Pustaka
Bahasa Indonesia

Hujan Bintang

32.0K · Tamat
Pandanello
29
Bab
3.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Kisah remaja yang manis, tentang dua anak lelaki yang tertukar.

RomansaSweetPernikahanKeluarga

Bab. 1

17 Januari 2001

Senja itu, rupa langit amat elok. Sejauh mata memandang, tampak awan berarak kemerahan di bawah garis cakrawala, menandakan Sang Mentari hendak kembali ke peraduan.

Semilir angin berembus, menggugurkan ratusan daun kering dari pohon besar yang ada di taman Rumah Sakit Kasih Bunda. Mereka berjatuhan di atas rumput, sebagian diempas angin hingga kembali ke udara, terbang ke sana kemari.

Tahu-tahu, terdengar suara tangis bayi yang baru lahir dari kamar bersalin yang letaknya tak jauh dari pohon. Satu menit kemudian, tangisan bayi lain menyusul. Dua anak laki-laki telah lahir ke dunia dengan selamat.

Di luar, langit mulai gelap, menyisakan keindahan tak terbantahkan di ufuk barat. Begitu indah alam semesta menyambut kelahiran dua anak manusia.

Tangisan bayi-bayi mungil itu pecah, menembus sampai ke luar, membuat sekumpulan orang yang menunggu di sana tersenyum lega. Kebahagiaan pun mendominasi wajah mereka.

Kedua bayi itu dibaringkan di tempat yang sama. Sepintas, mereka tampak mirip ; rambut hitam lebat dan bibir mungil yang merah. Suara tangisan mereka tak kunjung berhenti, membuat siapa yang mendengarnya merasa iba.

"Sebentar, ya, Bu," seru salah seorang bidan yang membantu persalinan, sementara rekannya beranjak menghampiri wanita di sebelah kirinya lalu menutup tirai pembatas.

Di sudut kamar, dua perawat sedang sibuk memandikan kedua bayi itu. Salah satu dari mereka lebih dulu beranjak menuju tempat tidur untuk membedong bayi yang baru dimandikannya.

"Sabar, ya, Sayang, cup-cup-cup," katanya lembut pada si bayi yang masih menangis. Ia lalu mengambil sehelai kain bedong di meja dengan terburu-buru hingga menjatuhkan sesuatu. Tampaknya ia tidak menyadari itu, karena ia langsung mengambil gelang di pinggir meja dan memasangnya pada pergelangan tangan si bayi. Ia membaca tulisan di gelang itu sebentar lalu mulai membedong. Setelahnya, ia lalu membawa bayi itu ke luar.

"Suami Ibu Miranda?" serunya pada kumpulan orang yang ada di sana. Wajah-wajah mereka dihiasi senyum kebahagiaan. Seorang pria berkemeja biru langit menyahut seraya mendekat.

"Saya, Sus," katanya.

"Ini bayinya, nanti kalau sudah diazankan, bilang, ya, biar dikasih ke ibunya," ujar perawat berkerudung putih tersebut.

"Oh, iya, Sus." Pria itu menggendong anaknya dengan hati-hati. "Anak Papa ...," katanya penuh sayang.

"Cucu Opa ...."

"Eeeh, ini cucunya Oma ...."

"Gantengnya ponakan Tanteee ...."

"Waaah, gantengnya kaya Om, nih...."

Suara-suara itu sontak terdengar, sahut menyahut disertai derai tawa. Satu keluarga itu terlihat sangat menanti-nanti kelahiran si bayi.

Pada waktu yang sama, di dalam kamar bersalin, perawat lain tampak sedang mencari-cari sesuatu di atas meja.

"Nyari apa, Rani?" tanya seseorang dari ambang pintu.

"Nyari gelang nama, Lin. Tadi gelangnya aku taruh di sini," jawabnya sambil memeriksa laci meja.

Perempuan yang bertanya tadi ber-oh kecil lalu ikut mencari. "Ini, ya?" tanyanya sambil menunjukkan gelang di genggamannya. Ia membaca tulisan di sana tapi tidak menyuarakannya.

"Iya, dapat di mana?"

"Itu di kolong. Sini, aku aja yang bedong. Aduh, ganteng banget. Hidungnya mancung sekalii." Seketika, perawat muda bernama Lina itu heboh.

"Kebetulan banget. Rani juga mau shalat, nih." Rani tersenyum lantas berlalu meninggalkan ruangan.

"Sabar, ya, Sayang, ya," ujar Lina dengan lemah lembut. Bayi laki-laki itu mulai tenang, sesekali ia menangis pelan, membuat yang mendengar merasa iba. Kecuali, wanita bernama Tara yang terbaring lemah di tempat tidurnya.

"Bu Tara yang mana, ya, Kak Dila?" tanya Lina pada Bidan berambut ikal yang sedang mencuci tangan di wastafel.

"Itu, yang di sebelah kiri," jawabnya tanpa menoleh.

Lina mengangguk lantas membawa bayi di gendongannya ke tempat tidur yang merapat ke dinding.

"Suaminya mana, Bu?" tanya Lina pada wanita berkulit putih pucat di depannya.

"Masih di jalan. Kapan saya pindah ke kamar rawat?" Wanita itu menjawab dengan mimik angkuh.

"Dua jam lagi, Bu. Ini, bayinya dikasih ASI dulu, ya." Lina mengangsurkan bayi di tangannya ke hadapan wanita itu, namun tidak ditanggapi dengan baik. Ia tampak kesal saat menerimanya.

Lina menoleh ke samping, pada wanita bernama Miranda yang keheranan melihat sikap wanita itu. Mereka saling tanya lewat tatapan.

"Kasih susu formula aja. Saya nggak menyusui," ujar Tara kemudian.

"Kenapa, Bu?"

Tara membuang napas dengan kentara dan berkata, "Udah, kasih susu formula aja. Kan, nggak kenapa-kenapa. Saya capek, mau tidur."

Lina mengangguk patuh tanpa bertanya lebih lanjut. Tetapi, saat ia hendak beranjak, Miranda menahannya.

"Kalau saya yang kasih ASI-nya, boleh? Kasihan anaknya nggak berhenti nangis," ucapnya sambil menoleh menatap Tara.

"Tanya sama Ibu Tara aja, ya, Bu. Saya permisi dulu." Lina pun bergegas.

Satu menit berlalu, Tara belum juga mau menyusui bayi di pangkuannya. Ia malah berkali-kali berdecak kesal dan terlihat gelisah. Miranda jadi tak sabar, ia akhirnya membuka suara setelah meyakinkan diri kalau tidak akan ada penolakan.

"Mbak, kok anaknya nggak disusuin? Kasihan, nangis terus."

Tara menoleh menatapnya. "Sengaja. Saya mau jaga badan."

Oh. Miranda menggangguk maklum. "Saya boleh nyusuin, nggak?" ujarnya lagi.

Tara nampak sedikit kaget. Lama ia memandangi wajah bayi di dekapannya. Sedikit perasaan tak rela menyergapnya. "Oke," putusnya beberapa saat kemudian.

"Sus?" Miranda memanggil Lina yang baru saja tiba sambil membawa sebotol susu.

"Iya, kenapa, Bu?"

"Tolong bawa bayi Mbak itu ke sini, ya. Mau saya susuin," kata Miranda seraya tersenyum.

Lina menoleh menatap Tara yang merespon dengan anggukan kecil. Ia lalu menggendong bayi mungil itu dan memberikannya pada Miranda.

Seketika, tangisan bayi itu reda, membuat ruangan menjadi sunyi. Ah, entah kenapa Miranda seperti sedang memeluk bayinya sendiri. Mirip siapa, ya, wajah anaknya? Apa hidungnya juga semancung ini? Tadi, ia hanya sempat melihat bayinya sebentar waktu baru dilahirkan.

"Sayang, mimik dulu, ya," katanya lembut.

Di tempatnya, Tara memandangi keduanya dengan pandangan iri. Kalau saja ia tidak peduli dengan karirnya sebagai model, mungkin ia sudah menyusui sekarang. Ah, tapi sudah lah, anak pertamanya juga tidak ia susui, kok. Dan lagi, anaknya itu tumbuh sehat tanpa ASI-nya.

Lima menit kemudian, seorang pria berperawakan sedang masuk ke kamar dan menghampiri Miranda. Ia terkejut melihat istrinya sedang menyusui bayi lain.

"Nda, ini anak siapa?" tanyanya.

"Anaknya Mbak ini, Mas," jawab Miranda dan menunjuk Tara dengan cara memandangnya.

"Kenapa kamu yang nyusuin?"

"Iya, soalnya... Mbak ini nggak menyusui, Mas. Loh, anak kita mana, Mas?"

Laki-laki itu tersenyum. "Sabar, ya, lagi jadi rebutan di luar."

"Ya ampun." Miranda malah terkekeh mendengarnya. Bisa ia bayangkan kehebohan keluarga besar mereka di luar sana.

"Datang semuanya, Mas?" tanyanya, menerka-nerka siapa saja yang datang untuk menyambut kelahiran anak pertamanya.

"Iya, Tante sama Om yang di Singapura juga datang untuk ngelihat ponakan barunya."

Lagi-lagi Miranda terkekeh, bahkan keluarga mereka rela datang jauh-jauh cuma untuk melihat anaknya.

"Oh, iya, Mas udah kasih nama buat anak kita," cetus suaminya kemudian.

Miranda membelai pelan puncak kepala bayi di pelukannya lalu berkata, "Apa, Mas?"

"Radikta Galih Sujaya."

"Bagus namanya," seru Tara tiba-tiba, membuat sepasang suami istri itu tersenyum.

"Mbak sendiri, udah punya nama untuk si kecil?" tanya Miranda.

Tara menggangguk, ia menatap bayi di pelukan Miranda lekat-lekat. "Azka Diano Antara."

***