Bab 8 Makan Malam
Bab 8 Makan Malam
"Apa kamu akan menetap di Bandung?" Tanya Lita setelah duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.
Percakapan serius yang sebelumnya mereka lakukan telah berakhir beberapa lalu. Tidak ada ketegangan yang terjadi di pihak mana pun. Baik Lita dan juga Gara, keduanya memilih untuk berdamai dengan masa lalu dan membiarkan semuanya mengalir seperti air.
"Aku rasa tidak. Atasanku memberiku cuti selama satu minggu," jawab Gara sembari menatap Lita yang duduk di meja seberang.
Lita mendesah tak rela. "Jadi, kamu akan kembali ke sana?"
"Hm, aku akan kembali ke Malaysia minggi depan. Apakah tidak apa-apa?" Tanya Gara ketika melihat raut wajah Lita yang perlahan menyendu.
"Harus bagaimana lagi, 'kan? Kamu di sana untuk bekerja. Ibu tidak bisa melarangmu. Hanya saja, jangan lupa untuk sering-sering mengunjungi ibu. Jika ada kesempatan, ibu yang akan mengunjungimu ke sana."
"Tentu, aku akan mengunjungi ibu jika aku mendapatkan masa cuti lagi," jawab Gara.
"Janji?"
"Janji!"
Gara dan Lita terkekeh bersama. detik yang mereka lewati bersama terlihat sangat berharga. Diam-diam, Lita merasa kagum kepada putranya ini. Gara terlihat lebih dewasa dan matang dibandindkan dengan enam tahun yang lalu.
Setelah meredakan kekehannya, Lita menoleh kepada seorang anak perempuan yang kini tengah terduduk dengan patuh di atas kursi di sampingnya sembari memegangi boneka figur Elsa dengan kedua tangannya kecilnya.
"Rita, panggil mama untuk segera turun dan makan malam bersama. Makanan sudah siap," ujar Lita kepada Rita, cucunya.
Rita mengangguk riang lalu turun dari kursinya dan berlari dengan kecepatan kilat bersama boneka Elsa-nya.
Gara menatap punggung Rita dengan sendu, tiba-tiba ia teringat dengan bayinya yang telah di gugurkan oleh Anggita.
"Dia terlihat sangat cantik dan begitu ceria," komentar Gara pelan. Akan tetapi, Lita mampu mendengarnya dengan jelas.
"Hm, ibu setuju. Dia benar-benar anak yang manis. Sangat berbeda dengan perilaku ayahnya yang berapi-api."
Alis Gara mengernyit tajam. "Ayahnya?"
"Tentu, ayahnya. Ronald."
Gara tersedak. Benar, ia melupakan fakta bahwa Rita adalah anak adiknya, Ronald.
"Rita adalah anak yang beruntung," gumam Gara melirih.
Lita menoleh ke arah Gara lalu berucap, "Mengapa kamu mengatakan seperti itu?"
"Rita adalah anak yang beruntung karena Anggita bersedia melahirkannya. Tidak seperti bayiku dulu," balas Gara perih.
Rita menahan napas. Dia melupakan kejadian itu, kejadian tentang alasan utama yang merusak rumah tangga anaknya. Anggita menggugurkan kandungannya yang saat itu baru menginjak usia satu bulan.
Rita terdiam, tidak tahu harus membalas apa dari topik canggung ini. Jika diperpanjang, Lita yakin bahwa obrolan ini akan merujuk ke dalam suasana sedih lagi.
Sudah, cukup.
Lita tidak ingin anaknya bersedih karena mengingat hal-hal yang telah berlalu. "Apakah kamu sudah memiliki kekasih?" Tanya Lita berusaha mengalihkan topik.
Gara menatapnya lalu tersenyum hangat. "Aku belum memikirkan ide untuk memiliki kekasih lagi. Saat ini, aku tidak sedang ingin untuk memikirkan hal-hal yang seperti itu. Biarkan semuanya mengalir saja, ketika saatnya tiba, aku pasti akan memiliki kekasih. Ibu tidak perlu khawatir tentang itu," balas Gara seraya menatap manik Lita dalam-dalam.
"Jika kamu sudah memiliki kekasih nanti, jangan lupa untuk memberitahu ibu. Ibu ingin melihat bagaimana perempuan yang sudah kamu pilih."
Gara tertawa. "Jangan terlalu mengharapkan bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu dekat. Aku benar-benar belum memikirkan tentang gagasan itu."
Lita tersenyum pasrah. Dia tiba-tiba merasa bahwa Gara memiliki traumatis untuk membangun sebuah hubungan lagi dengan seseorang. Entah hanya perasaannya saja atau tidak, pandangan Gara nampak kosong ketika menatapnya tadi meskipun senyuman masih melekat kuat di wajahnya.
Apakah ini karena Anggita?
Apakah Anggita penyebab utama Gara menutup dirinya dari siapa pun?
Lita yakin bahwa hal itu benar adanya. Anggita adalah dalang utama dari sisi traumatis yang dimiliki oleh Gara.
"Kalau begitu, ibu akan menunggu saat-saat di mana kamu membawa pasanganmu. Tidak perlu terburu-buru, carilah yang terbaik dari yang terbaik," saran Lita,
"Ak--"
"Nenek."
Ucapan Gara terpotong begitu saja oleh suara renyah khas anak kecil dari ambang pintu sana. Rita berdiri dengan boneka di dalam pelukannya, tidak pernah memiliki keinginan untuk melepaskan boneka itu barang sebentar saja.
Lita melambaikan tangannya, memberi gestur agar Rita berjalan mendekat ke arahnya. Meskipun ragu-ragu, Rita tetap mendekat dengan langkah-langkah kecilnya.
"Di mana mama?" Tanya Lita untuk pertama kali.
"Mama mengatakan bahwa dia belum lapar dan ada sesuatu yang harus diselesaikan. Mama juga mengatakan bahwa mama akan melewatkan jam makan malam. Maka dari itu, mama meminta kepadaku untuk makan terlebih dahulu dan jangan menunggunya."
"Apa yang sedang mama lakukan di kamar?" Tanya Lita lagi.
"Mama sedang menelepon seseorang."
"Apa yang mama bicarakan di telepon? Apakah Rita mendengarnya?"
Rita mengangguk. Akan tetapi, sedetik kemudian, dia menggeleng lalu mengangguk lagi.
Tawa Lita hampir meledak melihat tingkah menggemaskan cucunya ini. Jadi, sebenarnya Rita tahu atau tidak?
"Apakah Rita mendengar apa yang mama katakan di telepon?" Ulang Lita sabar.
"Rita mendengar bahwa mama menyebutkan nama ayah beberapa kali. Lalu mama juga bertanya mengapa ayah belum pulang. Jadi, Nenek, di mana ayah sekarang? Mengapa ayah belum pulang?"
Lita tak sampai hati untuk menjawab pertanyaan Rita dengan jawaban-jawaban jujur. "Ayah sedang bekerja sampai malam. Rita tidak perlu memikirkannya. Sebentar lagi, ayah pasti akan datang," bujuk Lita agar Rita tak memikirkan semuanya lagi.
"Ayah akan pulang?"
"Hm, ayah akan pulang. Jadi, Rita makan dulu, ya," ajak Lita seraya menaruh Rita di atas kursi dan kembali duduk di kursinya semula.
"Lalu... bagaimana dengan mama? Mama tidak makan? Bukankah kemarin ayah berjanji kepadaku bahwa dia akan melakukan makan malam bersama denganku?"
Lita mengusap surai gelap Rita seraya berucap," Ayah sedang sibuk, jadi Rita harus makan terlebih dahulu. Jika ayah datang dan tahu bahwa Rita belum makan, ayah tidak akan membelikan boneka lainnya untuk Rita."
Rita tersentak, mengeratkan pelukannya pada figur Elsa. "Rita mau boneka. Nenek, ayo kita makan!"
Baik Lita dan Gara, keduanya sama-sama terkekeh. Gara sedari tadi memilih untuk diam dan beralih menjadi pengamat saja demi melihat interaksi yang terjadi antara ibunya dengan Rita.
Sangat menggemaskan.
Akan tetapi, otak Gara tiba-tiba merangkai beberapa alasan tentang ketidakhadiran Anggita di meja makan ini.
Apakah itu karena Gara?
Atau Anggita benar-benar sedang mencari keberadaan Ronald yang belum pulang hingga selarut ini?
Atau jangan-jangan... kedua alasan itulah yang membuat Anggita urung hadir di acara makan malam kali ini.
Gara menghembuskan napas dalam-dalam dan tidak ingin memikirkan hal itu.
Pandangan mata Gara beralih menuju Rita yang kini tengah menyantap makanannya dengan lahap.
Benar-benar menggemaskan.
"Anggarita," panggil Gara tanpa sadar dan membuat Rita menoleh ke arahnya.
"Paman mau bermain boneka denganku?" Tanya Rita menatap Gara penuh harap, teringat perkataan Gara beberapa saat yang lalu ketika menyetujui bermain boneka dengannya di lain waktu.
Gara terkekeh pelan melihat binar mata yang ditampilkan Rita. "Nanti saja, cepat habiskan makananmu."
Rita mengangguk dan menyuapkan kembali makanannya ke dalam mulut mungilnya.
Mata Lita tiba-tiba memerah. Dadanya sesak ketika melihat interaksi kecil itu.
Anggarita adalah nama bayi yang akan disematkan kepada anak Gara dulu, jika perempuan. Sedangkan untuk laki-laki, nama Anggada akan disematkan.
Bohong jika Lita tidak mengetahui hal itu.
"Aku merindukannya," gumam Gara pelan dan mulai menyendokkan nasi ke dalam piringnya. "Aku merindukan bayiku," lanjutnya lirih.
BERSAMBUNG