Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Fakta Terungkap

Bab 7 Fakta Terungkap

Gara turun dari lantai dua dengan langkah gontai tepat setelah hari beranjak malam.

Seperti yang disarankan Lita sebelumnya, Gara beristirahat di salah satu kamar tamu tak lama setelah pembicaraan sebelumnya selesai.

Identik dengan Bandung, suhu malam hari menurun drastis. Gara tidak terlalu terbiasa dengan suhu malam yang disajikan Bandung. Meskipun Tanah Tebing Tinggi berada di puncak, tetapi tidak sedingin ini.

Gara melangkahkan kakinya menuju dapur. Beberapa saat yang lalu, ia baru saja bangun dan bergegas untuk mandi. Setelah dilihat-lihat lagi, waktu makan malam akan segera tiba. Karena itu pula Gara memilih turun menuju dapur.

"Kamu sudah bangun," sapa Lita yang kini tengah berkutat bersama kompor serta beberapa sayuran. Tak lupa, celemek berwarna biru melekat di depan tubuhnya.

Di sisi Lita, ada dua orang pembantu lainnya. Mereka sama-sama tengah memasak. Akan tetapi, tak lama setelah kehadiran Gara, Lita tiba-tiba melepaskan celemeknya dan mengatakan kepada salah satu pembantu itu untuk melanjutkan pekerjaannya. Dan dengan begitu, Lita kembali menyongsong Gara bersama senyum hangat andalannya.

"Bagaimana tubuhmu? Masih lelah?" Tanya Lita seraya membawa Gara keluar dari dapur.

Gara menggeleng. "Sudah lebih baik daripada sebelumnya."

"Apakah kamu lapar?" Tanya Lita lagi saat keduanya memasuki ruangan keluarga.

"Tidak terlalu, aku masih bisa menahannya," jawab Gara seraya melirik seorang anak perempuan yang tengah bermain-main dengan bonekanya di depan TV ruang keluarga.

Gara dan Lita duduk di salah satu sofa panjang, menyaksikan kegiatan bermain Rita di depan sana.

"Ada yang ingin aku tanyakan kepada ibu," ujar Gara tiba-tiba saat keduanya telah menyamankan posisi duduk mereka.

Akan tetapi, suara renyah segera terdengar tepat setelah Gara menyelesaikan kalimatnya. "Nenek, mau bermain denganku?" Tanya Rita yang mengerjap polos di depan sana. Di sudut bibirnya, ada remah biskuit menempel yang dibiarkan menggantung karena sang empu tidak mengetahuinya.

Lita tersenyum, menolak permintaan Rita dengan halus sembari menutup stoples berisi biskuit yang di biarkan terbuka oleh Rita. "Tidak, sayang. Bermainlah sendiri dulu, ya."

Rita mengangguk pelan lalu mengalihkan tatapannya pada Gara dengan malu. "Lalu... apakah paman mau bermain boneka denganku?"

Gara menatap anak itu dengan rumit.

Gara tidak salah dengar 'kan jika anak itu memanggil Lita dengan sebutan 'Nenek'?

Jika memang benar, maka sudah dapat dipastikan bahwa Anak kecil di depannya ini adalah putri dari Anggita dan juga Ronald.

Tidak dapat dipercaya!

Msskipun begitu, Gara tetap tersenyum kepada Rita dan menolak sopan ajakannya. "Tidak saat ini, paman akan bermain denganmu lain kali."

Perlahan, senyum Rita mengembang lalu bertepuk tangan heboh dan bersorak gembira.

Lita hanya mampu menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah ajaib cucunya itu. Baru kali ini dia melihat Rita sebahagia itu. Tawanya terlihat sangat lepas.

Gara hanya bisa tersenyum canggung, tidak tahu bahwa reaksi yang ditunjukkan oleh Rita akan seekspresif itu.

Setelah beberapa saat berlalu, Gara berdeham untuk sekadar menarik atensi Lita.

Lita menolah kepada Gara dan menyudahi sesi pandangnya pada Rita.

Jauh di depan sana, Rita terus tertawa sembari memeluk boneka Elsa dari animasi Frozen.

Mengabaikan kekehan Rita yang sesekali terdengar, Lita memfokuskan kembali tatapannya kepada Gara. Mengingat bahwa sebelumnya Gara mengajukan pertanyaan. Dengan begitu, Lita bertanya kepada Gara. "Apa yang ingin kamu tanyakan?"

Gara menatap ragu-ragu kepada Lita. Telapak tangannya membentuk kepalan ringan secara sembunyi-sembunyi. "Enam tahun lalu... ketika pembacaan surat wasiat... apakah benar?" Tanya Gara setengah-setengah. Tidak berani mengungkapkan sepenuhnya.

Lita mengerjap. Tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan berlangsung. Akan tetapi, setelah beberapa saat berlalu, mata Lita tiba-tiba menyorot sendu. "Apa... apa kamu merasa kecewa saat itu?" Tanya Lita lirih, kedua bahunya telah merosot. Matanya menampilkan kesedihan tiada tara.

Gara mengambil napas dalam-dalam dan menjawab, "Mungkin... iya. Apakah surat hasil tes DNA itu benar?"

Inilah yang Gara ingin tanyakan sedari dulu. Pasalnya, ketika Gara meninggalkan Indonesia enam tahun silam, ia tidak tahu-menahu tentang keaslian hasil tes itu. Bisa saja di manipulasi oleh seseorang, bukan?

"Jangan tinggalkan ibu," cegah Lita dengan mata yang mulai memerah, pun suaranya telah bergetar.

Melihat reaksi Lita seperti itu, Gara memejamkan matanya erat-erat. Harapannya seketika enyah tak bersisa. Harapan tentang penyangkalan bahwa dirinya bukanlah anak angkat dari Lita dan juga Tuan Rahadi.

Krekkk..

Gara dapat merasakan hatinya terbelah menjadi dua di dalam sana, sejalan dengan kesedihan yang kini tengah ia rasakan.

"Siapa?" Tanya Gara parau tanpa perlu membuka matanya. Berharap bahwa ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk belaka.

"Mengapa?" Tanya Gara seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan raut kekecewaan yang kentara begitu jelasnya dari pandangan Lita.

Lita terdiam. Bungkam.

Apakah kedatangan Gara di sini untuk mengetahui kebenaran?

Apakah kedatangan Gara di sini untuk menuntut balasan?

"Siapa orangtuaku?" Tanya Gara memperjelas maksudnya. Suaranya sirat akan luka, membuat Rita yang sedari tadi tengah bermain-main dengan bonekanya kini menatap penuh tanya pada Gara yang menunduk dalam.

Tesss...

Airmata Lita terjatuh begitu saja. Lidahnya terasa kelu. Matanya mengabur. Bibirnya bergetar. "Aku... aku adalah ibumu, orangtuamu," jawab Lita susah payah menyelesaikan kalimatnya.

Mendengar hal itu, Gara mendongak. Matanya sama merah dengan mata Lita. Kegusaran tercipta jelas di balik wajah tampan itu. "Siapa orangtua kandungku?"

Tangis Lita pecah seketika.

Hatinya sakit, bak ditusuk oleh ribuan jarum tajam.

Tanpa ragu-ragu, Lita mendekap Gara dengan kuat seraya terus meraung, "Maafkan ibu."

Gara menggelengkan kepalanya dan bersikukuh bertanya, "Siapa orangtua kandungku?"

Mengikuti itu, Lita semakin mengeratkan pelukannya, seolah-olah, Gara akan pergi di detik berikutnya. "Ibu adalah orangtuamu..."

Gara mencoba melepaskan pelukan ibunya sebisa mungkin lalu sedikit memberi jarak diantara mereka.

"Bu," panggil Gara pelan.

Lita melihat wajah anaknya yang kini telah berubah merah padam. Bukan karena amarah, melainkan kesedihan.

"Enam tahun lalu, ketika aku diberitahu jika aku hanyalah anak angkat di keluarga ini, apakah ibu tahu bagaimana perasaanku saat itu?" Tanya Gara pelan, tatapannya mengawang.

Di sisi lain, Rita tidak lagi tertarik dengan mainan bonekanya. Ia menyaksikan Lita dan Gara dalam kebisuan. Entah mengapa, bonekanya saat ini terasa tidak lagi menyenangkan. Sebaliknya, Rita merasa penasaran dengan kedua orang itu.

"... hatiku hancur, bu. Aku merasa seperti telah dibohongi selama lebih dari duapuluh tahun oleh kalian berdua. Menyembunyikan kebenaran di belakang punggungku, berapa lama ibu akan terus melakukannya?" Lanjut Gara seraya mengusap airmata Lita.

Sayangnya, seberapa banyak kecewa yang dimilikinya, Gara sama sekali tidak bisa marah kepada Lita.

"Selama enam tahun di Malaysia, aku mencoba untuk mengobati lukaku. Aku mencoba untuk kembali merangkai kepingan hatiku yang telah bercerai-berai. Harus berapa lama lagi aku merenung di dalam ketidaktahuan ini, bu?"

"Jangan pergi..."

"Bu, apakah ibu tidak merasa kasihan kepadaku?" Tanya Gara pelan, pelan sekali sehingga Rita tidak mampu mendengar ucapannya.

Lita merasa dadanya sesak seketika. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat, melebihi batas normal.

"Maafkan ibu," ratap Lita tanpa henti.

"Aku sudah memaafkan ibu sejak lama. Aku tidak bisa marah kepada ibu. Jadi, apakah ibu bisa memberitahu siapa orangtuaku?" Jelas Gara meminta pengertian.

Tidak ada jejak airmata yang tumpah diwajahnya. Gara telah berhasil mengendalikan emosinya dengan sangat cepat.

Di sisi lain, Lita tetap saja merasa sedih tak berujung dan enggan untuk mengungkapkan kebenaran kepada Gara.

"Gara...," panggil Lita lirih setelah mengambil napas dalam-dalam sebelumnya.

"Hm."

Lita memejamkan matanya dengan sangat erat, mencoba meneguhkan hatinya yang telah goyah sedari tadi.

"Jika ibu mengatakan kebenaran, apakah kamu akan marah?"

Gara menggeleng lalu tersenyum. Kontras dengan emosi yang ia tunjukkan beberapa menit lalu. "Bukankah sudah aku katakan bahwa aku tidak bisa marah kepada ibu? Apakah ibu kini mulai meragukanku?"

Lita menggeleng lalu tersenyum canggung. "Ibu hanya takut."

"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ssmuanya akan baik-baik saja, aku berjanji."

"Apakah benar seperti itu?" Tanya Lita ragu.

"Tentu, semuanya akan baik-baik saja," balas Gara seraya menghapus jejak airmata dari pipi Lita.

Hari ini, Lita terlalu banyak menangis. Gara jadi khawatir sendiri jika kesehatan ibunya akan menurun dan berakhir jatuh sakit.

"Kamu... kamu bukan anak kandung ibu," aku Lita pelan. "Tapi ibu selalu menganggapmu sebagai anak kandung ibu," lanjutnya.

Gara tersenyum, merasa lega bahwa Lita sudah bersedia untuk terbuka dengan dirinya. "Aku dapat merasakan kasih sayang yang ibu berikan kepadaku, ibu benar-benar tidak memberikan sekat pembatas untukku. Bagiku, ibu tetap selalu menjadi ibuku. Tidak peduli apa. Hanya saja, aku juga harus tahu siapa orangtua kandungku, bukan?"

Lita mengangguk, membenarkan ucapannya.

Gara benar, seharusnya ia tidak menyembunyikan kebenaran selama-lamanya. Sudah tiba saatnya bagi Lita untuk memberitahu rahasia itu.

"Dulu, ketika kamu masih kecil, seseorang menitipkanmu kepada ibu dan juga ayahmu," ujar Lita sembari menatap wajah Gara.

tidak ada perubahan ekspresi yang menggeser ke arah negatif. Gara tetap tersenyum hangat.

"Lalu?" Tanya Gara singkat.

"Lalu ibu menerimamu begitu saja karena ibu juga saat itu belum memiliki anak. Dan setelahnya, ibu benar-benar menganggapmu sebagai anak ibu sendiri, yang lahir dari rahim ibu."

Gara mendekat dan memeluk Lita. "Aku akan menjadi anak ibu, selama-lamanya."

Lita mengangguk tegas. "Sudah seharusnya seperti itu. Karena ibu adalah ibumu."

Gara terkekeh. "Jika memang aku dititipkan, siapa orangtuaku sebenarnya? Mengapa mereka tidak mengambilku lagi?"

Lita mengeratkan pelukannya. "Ibu tidak tahu, mereka tiba-tiba memutuskan hubungan dengan kami berdua. Tapi ibu rasa, orangtua kandungmu masih berada di Bandung. Ibu yakin itu."

Gara mengangguk. "Jika ibu yakin akan hal itu, maka aku juga yakin. Dan satu lagi... apakah ibu tahu siapa nama kedua orangtuaku?"

Lita mendongak, manik matanya berbenturan dengan tatapan hangat Gara. "Ibu tidak mengetahuinya."

Meskipun percakapan ini mengalami kebuntuan, Gara tetap tersenyum senang. Jika memang dirinya hanyalah seorang anak angkat dari keluarga Rahadi, apa yang salah dengan itu?

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel