Bab 5 Kejutan di Rumah Lama
Bab 5 Kejutan di Rumah Lama
Satu minggu telah berlalu semenjak kejadian itu, dan Gara benar-benar mengambil masa cutinya.
Kini, dengan sebuah koper hitam ditangan kanannya, Gara menyeret-nyeret benda itu bersama langkah kakinya demi memasuki area Bandara Udara International Kuala Lumpur.
Dengan memakai pakaian kasual, baju putih serta jeans hitam, Gara terlihat lebih muda dari perkiraan usianya yang kini hampir menginjak kepala tiga. Tak lupa, rambut hitamnya ia sisir rapi ke sisi sebelah kanan dan juga membentuk belahan di sisi sebelah kirinya.
Tampan dan sopan, begitulah pendapat orang-orang yang melihat penampilan Gara. Tidak ada jejak angkuh ataupun kesombongan dari cara melangkah Gara, nampak seiras dengan penampilan yang dikenakannya.
Di sisinya, berjalan seorang perempuan dengan paras lembut nan ayu mempesona. Perempuan itu memakai baju berwarna putih dengan lengan baju yang menggantung di atas siku dan juga kerah sedikit lebar dari baju normal, ditambah bawahan celana berwarna hitam panjang.
Rambut cokelatnya menjuntai hingga punggung dan bergerak ke sana ke mari sesuai dengan langkah kakinya.
Kedua orang itu terus berjalan memasuki aula besar bandara lalu duduk di ruang tunggu, menunggu keberangkatan pesawat yang akan mengangkut mereka.
"Ini, minumlah," ujar Stella ketika melihat ada bulir-bulir keringat samar yang merambati wajah Gara. Stella tak tega melihat Gara, dia tahu bahwa pria itu kini sedang kelelahan. Terlebih, Gara memaksakan diri untuk tetap bekerja hari ini meskipun ia akan melakukan penerbangan di malam harinya.
Gara menoleh dan tersenyum kepada Stella seraya mengambil satu minuman dingin yang teracung di depan wajahnya. "Untukku?"
"Hm, minumlah."
Gara mengangguk dan membuka tutup botol itu lalu menenggaknya hingga tersisa setengah. "Aku tidak mengira bahwa kamu akan memiliki keperluan juga di Bandung," ucap Gara setelah menaruh botol di atas kursi kosong di sisinya.
Stella menoleh kepada Gara, menarik garis pandanganya dari ponsel yang kini tengah ia operasikan. "Ya, semuanya terasa begitu mendadak. Ada hal yang harus aku urus secara pribadi. Ini menyangkut tentang bisnis ekspor melon-melon kita," jawab Stella lalu mengusap-usap lengannya karena merasa sedikit kedinginan.
Angin malam benar-benar begitu menghujam, ditambah dengan pendingin ruangan yang ada di aula ini. Semuanya berbaur menjadi satu dan membuat tubuh Stella menjadi tak menentu.
Gara dapat melihat dengan jelas gerak-gerik yang Stella tampilkan. Perempuan itu jelas-jelas sedang kedinginan. Kontan, Gara melepas jaket yang sedari tadi membungkus tubuhnya lalu menyampirkan jaket itu di bahu ringkih Stella.
"Pakailah, udara di sini sangat dingin," ucap Gara lalu menarik kembali lengannya setelah menyampirkan jaket itu.
Stella menunduk dalam selama beberapa saat, mencoba mengulum senyum yang hendak tercipta. Di balik suhu dingin ini, ada satu hal yang hangat di salam diri Stella, yakni hatinya.
"Terima kasih, Gara."
Gara mengangguk dengan senyum yang masih mengembang.
Di sisi lain, Stella mulai menarik resleting jaket hingga sebatas lehernya. Lalu menghirup dalam-dalam bau parfum yang menguar dari jaket yang tengah ia kenakan.
'Sangat menenangkan,' batin Stella ketika samar-samar dapat menghirup bau khas dari tubuh Gara, lavender.
"Stella?"
"Hm?" Stella segera menoleh setelah menyudahi aksi gilanya, ia khawatir kegiatannya barusan akan diketahui oleh si empu, Gara.
"Jadi, perusahaanmu melakukan ekspor ke bandung selama ini?"
Stella mengangguk. "Ya. Kami telah melakukan kerja sama selama dua tahun belakangan."
Kali ini giliran Gara yang mengangguk mengerti. "Kalau begitu, berapa lama kamu menetap di Bandung?"
Stella diam untuk beberapa saat, berpikir. "Aku tidak tahu secara pasti, mungkin sekitar satu atau dua minggu. Akan ada banyak hal yang harus aku lakukan di sana. Jadi, aku rasa, aku akan sibuk setiap harinya," kekeh Stella ringan dan melirik Gara. "Bagaimana denganmu?"
"Apa?" Tanya Gara bingung.
"Apa saja yang akan kamu lakukan di Bandung nanti? Apakah kamu sudah memiliki rencana?"
Gara terdiam. Dia sama sekali tidak memiliki rencana selain bertemu dengan ibunya. "Tidak tahu, aku tidak memiliki rencana apa-apa," jawab Gara jujur.
Tepat ketika Stella hendak kembali mengatakan hal lainnya, terdengar sebuah suara mengalun melalui pengeras suara di atas sana. Suara yang mengintruksikan bahwa pesawat meraka akan segera berangkat.
Dengan begitu, Stella dan Gara bangkit dari duduknya, berjalan lebih dalam memasuki aula bandara dan siap untuk melakukan penerbangan selama berjam-jam lamanya.
****
Stella menguap kecil ketika pipinya terasa ditepuk beberapa kali oleh seseorang. Dengan gumaman kesal karena sesi tidurnya diganggu, Stella perlahan mengerjapkan matanya lalu pandangannya menelisik ke segala arah. Untuk beberapa saat, Stella merasa bingung berada di tempat asing ini. Pesawat?
"Tenangkan dirimu terlebih dahulu. Kita baru saja sampai," ujar seseorang di sisi Stella pasrah setelah melihat keadaan linglung yang ditampilkan oleh perempuan ini.
Stella menoleh ke sisi kanannya dan segera terperenjat kaget ketika menyadari bahwa sedari tadi ia bersandar di bahu orang itu!
Stella refleks menarik kepalanya dari bahu Gara seraya berkata, " Maafkan aku. Apakah bahumu pegal? Biarkan aku memijitnya."
Tanpa menunggu aba-aba, tangan Stella bersiap memijit bahu tegap itu namun tangannya segera ditarik turun oleh Gara. "Tidak perlu."
Stella tersenyum malu dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Berapa lama ia tertidur di bahu Gara?
Pantas saja ia merasa begitu nyaman!
"Ayo turun," ajak Gara kepada Stella yang masih cengar-cengir tidak jelas.
Stella merapikan singkat rambutnya dan baju yang tengah ia kenakan lalu berkata setelahnya, "Ayo!"
Dengan begitu, keduanya turun dari pesawat dan mengambil koper mereka bersama-sama. Pun mereka berdua berdiri di depan Bandara Udara Internasional Husein Sastranegara bersisihan.
Gara dan Stella telah sampai di Bandung. Di dalam hati, Stella berpikir, 'Apakah ini Bandung? Udaranya sejuk sekali.'
Sebaliknya, Gara mendesah ringan seakan tak percaya bahwa ia akan kembali menginjakkan kakinya di kota ini. Kota yang menjadi latar berbagai kejadian buruk di dalam hidupnya.
Stella menyikut pelan lengan Gara. "Sejuk sekali," gumamnya.
Gara menyetujui, "Masih sama seperti dulu."
Mereka sampai di Bandara Udara Husein Sastranegara tepat pada pukul enam. Masih terbilang cukup pagi, selaras dengan udara yang ditampilkan kali ini.
Sangat dingin.
Lebih dingin dari Tanah Tinggi Genting.
Bahkan Gara hampir tidak bisa mentolerir rasa dingin ini. Sudah lama sekali dia tidak menginjakkan kaki di Bandung.
Gara dapat merasakan berbagai perasaan di dalam hatinya ketika ia menginjakkan kaki di Bandung kembali, gundah dan senang.
"Gara, mari kita menginap di hotel," ajak Stella tiba-tiba.
Sesaat ia menyadari bahwa kini sebuah jaket berwarna hitam melekat menutupi bajunya. Jaket Gara, Stella telah mengenakan jaket Gara sepanjang malam.
Lalu, apakah ini adalah faktor utama yang membuat tidurnya begitu nyenyak?
Ia memakai jaket Gara dan juga bahu Gara untuk bersandar. Benar-benar malam terbaik yang pernah Stella miliki.
Memikirkan hal itu, Stella tersenyum malu-malu.
"Sepertinya aku tidak akan menginap di hotel. Aku akan pergi ke rumah keluargaku saja. Seperti yang kamu pernah katakan, Stella, aku harus menghabiskan waktu dengan keluargaku."
Sudut hati Stella merasa kecewa. Ia tidak bisa melihat Gara selama di Bandung. Akan tetapi, Stella mampu mengontrol ekspresinya dengan baik. "Kalau begitu, kita akan berpisah di sini," ungkapnya.
Gara mengangguk, membenarkan ucapan Stella. Lagipula, mereka memiliki kepentingan yang berbeda, bukan?
Setelah mengucapkan beberapa kalimat berpisah dan juga meminta Gara untuk menghubunginya jika memiliki waktu senggang guna mengajak dirinya berjalan-jalan, Stella dengan berat hati memasuki sebuah taksi yang telah ia pesan lalu meninggalkan halaman bandara begitu saja.
Gara menyaksikan taksi yang membawa Stella hingga menjauh dan menghilang di ujung sana.
Hahh...
Desahan berat terdengar.
Apakah Gara harus kembali ke rumah Rahadi?
Tak lama setelah merenung, Gara meneguhkan hatinya lalu memanggil sebuah taksi yang kebetulan lewat tak jauh darinya.
Gara memberitahukan alamat tujuannya kepada sang supir tanpa perlu beramah-tamah. Pun tak ada senyuman yang mampu keluar dari bibirnya.
Perlahan namun pasti, taksi itu bergerak meninggalkan halaman bandara dengan kecepatan stabil.
Selama di dalam taksi, Gara telah mendesah tak kurang dari duapuluh kali. Bahkan membuat sang supir mengernyitkan dahinya keheranan.
Mobil itu terus melaju membelah jalanan yang masih lengang ini. Hingga setelah sekian lama berada di dalam taksi, Gara mulai melihat bahwa tempat yang dilewati taksi ini nampak familier di benaknya.
Rumah Rahadi sudah dekat. Begitulah pikiran Gara saat ini.
Benar saja, tak sampai lima menit, taksi yang ia tumpangi kini sudah berhenti di sebuah rumah bergaya modern dengan sentuhan warna putih gading di mana-mana.
'Tak ada yang berubah, masih sama,' batin Gara menggumam tiba-tiba.
Gara dengan sigap membayar ongkos kepada supir taksi dan keluar. Mengabaikan degupan jantungnya yang tengah memburu tak terkendali.
Pun ketika supir itu menaruh koper Gara tepat di sisi kakinya, Gara masih diam tak bereaksi dengan pandangan mata yang menjelajah ke sana ke mari di bangunan megah ini.
Dengan tangan yang mulai gemetar dan mengalir setitik keringat dingin, Gara memberanikan diri untuk menekan bel di sisi pintu gerbang.
Tubuhnya mendadak bergetar samar, lengan dan kakinya kini terasa mendingin seiring dengan detik yang bergulir. Gara menjadi lebih gugup ketika ia sendiri tidak bisa mengontrol degup jantungnya.
Mengapa reaksinya seperti ini?
Gara memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. Bersiap untuk menekan kembali bel dengan mata tertutup.
Akan tetapi...
Greppp...
"Kau pulang, ibu sudah tahu kau akan pulang..."
Tubuh Gara diterjang dengan begitu kuat. Gara dipeluk dengan sangat erat. Seolah-olah Gara akan pergi lagi di saat berikutnya.
Mendengar suara itu, hati Gara tiba-tiba mencelos. Tenggorokannya terasa tercekat. Napasnya memburu.
Gara... tidak berani membuka matanya.
Namun, satu titik airmata jatuh dari matanya.
Gara... menangis.
"Ibu tahu kamu akan pulang, ibu tahu itu...," raung Lita mendekap Gara dengan seluruh tenaganya.
Punggungnya bergetar hebat karena kejutan tak terduga ini. Dia sudah menunggu kedatangan Gara sejak enam tahun lalu. Dia belum sempat mengucapkan sepatah kata kepada anaknya ini. Akan tetapi... Gara tiba-tiba menghilang, tanpa memberitahunya.
Lita segera terpukul. Ia menangis selama berhari-hari. Mengurung diri di kamar.
Dan saat ini...
"Ibu merindukanmu...," ucap Lita lirih dengan airmata yang terus mengalir. Tangannya membelai setiap permukaan wajah Gara, mencoba meyakinkan bahwa Gara bukanlah ilusi semata. "Kamu kembali... ibu merindukanmu... sayang."
Gara tak bisa menahannya lagi, ia langsung mendekap ibunya erat-erat dengan airmata yang melimpah ruah bermunculan bak sungai mengalir.
"Ibu merindukanmu," parau Lita membenamkan wajahnya di dada Gara. Hatinya berkecamuk senang, tidak menyangka bahwa hari yang telah ia tunggu-tunggu akhirnya datang.
"Ibu...," panggil Gara tak kalah paraunya.
Ibunya... menunggu Gara selama enam tahun penuh.
Ibunya... tetap peduli kepada Gara.
Kata-kata yang akan diucapkan Gara tercekat di dalam tenggorokannya. Yang bisa ia lakukan adalah dengan mengeratkan pelukannya.
"Ibu merindukanmu, sayang... sangat-sangat rindu...," Lita kembali membelai wajah Gara yakin kini tampak basah karena airmata.
Perlahan, Gara membuka matanya. Baik Gara maupun Lita, pandangan keduanya sama-sama mengabur. Tidak bisa melihat dengan jelas wajah satu sama lain lagi.
"Maafkan aku, bu..."
"Tidak, tidak. Ibu yang seharusnya meminta maaf kepadamu. Ibu telah membuatmu kecewa... ibu..."
Gara mengeratkan pelukannya, tak sampai hati mendengarkan racauan ibunya lagi.
Kini, wajah Lita sudah memiliki kerutan karena termakan usia, berbeda dengan enam tahun lalu. Rambutnya perlahan memutih. Kulitnya sedikit mengendur.
Gara merasa hatinya tercubit.
Ia benar-benar menyesali tindakannya dulu.
Dia benar-benar mengutamakan ego, hingga melupakan segala hal di dalam hidupnya.
"Jangan pergi," lirih Lita mencoba menghentikan isak tangisnya.
Gara mengusap wajah Lita dengan sayang, membersihkan pipi itu untuk menyingkirkan airmata di atasnya. Lalu mengecup keningnya dalam.
"Aku merindukanmu, ibu," bisik Gara tepat di depan telinga Lita.
"Jangan pergi..."
"Maafkan aku," ungkap Gara lalu mengambil napas dalam-dalam, mencoba menghentikan aliran airmatanya.
Lita melepaskan pelukannya lalu sedikit memberi jarak diantara mereka. "Ibu sangat merindukanmu, sayang... jangan pergi lagi..."
Gara menarik napas dalam-dalam lagi, lalu mengusap airmata Lita. "Jangan menangis..."
Lita menggeleng lalu melengkungkan senyumnya. "Ibu tidak menangis."
"Jangan menangis, ibu..."
Lita menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan kembali emosinya. "Ibu bahagia," ungkapnya.
Gara tersenyum lalu memeluk Lita lagi. "Aku juga sangat bahagia."
Seakan menyadari sesuatu, Lita melepaskan pelukan mereka dan berucap dengan nada serak khas orang yang habis menangis. "Ayo masuk, ayo masuk."
Gara tersenyum dan mengangguk. "iya."
Dengan begitu, kedua orang berbeda usia dan generasi itu kini memasuki area rumah megah peninggalan Tuan Rahadi.
Gara menghirup udara sebanyak mungkin untuk memenuhi setiap ruang di dalam paru-parunya agar tidak lagi merasa sesak.
Gara merangkul Lita, mendekapnya dari samping dengan senyum yang sangat merekah.
"Ibu merindukanmu," gumam Lita tak henti-hentinya.
Gara terkekeh dan mengelus punggung Lita dengan sayang. Tangan kanan Gara masih senantiasa menyeret koper warna hitamnya.
Akan tetapi...
Seakan melupakan suasana haru sebelumnya, senyum Gara tiba-tiba memudar. Langkahnya terhenti. Matanya menampilkan kebingungan yang nyata.
Gara melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.
Di depan sana...
Anggita, mantan istrinya, kini tengah memeluk lengan Ronald dengan sayang di teras depan rumah.
Sedangkan anak bernama Anggarita... anak itu berada digendongan Ronald.
Mereka bertiga tengah tertawa bersama.
Mereka bertiga... terlihat sangat bahagia.
Apa hubungan Anggita dan Ronald, adiknya?
Mengapa mereka dapat berbuat seintim itu?
Ronald... adiknya?
Anggita... mantan istrinya?
Diam-diam, Gara mengeratkan pegangannya pada koper miliknya.
Apalagi ini?!
BERSAMBUNG