Ringkasan
Gara Rahadi dicampakan istrinya setelah tahu kalau dia hanya anak angkat dan tidak mendapatkan harta warisan keluarga Rahadi. Istrinya bahkan sampai menggugurkan kandungan agar Gara mau bercerai. Enam tahun berlalu, mereka dipertemukan lagi dalam keadaan berbeda, menyeret mereka dalam hubungan rumit
Bab 1 Prolog
Bab 1 Prolog
Cahaya Matahari mulai menunjukkan eksistensinya di ufuk timur sana, mengantarkan kesan hangat di balik udara yang terasa sangat menusuk kulit.
Beberapa siulan angin terdengar merdu, membuat burung-burung di atas sana menari dengan gembira.
Akan tetapi, keadaan tersebut sangat kontras dengan apa yang terjadi di dalam ruangan megah bernuansa putih di kediaman rumah keluarga Rahadi.
Anggara Rahadi mengepalkan tangannya erat-erat setelah mendengarkan penuturan Kuasa Hukum ayahnya perihal pembagian harta warisan.
Pasalnya, ia tidak mendapatkan apa-apa, bahkan satu persen saja tidak!
"Apa aku tidak salah mendengar? Mengapa? mengapa namaku tidak dimasukkan ke dalam surat wasiat itu?" Tanya Gara dengan nada tak percaya. Hatinya kini mencelos hingga menimbulkan rasa hampa yang menyesakan di dada.
Di depan sana, Kuasa Hukum Tuan Rahadi, mendiang Ayahnya, menatapi Gara dengan pandangan rumit.
Gara duduk di sebuah sofa panjang dan diapit oleh kedua saudaranya, Ronald serta Rianty. Mereka bertiga telah hadir di dalam ruangan ini sejak satu jam yang lalu demi mendengarkan isi surat wasiat mendiang Ayah mereka yang telah meninggal satu bulan lalu.
Rianty menepuk pundak Gara, singkat demi meredam emosi Gara yang tengah bergejolak.
Hening selama beberapa saat, Kuasa Hukum bernama Jaka itu, kembali bersuara setelah memantapkan hatinya. "Namamu tidak dicantumkan di dalam surat wasiat ini, karena kamu bukan anak kandung dari Tuan Rahadi."
Gara tertawa hambar, tak memercayai ucapan Jaka.
"Aku? Bukan anaknya? Omong kosong macam apa ini!"
Ronald dan Rianty ikut terkejut mendengar penuturan Jaka. Bagaimana bisa menjadi seperti ini?
Gara... bukan saudara kandung mereka?
Jaka berjalan maju lalu menyerahkan satu lembar dokumen kepada Gara dan pria itu segera menyambarnya tanpa perlu berpikir lebih banyak lagi.
Hasil tes DNA.
Dia...
Gara tidak bisa mengatakan apa pun ketika ia meletakkan dokumen itu di atas meja begitu saja.
"Bagaimana mungkin?" Lirih Gara dengan nada kehampaan serta pandangannya menjadi kosong seperti tak ada tanda-tanda kehidupan.
Lelucon macam apa ini?!
Gara... Gara bukan anak kandung dari Ayahnya!
Dengan tangan terkepal erat, Gara segera bangkit dari sana, meninggalkan ruangan itu tanpa mengindahkan teriakan-teriakan memanggil namanya di belakang.
Pikirannya kalut. Satu hal yang ada di benak kini, rumah.
*****
Gara berjalan gontai keluar dari mobilnya demi menyongsong seorang perempuan di depan sana, istrinya.
Anggita namanya, ia telah resmi menjadi istri Gara sejak berbulan-bulan lalu. Keduanya tinggal di rumah sederhana.
Anggita kini tengah mengandung, baru saja menginjak satu bulan.
Melihat ekspresi muram di wajah suaminya, kening Anggita mengernyit dalam dan segera lipatan-lipatan kecil terlihat di sana.
"Ada apa, hm? Kenapa kamu menampilkan ekspresi seperti itu?" Tanya Anggita seraya menuntun masuk Gara, lalu mendudukkan tubuh kokoh Gara di salah satu sofa ruang tamu.
Gara diam, tidak menjawab barang satu patah kata pun. Pikirannya masih kacau, ia kini terlihat seperti mayat hidup.
Akan tetapi, Anggita tidak bisa untuk tidak bertanya tentang sesuatu. "Gara, bagaimana tadi hasilnya? Berapa banyak yang kamu dapatkan? Aku tahu bahwa kamu mendapatkan banyak warisan kali ini, terlebih kamu anak pertama dari Ayah."
Gara menatap Anggita dengan pandangan sendu, dia tidak tahu harus menjelaskan semuanya dari mana kepada istrinya ini.
"Gara, berapa banyak yang kamu dapatkan?" Tanya Anggita lagi, tak sabar untuk mendengar berita bahagia.
Gara perlahan menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Anggita demi memeluk istri tercintanya itu.
Hembusan napas Gara terasa tidak teratur di tengkuk Anggita, akan tetapi Anggita memilih untuk menahan diri agar tidak mengajukan pertanyaan apa pun lagi.
"Aku tidak mendapatkan apa-apa," ujar Gara mengeratkan pelukannya kepada Anggita, ada riak merah samar yang menggantung di kedua pelupuk matanya.
Mendengarkan hal itu, Anggita terkekeh. Seolah-olah menganggap penuturan Gara hanyalah sekadar guyonan belaka. "Apa kamu sedang merencanakan sesuatu di belakangku untuk memberi kejutan?"
Gara semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku tidak mendapatkan apa-apa," ulangnya.
Anggita menangkap ada kejanggalan dalam ucapan Gara, dan segera membuat jarak dengan suaminya itu. Pelukan Gara terlepas begitu saja.
"Apa maksudmu dengan 'tidak mendapatkan apa-apa'?" Bingung Anggita sembari menatap wajah suram suaminya ini.
Gara membalas tatapan itu dengan perasaan yang kacau. "Aku benar-benar tidak mendapatkan apa-apa."
Anggita bangkit dari duduknya dan memberi banyak jarak antara dirinya dengan Gara. Ia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Jangan membuat lelucon di saat-saat seperti ini. Aku sedang tidak ingin becanda!"
Gara menghembuskan napas lelah. Ia turut bangkit lalu menggenggam kedua tangan Anggita. "Aku benar-benar tidak mendapatkan apa-apa," ulang Gara yang entah sudah ke berapa kalinya.
Telinga Anggita terasa bedengung dan ia segera melepaskan jalinan tangan mereka. "Aku tidak percaya! Aku akan mendatangi rumah keluargamu!"
Dengan begitu, Anggita melesat keluar dari rumah setelah meraup kunci mobil yang sebelumnya Gara letakkan di atas meja.
Otak Gara serasa kosong, ia tidak dapat bereaksi tepat waktu. Hingga ketika suara mesin mobil terdengar di gendang telinganya, Gara segera berlari keluar demi menyaksikan mobil yang dikendarai Anggita itu kini telah beranjak menjauh.
Gara tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya satu hal yang Gara harapkan saat ini, semoga semuanya baik-baik saja.
*****
ketika sore hari beranjak, Anggita telah kembali dari rumah keluarga Rahadi dengan kosong serta langkahnya nampak lunglai tak bertenaga, tak berbeda jauh dengan reaksi yang ditampilkan Gara pagi tadi.
Mengetahui bahwa Anggita telah pulang, Gara segera menghampiri istiranya dengan tangan yang membaaa sepiring penuh berisi buah-buahan yang telah dikupas.
"Makanlah, kamu belum makan."
Gara tahu, ia tidak perlu menanyakan apa saja yang dilakukan Anggita di rumah keluarganya tadi. Meskipun Gara masih sangat tidak menerima kenyataan bahwa dirinya hanyalah seorang anak angkat, nyatanya kini Gara perlahan mampu meredakan emosi. Kontrol emosinya jauh lebih baik dari beberapa jam yang lalu.
Anggita menurut dan duduk di salah satu kursi meja makan sedangkan Gara kini tengah bersiap mengambil potongan apel dengan garpu dan menyuapi Anggita.
Anggita menurut tanpa banyak berucap. Hanya saja ketika apel itu telah tertelan sepenuhnya, Anggita tiba-tiba membuka suaranya. "Mari kita bercerai."
Tubuh Gara mendadak menjadi kaku. Tangannya menggantung di udara dengan garpu yang telah terisi potongan apel lainnya.
"A-apa yang kau katakan?" Tanya Gara tergeragap lalu menaruh garpu di atas piring sedetik kemudian.
"Mari bercerai," ulang Anggita.
"Jangan berkata yang tidak-tidak, aku akan menganggap bahwa kamu tidak mengatakan apa pun," gumam Gara dan meraup kembali garpu yang sebelumnya ia taruh di atas piring.
"Aku bersungguh-sungguh, mari kita bercerai."
Gara menggebrak meja demi melampiaskan emosinya. "Berhenti mengatakan omong kosong! Aku tidak ingin bercerai denganmu!"
Anggita memandang sendu kepada Gara dan mengulangi ucapannya, "Mari kita bercerai."
"ANGGITA!" Raung Gara dengan suara bergemuruh bak petir yang menyambar ke segala arah.
"Aku serius! Aku telah mendaftar di salah satu klinik aborsi untuk menggugurkan kandunganku!"
Mata Gara memerah dan berkaca-kaca, entah karena terlalu marah atau karena sedih mendengarkan ucapan Anggita.
"Apakah ini karena aku tidak mendapatkan bagian dari harta warisan yang Ayah tinggalkan? Kamu akan meninggalkanku karena hal itu? Kamu ingin mengakhiri kehidupan bayi kita di dalam perutmu? Gunakan akalmu, Anggita! Aku akan mencari uang sebanyak mungkin untuk menafkahimu meskipun aku tidak mendapatkan harta itu!"
"Aku... aku..."
"Apa kamu lupa jika kita sudah merencanakan nama bayi kita? Anggada untuk laki-laki dan Anggarita untuk perempuan. Bagaimana kamu bisa memikirkan untuk melakukan aborsi?! Dia anakku dan juga anakmu!" Tunjuk Gara pada perut Anggita yang masih rata itu.
Anggita menepis tangan Gara dan segera berbalik. "Aku akan menggugurkan kandunganku!"
*****
Hari-hari berikutnya, Gara dan Anggita tak lagi memiliki hidup yang tentram. Teriakan-teriakan selalu menggema mengisi rumah mereka, mengantarkan suara retakan samar pada kehidupan rumah tangga mereka berdua.
Pun setelahnya, Anggita benar-benar menyerahkan berkas bahwa ia telah melakukan aborsi setelah menghilang selama berhari-hari.
Gara merasa geram dan juga memarahi Anggita dengan raungan tak kunjung berhenti. Air matanya mengalir di sela-sela teriakannya.
Anaknya telah mati.
Anaknya telah dibunuh oleh Anggita!
Dengan begini, tidak ada alasan bagi Gara untuk terus bertahan. Ia muak, ia kecewa dengan apa yang telah Anggita lakukan.
Tak sampai seminggu setelah kejadian itu, Gara melayangkan surat cerai kepada Anggita.
Bukankah ini yang diharapkan oleh Anggita?
Dia ingin bercerai dengan Gara bukan?
Jika memang seperti itu, ini adalah jalan terbaik yang telah Gara ambil.
Gara hanya berharap, kelak ia memiliki kehidupan yang jauh lebih baik daripada ketika ia bersama Anggita.
Mereka telah bercerai, dan tidak ada lagi benang yang mengikat keduanya. Benang merah yang terhubung di jari kelingking Gara dan juga Anggita telah terputus.
Karena hal itu pula... tidak ada lagi kata 'kita' diantara Gara dan juga Anggita.