Bab 9
Sekolah mulai sepi, tetapi, ketiga orang kakak-beradik itu masih berdiri di dekat gerbang. Sudah hampir lima belas menit, yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Mana siang ini panas banget lagi!
Tahu-tahu, sebuah mobil Honda Jazz berhenti tak jauh dari mereka. Ketika si pengemudi keluar, cewek yang berambut panjang mendecakkan lidahnya keras-keras, antara marah dan kecewa. Tadinya, dia kelihatan sumringah sewaktu melihat mobil itu datang.
"Kok, Pak Budiman yang jemput? Mami mana?" tanyanya.
Pak Budiman tersenyum. "Maaf, ya, Bapak jemputnya lama. Soalnya, ibu baru telepon kalau nggak bisa jemput."
"Tuh, kan! Mami kalo samaku pasti ingkar janji terus!"
"Ya udah, Pak, nggak apa-apa," kata Azka lalu masuk ke mobil.
"Lebay banget, deh. Kan, besok masih bisa," ucap Alani saat melewati Aluna.
Aluna memejamkan mata sebentar, berusaha meredam emosinya yang ingin meledak. "Kenapa sih, kalo sama gue, Mami tuh ingkar janji terus! Coba aja kalo sama dia. Emangnya, anaknya cuma satu apa?" lanjutnya lagi, agak penuh penekanan supaya seseorang mengerti maksudnya.
"Udahlah, Lun! Sumpah, ya, lo kayak anak kecil tau nggak?! Dikit-dikit, ngambek!" bentak Alani.
Aluna kontan terdiam, nggak mengira kalau Alani akan membentaknya, di depan Azka dan Pak Budiman pula.
"Emang nyatanya gitu, kok."
"Iya, terserah lo, deh."
"Iyalah terserah gue, masa terserah lo."
Alani memutar bola matanya dan memilih diam. Kadang-kadang, Alani merasa miris dengan sifat kembarannya itu. Aluna berubah sejak mereka masuk SMA. Dan satu-satunya alasan kenapa, adalah dirinya.
Pernah, suatu hari, Alani mempertanyakan sebab Aluna mulai menjaga jarak dengannya. Dan dengan suara lantang, Aluna mengatakan semuanya.
Alani ingat bagaimana tatapan kakaknya itu menghujam jantungnya, juga semua kata yang keluar dari mulutnya.
"Dari dulu, gue tuh selalu dibanding-bandingkan sama lo. Lo pinter lah, terus dapat juara lah. Sementara gue, cuma cewek bodoh, yang nggak pernah dapet juara sama sekali. Teman-teman gue semuanya pada muji lo. Kan, dari awal gue udah bilang sama lo, kita nggak usah satu sekolah!"
"Tapi, kita sama ... Lun. Lo cuma kurang belajar aja, kok." Alani mengatakannya dengan sungguh-sungguh, namun, Aluna dengan cepat membantah.
"Mami juga gitu! Dikit-dikit gue disuruh pinter kayak lo. Disuruh jadi anak yang patuh kayak lo. Emangnya gue kenapa? Sakit hati tau nggak dengarnya?!"
"Lo iri sama gue yang sakit-sakitan? Kenapa lo nggak bersyukur, sih, Lun?"
Saat pertanyaan itu terlontar, entah mengapa bibir Aluna terkatup rapat.
"Tuhan itu adil, Lun. Lo punya apa yang nggak gue punya, gitu juga sebaliknya."
Alani memang berbeda. Sejak kecil, dia sering sakit-sakitan. Badannya kecil, dan dia selalu tampak pucat. Dibandingkan dengan Aluna, cewek satu itu lebih aktif dan ekspresif.
Meski terlihat sama, nyatanya ... mereka dua sosok yang berbeda.
Alani menyayangkan hal itu, baginya ... Aluna terlalu berlebihan.
***
Nacil baru satu menit tiba di rumah, tapi Anye, adiknya yang menurutnya paling kepo itu, langsung memberondongnya dengan pertanyaan seputar gosip yang beredar tentang murid sekolahnya yang ketahuan hamil di luar nikah. Berita buruk memang cepat menyebar.
"Jadi, emang iya?" tanya cewek berambut ikal sebahu itu sambil terus mengekori kemanapun Nacil pergi.
"Kamu tahu dari mana?" Gantian Nacil yang bertanya.
"Yang jelas, gosipnya udah kesebar ke mana-mana! Tahun kemarin, adik kelas kalian juga, kan, yang di- DO gara-gara hamil?"
Nacil membuka lemari es, mengambil sebotol air dingin dan meneguknya perlahan sampai setengahnya. "Tau tuh, malu-maluin aja," katanya.
"Kayaknya gue nggak jadi deh masuk ke sana. Namanya udah jelek."
Nacil menutup lemari es lalu berjalan menuju ruang duduk. Anye masih juga mengikutinya.
"Yang salah bukan sekolahnya, tapi orangnya," ujar Nacil sembari duduk bersandar di sofa panjang yang menghadap televisi.
"Iya, sih."
"Bunda mana?"
"Ada tuh, di salon."
"Kak Bintang?"
"Nggak tau, gue kan juga baru pulang sekolah."
Nacil kemudian bangkit dan pergi ke kamarnya. Setibanya di sana, langsung saja dia membaringkan badan ke kasur empuk kesayangannya tanpa mengganti seragam sekolahnya lebih dulu.
Kamar Nacil cukup besar untuk dihuninya seorang diri. Hampir semua sudut dan barang-barangnya didominasi warna merah muda dan hijau daun. Lemari yang ada di samping tidurnya adalah tempat sakral semua buku bacaannya. Nacil juga menghiasi lemari itu dengan lampu-lampu kecil yang membuat buku-buku di rak-nya jadi kelihatan istimewa dan cantik, terlebih waktu malam hari. Semua buku itu dia susun sesuai abjad. Dan Nacil nggak pernah membiarkan sedikit pun debu menempel di buku-bukunya. Jangan harap!
Selain lemari bukunya, Nacil juga mendekorasi dinding kosong di samping meja belajarnya. Dinding itu ditempelinya dengan gambar-gambar tokoh kartun animasi dan dongeng yang didapatnya dari internet. Mulai dari gambar karakter Rapunzel si rambut ajaib, Putri Salju, Cinderella, dan lain-lain. Ada juga tokoh-tokoh hewan dalam cerita dongeng kesukaannya, Si Kancil dan kawan-kawan.
Nacil merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya bernama Bintang Samudera, berumur 23 tahun dan baru menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Sementara, Anyelir Gianisa, adiknya yang tadi itu, masih duduk di bangku SMP kelas sembilan. Bundanya seorang single parent dikarenakan ayahnya meninggal tujuh tahun yang lalu akibat penyakit ginjal akut.
Meskipun begitu, Nacil nggak pernah merasa kekurangan apa pun. Nacil bahagia hidup berempat di rumah ini.
Bunda memang cerewet, tapi penuh perhatian. Kak Bintang nyebelin, tapi nggak pelit. Dan Anye, meskipun sering bikin kesal, tapi bisa dijadikan teman curhat sampai berjam-jam. Ah, Nacil beruntung banget deh pokoknya. Nikmat Tuhan memang nggak bisa didustai.
Nacil memeluk boneka Doraemon besar yang dibelikan Dikta satu bulan lalu untuknya. Tak lama kemudian, matanya terpejam. Nacil pun terlelap, ditemani semilir angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela kayu yang terbuka lebar.
***
Dikta hendak ke dapur sewaktu telepon rumah yang dilewatinya berdering. Samar-samar, ia mendengar seruan mamanya untuk mengangkat telepon tersebut.
"Halo?"
"Ini siapa?" sahut orang di seberang sana.
"Saya Dikta... cari siapa ya... Om?"
Kemudian hening sesaat.
"Kamu anak pertama?"
Dikta menggaruk-garuk pelipisnya, bingung. "Iya."
"Benar kamu lahir tanggal 17 Januari 2001?"
Ini siapa, ya? Dikta mulai penasaran.
"Iya, benar. Maaf, tapi ini siapa, ya?"
Telepon tahu-tahu terputus. Dikta mendesah dan meletakkan gagang telepon pada tempatnya.
"Siapa sih, nggak jelas banget," gerutunya.
"Siapa yang nelepon, Mas?" tanya Mama seraya berjalan mendekat.
"Nggak tau, Ma. Masa dia malah nanyain Dikta."
Miranda tercenung, teringat pada telepon misterius tadi pagi. "D-dia nanya apa?"
"'Kamu anak pertama?' terus, dia kok tau ya, tanggal lahir Dikta?"
Miranda mendengus. "Mama juga nggak tau siapa. Tadi pagi ada yang juga yang nelepon nanyain tentang kamu gitu."
"Hmmm, siapa ya, Ma?" tanya Dikta penasaran.
"Ya udahlah, Mas. Mungkin orang iseng."
"Iya, kali, Ma." Dikta kemudian beranjak menuju dapur, tak mau ambil pusing dengan telepon dari orang tak dikenal tersebut.