Bab 4 Semua akan Baik-baik Saja
Bab 4 Semua akan Baik-baik Saja
Stella terus menatapi wajah Gara dari samping dalam jangka waktu yang lama. Perlahan, kedua sudut bibirnya terangkat samar-samar demi menatapi seraut wajah tampan di sampingnya ini. Hidung mancung, garis rahang yang tegas, alis tebal, bulu mata yang terlihat sedikit lentik, semua itu... membuat hati Stella merasakan desiran samar menyenangkan.
Gara menoleh, menatap Stella di sisinya juga, seraya menjawab dengan senyum yang mengembang sirat akan kehangatan. "Aku hanya sedang merindukan keluargaku."
Stella terdiam untuk beberapa saat, tidak tahu harus menjawabnya bagaimana. Terlebih, selama enam tahun dirinya mengenal Gara, pria itu tidak pernah mengatakan apa pun perihal keluarganya.
Setelah menimang-nimang suatu hal, kini Stella dengan berani berujar, "Mengapa kamu tidak mengambil cuti saja dan pulang ke Indonesia?"
Gara terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu seperti itu, aku hanya tiba-tiba merindukan keluargaku."
Setelah mengucapkan hal itu, Gara kembali mengalihkan pandangannya dari Stella, menuju hamparan alam di depan sana.
Gara tidak ingin Stella menangkap binar di dalam matanya, jika Gara ingin sekali mengambil cuti dan bertemu dengan keluarganya.
"Kenapa kamu tidak ingin mengambil cuti? Bukankah satu-satunya obat untuk mengatasi masalah itu adalah dengan pulang dan menemui keluargamu, Gara? Kamu sudah enam tahun tidak menemui mereka, bagaimana mungkin kamu bisa melakukan itu?"
Gara terdiam, merasa tersudut akan ucapan Stella. Gara tahu bahwa dirinya telah melewati batas dengan bersembunyi selama enam tahun penuh dari semua kerabat ataupun keluarganya.
Setelah sidang perceraiannya selesai, Gara diam-diam mengemasi pakaiannya dan langsung pergi ke bandara. Saat itu, perasaan Gara sedang kacau. Terlalu banyak beban di atas pundaknya membuat Gara berani berbuat nekad untuk memilih pergi.
Gara kecewa.
Gara merasa dipermainkan.
Ia bukan anak kandung Ayahnya.
Anggita meminta bercerai.
Anggita menggugurkan kandungannya.
Gara kehilangan bayinya dan juga hatinya di saat bersamaan.
Karena hal itu pula, Gara berpikir bahwa ia memerlukan waktu demi mengobati semua luka di dalam hatinya. Dan dengan begitu, kehidupannya mengalir pada titik ini.
Gara mendesah, "Nona St--"
"Stella! Kita sudah bersepakat untuk meniadakan panggilan 'Nona' yang selalu kamu sematkan di depan namaku!" Peringat Stella dengan bibir mengerucut dalam.
Stella sangat tidak suka jika Gara memanggilnya dengan sebutan 'Nona'. Ia merasa, setiap Gara memanggilnya demikian, Mereka berdua seperti dihalangi oleh sebuah sekat yang memisahkan keduanya. Stella merasa... Gara dan dirinya memiliki batasan.
Entah mengapa, setiap kali Gara memanggilnya 'Nona', Stella selalu merasakan adanya kekesalan di dalam dirinya, seperti... ada suatu hal yang mengganjal di hatinya.
Padahal, keinginan Stella hanyalah satu, ia tidak ingin berjarak dengan Gara. Itu saja.
Gara terkekeh melihat bibir mengerucut itu. Ingin sekali rasanya mengusap surai panjang kecokelatan milik Stella. Namun, Gara menahan keinginannya itu. "Baiklah, baiklah. Stella... aku akan memanggilmu Stella."
Melihat Gara terkekeh, Stella kontan menatap Gara. Senyum itu...
Deg...
Deg...
Deg...
Hatinya berdebar.
Stella... jatuh, lagi.
Melihat Stella tak bereaksi namun pandangan matanya menyorot Gara dengan tatapan yang Gara sendiri tidak mengerti, Gara mengernyitkan dahinya, kebingungan.
"Stella," panggil Gara lembut dengan tangan yang melambai-lambai di depan wajah Stella.
Stella tergeragap dan batuk beberapa kali lalu matanya bergerak gelisah ke sana ke mari seolah sedang mencari sesuatu. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Stella mendadak menjadi gugup.
"Stella," ulang Gara mendekatkan langkahnya kepada perempuan itu.
Stella merasakan lututnya melemas ketika jarak diantara dirinya dan Gara semakin menipis. Dengan begitu, Stella memilih berbalik dan duduk di salah satu kursi seraya berkata, "Kakiku pegal. Gara, duduklah." Tunjuk Stella pada kursi di depannya.
Gara mengangguk menuruti ucapan Stella, ia duduk di hadapan perempuan berparas cantik itu tanpa banyak membantah.
Dalam jangka waktu itu, Stella berusaha menstabilkan kembali raut wajahnya dan cepat-cepat mengusir warna kemerahan yang Stella yakini telah merambati pipinya semenjak melihat kekehan kecil Gara. "Gara, ambillah masa cutimu," ucap Stella setelah melihat Gara duduk dengan nyaman.
Gara mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan, hendak menolak gagasan itu lagi. "Masih banyak hal yang harus aku kerjakan di sini. Bagaimana mungkin aku bisa mengambil cuti? Belakangan ini ekspor buah melon sedang tinggi, 'kan? Aku harus bekerja lebih keras lagi untuk menanam buah melon."
Stella menjawab dengan yakin seraya pindah dari tempat duduknya ke sisi Gara. "Ambillah masa cutimu, kamu sudah terlalu bekerja keras semenjak enam tahun terakhir. Ambil cuti sejenak untuk menyegarkan pikiranmu. Tidak ada kerugian yang akan terjadi hanya karena aku mengizinkanmu mengambil cuti."
Suara itu menguar di udara lalu terbang bersama angin menyampaikan bisik-bisik lembut di telinga Gara.
"Apakah tak apa?" Tanya Gara penuh keragu-raguan. Bukan ragu untuk mengambil cuti itu, tapi Gara merasa ragu untuk kembali masuk ke dalam lingkaran kehidupan masa lalunya.
Stella tersenyum lalu menggenggam kedua tangan Gara yang pria itu letakkan di atas meja. "Tentu saja, kamu bisa mengambil cuti, Gara. Tidak perlu canggung seperti itu, aku merasa sangat senang jika kamu mengambil cuti ini. Kunjungilah keluargamu, habiskan waktu bersama mereka. Kamu sudah membuang waktu enam tahun tanpa pernah menyambangi mereka sekali pun."
Batin Gara merintih pedih setelah mendengarkan penuturan Stella. Gara baru menyadari bahwa ia telah abai akan kehidupan masa lalunya. Ia masih memiliki keluarga yang harus disambangi. Tapi, karena luka yang Gara terima, ia tiba-tiba melupakan kemelut kehidupan masa lalunya sampai kemudian ia bertemu Anggita tadi.
Gara tiba-tiba dapat melihat seraut wajah ibunya yang tampil di pelupuk mata. Nyatanya, perempuan itu bukanlah ibu kandung Gara. Akan tetapi, Gara tidak memedulikan tentang benang merah itu. Ibunya adalah ibunya. Akan selalu seperti itu.
Gara... merindukan ibunya. Satu-satunya orang yang mungkin masih peduli kepada dirinya.
Satu-satunya orang yang mungkin juga memendam rasa rindu untuk dirinya.
Gara mengerjap, ia baru menyadari apa yang dia lakukan sebenarnya salah. Ia tidak memberitahu ibunya perihal kepergiannya enam tahun silam.
Lalu... bagaimana kabar ibunya kini?
Gara tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam-dalam, hatinya tengah menangis pilu. Apakah ia telah mengambil jalan yang salah?
Stella merasakan bahwa tangan Gara yang ia pegang samar-samar bergetar. Akan tetapi, getaran itu semakin kentara dari waktu ke waktu.
Gara mengangkat wajahnya untuk beberapa saat, menatap Stella yang masih senantiasa melihatnya, dengan senyuman yang tak kunjung pudar. "Kalau begitu... aku akan mengambil cuti," final Gara seraya tersenyum lembut.
Namun...
Tidak...
Senyuman Stella mendadak memudar. Tatapan matanya tak pernah lepas untuk melihat Gara. Jari-jarinya meremas lebih erat tangan Gara.
Senyuman itu...
Senyum yang Stella tidak sukai. Senyuman yang ditampilkan Gara terlihat sangat canggung akan tetapi Gara tetap memaksakan senyuman itu agar sampai pada matanya.
Ini bukanlah senyuman yang Stella harapkan. Senyuman ini sirat akan duka dan... penyesalan?
Tanpa sadar, Stella mengelus tangan Gara. Stella tahu bahwa di dalam sana, Gara sedang tidak baik-baik saja. Bisa saja hatinya kini tengah bertarung dengan otaknya. Bisa saja mental Gara kini sedang tidak stabil.
Apakah ada sesuatu yang Stella tidak ketahui?
Mengapa reaksi Gara seperti ini?
"Gara..." panggil Stella tiba-tiba.
Gara menarik kembali senyumannya lalu menatap Stella dengan tatapan lembutnya. "Hm?"
"Semuanya akan baik-baik saja," gumam Stella sangat pelan lalu mengelus punggung tangan Gara dan bangkit dari kursinya, meninggalkan Gara begitu saja.
Gara terdiam, tidak tahu apa arti dari kata-kata Stella. Akan tetapi, setelah sekian lama, Gara tiba-tiba mulai meyakini apa yang diucapkan oleh Stella.
BERSAMBUNG