Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Lelucon Tak Bermoral

Bab 6 Lelucon Tak Bermoral

Bersamaan dengan Gara yang menghentikan langkahnya, Lita tentu berhenti juga. Pasalnya, bahunya kini tengah dirangkul dengan kuat oleh Gara yang tetap fokus memandang ke depan sana.

Pelupuk mata Lita masih dipenuhi airmata yang menggenang, membuat jarak pandangnya mengabur.

Lita mengerjapkan matanya untuk memeras seluruh airmata yang menggantung di pelupuk hingga habis lalu mengikuti garis pandang Gara ke depan sana.

Nafas Lita tersendat. Kepalanya berputar seakan-akan itu hampir lepas dari tempatnya.

Di sana...

Di depan sana...

Anggita dan Ronald begitu terkejut ketika melihat kehadiran Gara yang secara tiba-tiba itu. Tatapan keduanya nampak rumit dan pelik sehingga sangat sulit untuk diartikan apa maksud dari tatapan yang ditunjukkan itu.

Di samping Anggita, Ronald menurunkan Rita dari gendongannya lalu menyentakkan kasar lengan Anggita yang masih mengait di tangannya begitu saja hingga terlepas.

Wajahnya mengeras dan memerah padam karena menahan amarah.

Mengapa dia kembali?!

Untuk apa?!

Dengan mengabaikan ringisan Anggita, Ronald berjalan maju tak gentar dan berhenti tepat di hadapan Gara dengan wajah mengejek. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Gara terdiam. Tidak terlalu terkejut dengan ucapan adiknya itu. Memang, sedari dulu, dirinya dan Ronald sama sekali tidak pernah memiliki hubungan yang baik.

Gara tersenyum kecut, di dalam hatinya, 'Benar-benar tidak berubah.'

Lita menatap Ronald untuk memberinya peringatan.

"Apa? Ibu ingin aku menghormati dia?" Tunjuk Ronald dengan jari telunjuknya yang menyentuh dada kiri Gara dan mendorongnya pelan, matanya menampilkan kenyalangan yang nyata. "Dia bukan siapa-siapa bagiku! Tidak ada keharusan bagiku untuk menghormatinya! Setelah semuanya, dia bukan siapa-siapa! Dia hanyalah seorang anak angkat!"

"Ronald!" Berang Lita melangkahkan kakinya ke depan lalu menyembunyikan Gara di belakang punggungnya, bersiap menjadi perisai hidup untuk melindungi Gara.

Gara diam tak bereaksi mendengar perkataan tajam Ronald. Ia hanya tetap memandang lurus-lurus ke arah manik mata adiknya itu.

"Apa? Ibu ingin memintaku untuk diam? Ibu ingin aku berperilaku sopan kepadanya? Bermimpilah!" Teriak Ronald di akhir kalimat.

Ronald berdecih lalu berjalan melewati keduanya dengan langkah seribu bersamaan dengan kedua tangannya yang mengepal erat di kedua sisi.

Dibelakang sana, Anggarita atau biasa dipanggil Rita kini mendekat dan memeluk kaki Anggita dengan kuat. Tubuh mungilnya bergetar setelah mendengarkan teriakan Ronald. Lalu... tak lama setelahnya, gadis mungil itu mulai terisak pelan.

Mengetahui bahwa situasinya sudah mulai di luar kendali, Anggita bersusah payah untuk menggendong Rita memasuki rumah setelah melirik singkat kepada Gara yang kebetulan tengah melihatnya.

Tepat setelah Anggita memasuki rumah, terdengar suara mengaum dari garasi mobil dan di detik berikutnya, sebuah mobil melesat dengan kecepatan kilat setelah melewati pintu gerbang yang terbuka otomatis itu. Bahkan setelah sekian lama, raungan mobil itu tidak kunjung mereda.

Ronald benar-benar tidak berubah!

"Ayo masuk," ajak Lita merasa tidak enak karena kehadiran Gara tidak disambut dengan baik.

Gara mengangguk dan tersenyum kepada Lita.

Dengan begitu, keduanya kembali berjalan untuk memasuki rumah berwarna putih gading itu.

Lita terus menuntun Gara untuk sekadar duduk di salah satu kursi sebelum berpamitan untuk membuatkan minuman.

"Tidak perlu, ibu. Aku bisa mengambilnya sendiri nanti," tolak Gara halus dan menarik tangan Lita untuk duduk di sisinya.

Lita tersenyum menatap Gara sebelum menggelengkan kepalanya. "Kamu baru saja pulang. Badanmu pasti sangat lelah."

"Tid--"

"Ibu akan ambilkan sebentar, tunggu di sini," potong Lita cepat, tidak berkenan mendengarkan penolakan Gara.

Lita melenggang meninggalkan Gara sendirian di ruang tamu. Gara yang ditinggalkan pun hanya bisa mendesah lalu menyandarkan punggunya pada sofa berwarna cream ini, memejamkan matanya sejenak.

Tak lama berselang, Lita kembali dengan satu buah nampan berisi teko dan juga dua gelas kecil serta beberapa makanan ringan lainnya, lalu menaruhnya di meja dengan pelan. Setelahnya, Lita duduk di seberang Gara.

"Minumlah dulu lalu beristirahat di kamar," ujar Lita.

Gara membuka matanya dan menegakkan punggungnya kembali. Mengangkat teko, menuangkannya ke dalam gelas miliknya dan Lita secara bergantian. Teh hangat, masih mengepul.

"Ibu, minumlah," anjur Gara seraya memberikan gelas satunya ke arah Lita.

Lita menerima lalu meniupnya pelan dan meneguknya sedikit. Masih cukup panas.

"Bolehkah ibu bertanya sesuatu?" Tanya Lita sembari meletakkan gelas di atas meja.

Gara pun menyesap tehnya sedikit dan menaruh gelasnya kembali di atas meja. "Tentu, tanyakan apa yang ingin ibu tanyakan. Aku akan menjawabnya sebaik mungkin."

Mendapat persetujuan dari Gara, Lita tidak ingin membuang-buang waktu lagi. "Selama enam tahun ini, kamu di mana?" Tanya Lita melirih di akhir kalimatnya.

Gara beranjak bangkit dan duduk di sisi Lila lalu mengusap pundak Lita dengan sayang. "Selama enam tahun ini, aku berada di Malaysia, bu. Aku bekerja di sana sebagai penyemai kebun buah," jawabnya.

Lita menatap wajah Gara dengan tak tega lalu membelai pipinya. "Mengapa kamu pergi tanpa memberitahu ibu terlebih dahulu?"

Gara terdiam selama beberapa saat, tidak tahu harus menjawab apa. "Aku... aku saat itu sedang kalut. Ak--"

"Apa kamu 'terluka'?" Potong Lita cepat. Mengamati perubahan ekspresi Gara yang perlahan menyendu. "Maafkan ibu."

Gara menggeleng. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, ibu. Semuanya baik-baik saja. Saat itu aku hanya tidak bisa berpikir dengan jernih. Akulah yang seharusnya meminta maaf kepada ibu."

"Ibu telah menunggu selama enam tahun. Dan hari ini... penantian ibu akhirnya terjawab. Kamu kembali, Nak."

Gara tersenyum hangat kepada Lita seraya berbisik di dekat telinganya. "Aku kembali, ibu."

Hati Lita mendadak mencelos mendengarkan kata-kata itu. Matanya kembali memanas. "Selamat datang kembali... anakku," ujar Lita serak seraya merentangkan tangannya.

Gara memeluk Lita di detik berikutnya lalu mengecup pucuk kepala ibunya itu. "Aku kembali, ibu."

"Ibu tahu kamu akan kembali. Karena itu pula mengapa ibu selalu menunggumu selama enam tahun penuh. Karena ibu percaya, bahwa suatu hari nanti, kamu akan kembali."

Gara melepaskan pelukannya lalu menyapu pipi Lita lembut, menghilangkan bercak airmata yang telah turun dari sana. "Jangan menangis."

Lita menarik napas dalam-dalam dan tersenyum kepada Gara. "Ibu tidak menangis."

Gara balas tersenyum lalu kembali mendekap Lita dengan erat.

Tak lama berselang, Lita menarik diri dari pelukan Gara lalu kembali bertanya. "Kamu bekerja sebagai penyemai kebun buah?"

Gara mengangguk.

"Apakah itu sulit?" Tanya Lita lagi.

"Tidak, itu tidak sulit. Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Jadi, bagiku itu tidaklah sulit."

Lita mengerti. "Apa kebun itu dibawahi oleh suatu perusahaan atau hanya kebun biasa?"

Gara menjelaskan, "Kebun itu dibawahi oleh salah satu perusahaan di sana. Stell Farm, itu adalah nama perusahaan yang menaungi kebun tempatku bekerja."

"Stell Farm?" Tanya Lita ragu, mencoba memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

"Hm, Stell Farm. Apakah ada yang salah?"

Lita terdiam selama beberapa saat sebelum berkata, "Jika tidak salah... Stell Farm adalah salah satu perusahaan yang kini tengah bekerja sama dengan Anggita."

Dahi Gara mengernyit.

Anggita?

Gara jadi mulai memikirkan banyak kejanggalan.

Satu minggu lalu, di Tanah Tinggi Genting, ia bertemu dengan Anggita secara tidak sengaja.

Lalu... di depan rumah tadi, Anggita mengkait lengan Ronald dengan begitu mesranya.

Dan sekarang... Anggita memegang salah satu bisnis keluarganya?

Sebenarnya, apa peran Anggita di dalam keluarga Rahadi?

Bukankah seharusnya Anggita tidak menginjakkan kakinya di sini?

Mungkin, saat Anggita dulu masih menjadi istrinya, sah-sah saja jika perempuan itu keluar masuk dari rumah Keluarga Rahadi.

Tapi, setelah bercerai, mengapa Anggita kini menetap di sini?

"Anggita, mengapa dia bisa menghandle salah satu properti keluarga Rahadi? Bukankah dia hanya orang asing setelah resmi bercerai denganku, bu?" Tanya Gara mencoba menuntaskan rasa penasarannya.

Lita terbungkam. Manik matanya menyorot gelisah pun bibirnya kini tengah memucat entah karena apa.

"Ibu?"

Lita tetap diam. Sedikit menggeser duduknya menjauh dari Gara.

Gara bingung akan reaksi ibunya yang terlihat aneh ini.

Apakah ada sesuatu yang Gara tidak ketahui?

"Ibu?" Panggil Gara lagi seraya mendekat ke arah Lita.

"Anggita...," ucap Lita ragu sebelum menatap wajah Gara.

"Anggita?" Tanya Gara atas ucapan Lita yang menggantung.

"Anggita adalah istri Ronald," ucap Lita secepat kilat.

Bak tersambar petir, tubuh Gara menegang. Tatapannya menyorot ke arah Lita dengan pandangan kosong.

Hati Gara tiba-tiba berdetak kencang ketika mendengar penuturan ibunya.

"Jangan bercanda, bu. Anggita adalah mantan istriku, sedangkan Ronald adalah adikku. Bagaimana mungkin mereka bisa bersama?" Gara tertawa getir menyelesaikan kalimatnya.

Di sisi lain, Lita takut-takut untuk menatap wajah Gara. Ia hanya memberitahu fakta lainnya dengan kepala tertunduk dalam. "Ibu tidak berbohong. Mereka benar-benar melakukan pernikahan dua minggu setelah kalian resmi bercerai."

Tawa Gara perlahan menghilang, senyumnya tak lagi merekah. Pandangan matanya menyorot Lita dengan kekosongan yang nyata.

Menikah?

Ronald dan Anggita menikah?!

Terlebih... dua minggu setelah perceraian mereka?!

Apakah diam-diam Anggita telah bermain api di belakangnya?

Apakah Anggita telah menjalin tali asmara bersama Ronald secara diam-diam?

Gara mengepalkan tangannya.

Pemikirannya tidak salah. Itu cukup masuk akal.

Anggita dan Ronald pasti telah bermain api di belakang Gara secara diam-diam.

Gara percaya itu!

"Di mana Rianty? Aku akan bertanya langsung kepadanya. Aku tidak percaya apa yang ibu katakan!"

Mantan Istrinya dan adiknya kini menjadi suami-istri?

Lelucon macam apa ini?!

Dengan suara pelan, Lita menjawab pertanyaan Gara sebelumnya. "Rianty sedang melanjutkan studi kedokterannya di Jerman."

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel