan ponselnya dari dalam tas tangan yang ia bawa lalu mengoperasikannya selama beberapa saat.

"Stella?" Sapa seseorang yang tanpa sengaja melintasi ruang tamu.

Stella mendongak, menaruh ponselnya kembali lalu tersenyum menatap Lita di depan sana. "Nyonya Rahadi," sapanya balik.

Lita tersenyum sembari melangkahkan kakinya mendekat ke arah Stella. "Lama tidak melihatmu," ucap Lita setelah duduk dihadapan Stella.

"Tahun lalu, aku tidak berkesempatan untuk mengunjungi Indonesia. Jadi aku tidak bisa menemui Nyonya," jelas Stella menyesal.

Lita melambaikan tangannya. "Tidak, tidak. Bukan apa, aku hanya ingin mengatakan bahwa kamu kini terlihat sangat cantik."

Stella mengulum senyum malu dengan rona merah yang perlahan menjalari pipinya. "Nyonya menyanjungku, aku tidak secantik itu," sangkal Stella.

Tepat setelah mengucapkan hal itu, Anggita datang bersama sebuah nampan yang berisi gelas serta teko teh hangat dan beberapa makanan ringan lalu menaruhnya di atas meja.

Anggita mendudukkan tubuhnya di sisi Lita dan menatap Stella ramah. "Ibu sering menanyakanmu akhir-akhir ini. Ibu juga selalu menanyakan tentang kelangsungan bisnis kita. Ibu pikir, kita berdua tidak melanjutkan kontrak kerja sama karena kamu tidak datang berkunjung lagi."

Stella tersenyum, "Aku sangat sibuk belakangan ini, banyak hal yang harus aku urus sendirian."

Lita mengangguk mengerti dan tidak memperpanjang topik itu. Stella adalah wanita karir, sangat tidak aneh jika perempuan itu selalu sibuk dari waktu ke waktu.

"Aku dengar bahwa Stell Farm kini tengah berkembang dengan sangat pesat," ujar Lita mengganti topik.

Stella terkekeh, menyangkal gagasan itu dengan halus meskipun hal itu benar adanya. "Nyonya terlalu melebih-lebihkan, Stell Farm hanya meningkat beberapa persen dibandingkan dengan prosentase tahun lalu."

"Lalu... apakah kamu mengenal anakku?" Tanya Lita tiba-tiba.

Stella merubah raut wajahnya, tidak mengerti atas apa yang diucapkan oleh Nyonya Besar Rahadi ini. "Aku... aku tidak mengerti."

"Anakku, dia sudah bekerja di Stell Farm selama bertahun-tahun. Apakah kamu benar-benar tidak mengenalnya?"

Stella terkejut mendengarkan penuturan Lita yang terdengar sangat sungguh-sungguh.

Bagaimana mungkin ia tidak mengetahuinya selama ini?

"Maafkan aku, nyonya. Hanya sa--"

Stella tertegun, matanya menyorot lurus ke depan sana, pada sosok yang baru saja turun dari lantai dua.

Gara.

Mengapa dia ada di sini?!

"Ga... Gara?" Gumam Stella pelan, melupakan kalimat sebelumnya yang tidak ia rampungkan.

Lite menoleh ke belakang, dan benar saja ada Gara di sana. Berdiri di ujung tangga dengan raut terkejutnya.

"Kamu mengenal Gara?" Tanya Lita memastikan.

Stella kontan mengangguk, tidak bisa mencerna informasi ini dalam waktu yang singkat.

Jadi... anak yang Lita maksud adalah Gara?

"Aku mengenalnya dengan sangat baik," balas Stella.

Lita tersenyum seraya berkata, "Dia Gara, telah bekerja di Stell Farm selama enam tahun. Dia adalah an--"

"ANAK ANGKAT KELUARGA RAHADI!" Teriak Ronald kencang dari arah tangga lalu menepuk pundak Gara singkat saat melewatinya.

"Dia hanyalah anak angkat Keluarga Rahadi!" Tandas Ronald kejam.

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel