Bab 3 Sebuah Nama
Bab 3 Sebuah Nama
Gara mencoba untuk menetralkan kembali raut wajahnya lalu berjalan di sisi Stella dengan tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Di depan sana, Anggita juga merasa terkejut setengah mati ketika melihat sosok Gara yang tidak dilihatnya selama enam tahun belakangan ini.
Akan tetapi, Anggita segera mengatur kembali sikapnya dan berjalan menyongsong Stella dengan menggandeng anak kecil itu di sisi kanannya.
"Anggita," sapa Stella dengan aura kepemimpinan yang dimilikinya.
Anggita mengangguk menjawab sapaan Stella sebelum netranya menyapu sekilas sosok Gara lalu kembali lagi ke Stella. "Stella, bagaimana kabarmu?"
Stella tersenyum. "Aku baik. Bagaimanan denganmu?"
Anggita membalas seraya mengeratkan genggamannya pada tangan anak kecil itu. "Tak jauh berbeda denganmu."
Di sisi lain, Gara merasakan kecanggunan yang luar biasa dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Banyak macam pertanyaan yang secara tiba-tiba melintas dibenak Gara.
Mengapa dia ada di sini?
Apa sebenarnya hubungan Stella dan juga Anggita?
Kenapa mereka berdua terlihat sangat akrab?
Gara perlahan memundurkan dirinya untuk pergi dari sana. Ia tidak ingin melihat Anggita lagi. Ternyata, lukanya tak cukup kering selama enam tahun ini.
Gara tidak menyangka bahwa ia akan dipertemukan lagi dengan Anggita. Terlebih di dalam kondisi seperti ini.
Secara tidak sengaja, Gara mengalihkan tatapannya dari Anggita menuju anak kecil yang perempuan itu pegangi erat-erat.
Gara tersenyum kecut.
Jadi, Anggita telah menikah kembali dan memiliki anak?
Lalu... mengapa dulu Anggita memilih untuk menggugurkan anak mereka?
Apakah karena Anggita tidak lagi mencintainya dan juga telah memiliki pengganti Gara secara diam-diam waktu itu?
Entahlah, Gara tidak tahu menahu. Yang ia tahu, semuanya telah berakhir sejak enam tahun silam.
Gara memundurkan kembali kakinya, lalu melepas pandangannya dari anak kecil itu.
Tepat saat Gara hendak berbalik, lengannya dicekal secara tiba-tiba oleh Stella dan menariknya begitu saja, sehingga kini Gara kembali berdiri di sisi Stella.
Stella menatap Gara dengan senyuman yang menghiasi paras cantiknya, mengantarkan getaran lembut di hati Gara.
"Anggita, perkenalkan, ini salah satu pegawaiku, Anggara."
Di depan sana, Anggita refleks menatap sosok Gara lalu pandangan itu turun menatapi tangan Stella yang masih menggenggam lengan Gara.
Anggita tidak membalas ucapan Stella. Sebaliknya, ia kini mengeratkan gengamannya pada anak kecil di sisinya.
Sontak saja, anak kecil itu meringis kesakitan. Dengan begitu, kontan Stella mengalihkan tatapannya dari Anggita menuju anak kecil itu.
Senyum Stella kembali mengembang ketika berhadapan dengan seraut wajah mungil di depannya.
"Anggarita sudah besar, bagaimana kabarmu?" Tanya Stella sembari berjongkok demi menyamai tingginya dengan Anggarita.
Gara terkejut, dadanya berdentum dengan sangat kuat.
Apa?
Ang... Anggarita?
Bukankah itu...
Tiba-tiba, Gara memutar kembali memori yang sempat terbenam jauh di dalam otaknya.
.
'Gara... ayo kita mencari nama untuk anak kita,' ujar Anggita dengan senang setelah mengetahui bahwa dirinya tengah hamil.
Gara menunduk lalu membelai perut istrinya yang masih rata itu. 'Bukankah ini terlalu cepat? Bahkan kita tidak tahu anak kita memiliki jenis kelamin apa," balas Gara seraya mencium perut Anggita.
'Tidak ada salahnya untuk mencarikan nama. Untuk berjaga-jaga, bagaimana jika kita membuat dua nama saja? Satu untuk laki-laki, dan satu untuk perempuan?'
Gara terkekeh lalu menatap Anggita. Ia tahu bahwa Anggita kini sedang kepalang bahagia. Gara tak sampai hati untuk menolak permintaan perempuan itu.
'Itu terdengar lebih baik. Ayo kita mencari nama,' ujar Gara tak kalah semangat.
Dengan begitu, keduanya bergelut selama beberapa jam sebelum mendapatkan kesimpulan.
'Aku rasa tidak ada salahnya untuk menggunakan nama Anggada untuk pria, sedangkan Anggarita untuk perempuan. Bagaimana? Bukankah nama-nama itu terdengar indah?'
Gara menganggukkan kepalanya dengan senyum yang sangat lebar. 'Itu terdengar indah.'
Anggita bertepuk tangan karena rasa bahagianya yang kini telah mengembang di atas awan. 'Anggada dan Anggarita, nama yang bagus untuk anakku nantinya.'
.
Gara kembali sadar ke dalam dunia nyata kala suara renyah khas anak kecil terdengar malu-malu menerpa gendang telinganya. "A... aku baik~"
Stella kembali bangkit setelah menggosok-gosok gemas puncak kepala Anggarita dan bertanya kepada Anggita, "Anggarita akan masuk sekolah tak lama lagi, 'kan?"
Anggita mengangguk tanpa memedulikan kehadiran Gara. "Beberapa bulan lagi dia akan bersekolah."
Gara meremas jarinya kuat-kuat. Ada sesuatu hal di dalam dirinya yang merasa tidak terima jika anak di hadapannya ini diberi nama Anggarita.
Anggarita itu... nama calon bayinya, dulu.
Pun jika laki-laki, nama Anggada akan disematkan pada bayinya, juga.
Mengapa dari sekian banyak nama, Anggita menggunakan nama itu?!
Apakah dia sengaja menyematkan nama itu kepada anak kecil ini demi mengejeknya jika suatu hari bertemu dengan Gara?
Dan hari ini... semuanya nampak sangat jelas.
Anggita benar-benar perempuan yang tidak memiliki hati!
Gara mencoba melepaskan tangan Stella dari pergelangan tangannya lalu pergi begitu saja.
Sebelum Gara melewati Anggita, ia menyempatkan menatap Anggita dengan tatapan tajam yang dimilikinya sebelum melanjutkan langkahnya.
Anggarita...
Anggarita...
Mengapa?
Tanpa terasa, mata Gara perlahan memanas. Hatinya tercubit sakit kala memori itu kembali terulang.
Jika saja dulu hidupnya baik-baik saja mungkin kini Gara telah menjadi seorang Ayah.
Jika saja Tuhan berbaik hati kepadanya, mungkin hidupnya tidak akan sekacau ini.
Tes...
Airmatanya menetes.
Gara tiba-tiba merindukan calon bayinya, dulu.
Dia merasa gagal untuk menyelamatkan nyawa buah hatinya itu.
Setelah beberapa saat berjalan, Gara menghentikan langkahnya. Kini, ia berada di ujung rumah kaca berbentuk persegi.
Dalam diam, Gara menyeka airmatanya yang terus saja berjatuhan tanpa perlu meminta persetujuannya terlebih dahulu.
Enam tahun berlalu...
Mungkin jika anaknya hidup... dia berumur lima tahunan
Jika saja...
Karena, Gara tahu bahwa 'penjikaannya' hanya akan berakhir sia-sia.
Sebanyak apa pun Gara melantukan kalimat berawalan jika, semuanya tidak akan berarti.
Di dalam rumah berdinding kaca ini, Gara menyeka airmatanya lalu menarik napasnya dalam-dalam, Mencoba untuk mengusir rasa gundahnya dalam waktu yang cepat.
"Gara?"
Tubuh Gara menegang lalu berbalik demi menatapi kehadiran Stella yang hanya berjarak dua langkah darinya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Tanya Stella merasa bingung.
Jujur, Stella merasa ada yang janggal dengan sikap yang ditampilkan oleh Gara selepas bertemu dengan Anggita tadi.
Jika memang tidak ada yang janggal...
Lantas mengapa Gara tadi pergi begitu saja?
Gara menatap Stella lamat-lamat untuk waktu yang lama sebelum menjawab, "Aku hanya sedang memikirkan suatu hal."
Stella menghela napas.
Stella berjalan mendekat, berdiri di sisi Gara. Lalu menatap lurus ke depan, pada hijaunya alam yang membentang luas di depan sana.
"Sesuatu hal? Apa itu?" Tanya Stella seolah ingin mengetahui apa yang membuat Gara terlihat kacau sejak beberapa saat yang lalu.
Gara tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia kini membalikkan tubuhnya dan memandang pada hijaunya alam, seperti yang Stella lakukan.
Stella menatap ke samping dan menemukan wajah Gara yang terlihat sedikit menegang entah karena apa. "Kenapa kau menampilkan raut wajah seperti itu? Kau terlihat seperti baru saja melihat hantu."
BERSAMBUNG