Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Hari ini, Dikta berulang tahun yang kelima belas. Tapi, karena kecelakaan tadi pagi, Dikta terpaksa merayakannya di Rumah Sakit. Meskipun begitu, dia tetap bersyukur karena Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk tetap hidup. Ah, Dikta benar-benar nggak mau mati muda. Apalagi harus meninggalkan keluarga tersayangnya. Makasih, Tuhan. Dikta nggak berhentinya bersyukur.

Dikta menoleh ke samping kirinya, tempat seorang anak laki-laki seumurannya yang juga tengah berbaring. Kepalanya diperban, sementara satu tangannya di-gips. Wajahnya terdapat bekas-bekas luka yang sudah kering. Dikta yakin kalau anak itu juga kecelakaan, sama sepertinya. Kapan tepatnya, Dikta nggak tahu, karena saat dia dibawa ke kamar ini, anak itu sudah ada.

Anak laki-laki berambut hitam lebat yang semrawut itu sepertinya sadar sedang diamati, karena dia langsung menoleh menatap Dikta. Sesaat, mereka saling pandang, sampai pintu terbuka dan segerombolan orang masuk, barulah kontak mata mereka terputus. Dikta lebih dulu mengalihkan pandangan, lalu tersenyum ketika tahu yang datang adalah keluarganya.

"Mas Diktaaa! Ya ampun, itu muka apa martabak kacang keinjek? Hancur banget! Hihihi," seru Tea, adik perempuannya yang masih kelas 2 SMP. Gelak tawa mengalir begitu saja dari Dikta ketika mendengarnya. Dia mengulurkan tangan kanannya untuk menjitak kepala Tea, tapi gadis berjilbab merah muda itu langsung mengelak sambil cekikikan.

"Eh, Mas, motor kita gimana? Yang lecet bagian mana? Makanya, Mas, kalo bawa motor tuh hati-hati, kan kasihan motornya!" Giliran Yoga yang nyeletuk. Anak kecil yang masih kelas empat SD itu memang suka asal ngomong. Belum lagi gaya bicaranya yang sok kayak orang dewasa. Tea paling sebal lihatnya.

"Maaa ...." Dikta merengek manja pada mamanya yang cuma berdiri diam, menatapnya dengan mata sembab. "Mama habis nangis, ya, Dek?" tanya Dikta pada Tea.

"Udah tahu ngapain nanya lagi, sih, Mas? Kayak nggak tahu Mama aja," jawab Tea sambil mengeluarkan buah apel dari kantong platik yang tadi dibawanya, lalu menaruhnya di keranjang dekat meja.

"Mama tuh ya, kalo Mas Dikta aja yang kenapa-kenapa, pasti heboh. Nangis mau sampe berjam-jam. Coba Yoga, ditanyain aja enggak!" seru Yoga dengan muka cemberut.

"Ah, itu cuma perasaan kamu aja. Mama sayang kok sama kalian semua. Kan, semuanya anak Mama," ujar Papa mereka. Meskipun sudah tua, beliau masih terlihat tampan dan berkharisma. Sinar matanya memancarkan semangat hidup dan kepercayaan diri yang tinggi.

Yoga merengut. "Tuh, kan, Papa selalu belain Mama. Padahal, Yoga kan mirip banget sama Papa. Papa gimana, sih!"

"Idih, apa hubungannya mirip sama nggak?" kata Tea lagi.

"Haha, ngiri, ya? Makanya, ganteng dong kaya Mas," balas Dikta akhirnya.

"Apa hubungannya ganteng sama enggak?" Lagi-lagi, Tea bertanya.

"Haha, nggak ada, sih," jawab Dikta enteng. Dia membuka mulutnya sewaktu Tea menyodorkan satu potongan apel padanya.

"Eh, enak aja! Buka sendiri dooong, hihihi!" Serta merta, Tea menarik tangannya dan memakan potongan apel itu sendiri.

"Maaa..."

"Aduuuh, kalian kok pada jahat gini sih sama Mas. Udah sana ikut Papa pulang!" seru Mama akhirnya. Dia mengatakan itu dengan nada menghentak. Tapi, mereka semua tahu kalau Mama nggak benar-benar marah.

"Ya elah, Ma, bercanda kaliii. Apa sih yang nggak buat Mas Dikta. Hehehe." Tea nyengir lalu menjejalkan potongan apel ke mulut Dikta dengan paksa. Siap nggak siap, Dikta terpaksa memakannya.

"Wah, emang parah nih, punya adek nggak ada yang bener," kata Dikta sambil mengunyah. Tea dan Yoga cekikikan di balik punggung Mama.

Mama mencubit kecil pinggang Tea dan Yoga secara bergantian. "Ya ampuuun, nggak di rumah, nggak di sini, kalian berdua selalu aja cari gara-gara sama Mas! Tea, suapin yang bener!"

"Hehehe, sori, ya, Mas. Eh, iya, Mbak Nacil udah ke sini belum, Mas?"

Dikta menggeleng. "Mungkin entar, pas pulang sekolah. Emang katanya mau ke sini, ya?"

"Iya, katanya mau ngasih kejutan gitu."

Mendengar ucapan Tea, senyum tipis terbit di wajah Dikta. Seketika itu juga, dia langsung membayangkan sosok Nacil. Cewek itu berambut cokelat tua yang halus dan bergelombang sebatas punggung. Tapi, dia lebih suka mengikatnya jadi satu. Dia punya gigi kelinci dan senyum yang manis, juga alis mata yang rapi sejak dia kecil.

"Diktaaa!" seruan itu membuyarkan lamunan singkat Dikta. Dia menoleh ke pintu masuk, dua pasang anak remaja berseragam putih abu-abu muncul, satu di antara mereka menenteng kantung plastik besar. Dikta menyambut kedatangan teman-teman sekolahnya itu dengan senyum lebar.

"Woi, pada inget gue rupanya," katanya.

"Sebenarnya gue nggak mau datang, tapi dipaksa. Gue males lihat muka lo. Mana makin jelek lagi, haha, haha!" balas Dodit tapi sambil cengengesan.

"Emang—" Dikta nggak jadi ngomong waktu mamanya melihatnya, menunggu apa yang bakal dia bilang. Ah, kalo lagi ada Mama, nggak bisa ngomong yang jelek-jelek, pikirnya. "Pada bawa makanan nggak nih? Kalo nggak, pulang aja sana!" lanjutnya mengalihkan pembicaraan.

"Ya bawalah, Dikta. Tadi, kita semua patungan buat beli buah sama roti untuk kamu." Cewek berjilbab putih yang menjawab. Dia memberikan kantung plastik berisi buah dan roti itu pada Tea.

"Makasih, Lun.Pasti pada nggak ikhlas, kan?"

"Iyalah, pake nanya lagi!" cetus Beni, lalu mereka semua tertawa.

Sementara itu, anak laki-laki yang masih terbaring lemah di tempat tidur sebelah Dikta terlihat agak terganggu dengan kehadiran mereka. Dia hendak meraih ponselnya yang ada di meja tapi tidak bisa karena tangan kanannya di-gips. Suara decakan kesalnya ternyata didengar oleh seseorang.

"Tante bantu, ya. Mau ngambil ini, kan?"

Anak laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menemukan seraut wajah keibuan tersenyum ramah padanya. Satu tangannya yang memegang ponsel terulur. Agak canggung, dia mengambil ponsel tersebut.

"Makasih," ucapnya acuh tak acuh.

"Iya, namanya siapa?"

"Azka," sahutnya tanpa menoleh.

Wanita itu tersenyum lembut lagi. Meskipun ada kerutan halus di dekat matanya, dia masih terlihat cantik dan sehat.

"Nama Tante, Miranda, mamanya Dikta," ucapnya dan sekilas melirik Dikta yang lagi bercakap-cakap dengan papanya. "Kamu kenapa? Kecelakaan juga, ya?"

Azka mengalihkan fokusnya dari ponsel lalu menatap wanita di depannya dengan kening berkerut samar. "Iya, nabrak."

Miranda tampak terkejut, namun  dia kembali tersenyum."Aduh, kok bisa? Ngebut? Nabrak apa?"

Azka menaikkan sebelah alisnya, agak terganggu dengan pertanyaan yang menurutnya nggak penting itu. Baru saja dia mau menjawab, pintu terbuka dan menampilkan seorang cewek berkostum kelinci berwarna putih sambil membawa kue ulang tahun. Azka membuang napas kecewa, dia pikir yang datang keluarganya, ternyata bukan.

"Happy birthday!" teriak cewek itu heboh. Azka sampai meringis mendengarnya. Mereka sempat bertemu pandang, tapi cewek itu lebih dulu membuang muka.

"Aaaaa, lagi rameee! Mati aku!" katanya panik dan menutup kepalanya dengan kupluk kostum kelinci tersebut lalu cepat-cepat balik badan.

Dug. Gubrak.

Tahu-tahu, kepalanya terantuk pintu yang ditutupnya sendiri. Cewek itu jatuh telentang disertai tumpahan kue yang tadi dibawanya. Kontan, seisi ruangan tertawa, tak terkecuali Azka yang tanpa sadar mengamatinya.

"Aduuuh, kepalaku!" serunya sambil membuka kupluk yang dipakainya. Dia menengok ke sekumpulan orang di belakangnya lalu berdiri. "Haha, kuenya jatuh," ucapnya sambil menunjuk-nunjuk kue yang berceceran di lantai. "Haha, gimana nih?"

"Naciiil, lo ngapain pake gituan?" tanya Mae dan tertawa besar-besar.

"Cil, Cil, sakitnya sih nggak seberapa. Malunya itu loh," timpal Dodit.

Nacil malah cengar-cengir. "Kok Tea nggak bilang sih kalo lagi rame gini?" katanya, malu sendiri dengan penampilannya juga kejadian barusan.

Tea mendekat dan membantunya membersihkan kostumnya yang belepotan krim cokelat. "Ya elah, Mbak, pake malu segala. Kan, biasanya emang malu-maluin, hahaha!"

"Lagian lo ngapain coba pake kostum kelinci segala? Haha," ujar Dikta nggak habis pikir. Nacil nggak menjawab, dia cuma cengengesan.

"Mbak Nacil gimana sih, kan sayang tuh kuenyaaa," seru Yoga keras-keras.

"Jadi, lebih sayang kuenya niiih daripada Mbak?"

"Ya iyalah, pake nanya. Kue itu manis, kalo Mbak Nacil, kan, kecut! Hahaha."

"Haha, asem lu!"

Lagi-lagi, mereka semua tertawa, nggak peduli dengan Azka yang kini menatap mereka dengan tampang kesal.

"Oh, iya, hari ini Dikta ulang tahun, ya? Selamat, ya, Dikta!" Luna mengulurkan tangannya dan langsung dijabat Dikta.

"Makasih, Lun. Kadonya mana?"

Luna yang dikenal sebagai cewek polos dan gampang dibodohin itu tersenyum manis. "Dikta mau kado apa dari Luna?"

"Kasih duit aja, Lun. Goceng! Haha-haha," Dodit nimbrung.

"Emangnya Luna kayak lo, perhitungan," sahut Dikta, kalem.

"Haha-haha." Dodit cuma membalas dengan tawa khas-nya.

"Besok malam pada datang, ya, ke rumah. Tante buat acara syukuran buat Dikta," kata Miranda seraya mengusap kepala Dikta dengan penuh rasa sayang.

Dikta memasang wajah pura-pura kaget. "Mama buat syukuran karena Dikta jatuh, ya?"

"Ya enggaklah, Sayang. Ini syukuran yang kita bicarakan kemarin. Kan, kamu udah lima belas tahun."

"Bercanda, Ma, hehehe."

"Banyak makanannya, kan, Tante?" celetuk Dodit sambil nyengir jail.

"Tante, Dodit nggak usah diajak deh. Soalnya, orangnya nggak tahu malu," timpal Beni.

"Astaga... teman sendiri dijelek-jelekin," balas Dodit nggak habis pikir.

"Emang jelek, Dit. Gimana lagi," Dikta menambahi. Untuk kesekian kalinya, ruangan itu menghangat karena derai tawa.

"Ngelihat kalian semua, Om jadi pengen muda lagi."

"Iya, nih, Tante juga jadi kangen masa remaja. Kalian sekolah yang benar, ya. Jangan ngecewain orang tua. Terus, kalo cari teman, cari yang pergaulannya jelas. Jangan yang aneh-aneh."

Para remaja itu menjawab iya dengan kompak disertai tawa kecil.

"Aman, Tante. Kalo Dodit, nggak perlu diragukan lagi pergaulannya. Sama kayak tampang Dodit, nggak diragukan lagi kan, Tante? Haha-haha."

"Bang, di giginya ada cabe tuh!" seru Yoga tiba-tiba.

Tawa pun pecah lagi, kali ini jauh lebih rame, membuat Azka merasa makin terganggu.

"Permisi, wah ... lagi rame, ya?"

Semua mata langsung tertuju pada seorang perawat yang baru masuk. Ia membawa dua botol infus dan lebih dulu menghampiri Dikta.

"Ganti infus, ya, Kak?" tanya Nacil basa-basi.

"Kak ... Kak. Sok akrab lo badut!" kata Dikta dan tertawa kecil.

"Biarin. Napa sih, lo sakit-sakit gini masih bisa bawel, ya!" tukas Nacil rada sewot.

"Besok pagi udah boleh pulang, ya," ujar perawat itu sambil mengganti botol infus milik Dikta. Setelahnya, dia beranjak menuju tempat tidur Azka.

"Sus, pindahin saya ke kamar VIP," kata Azka dengan nada keras hingga membuat mereka yang mendengarnya terdiam.

"Loh, emangnya di sini kenapa?" tanya perawat muda itu bingung.

"Berisik," jawabnya ketus.

"Tapi, kata Dokter, kamu udah boleh pulang kok hari ini," kata perawat itu lagi dengan nada lembut.

"Saya nggak mau pulang. Saya masih mau nginep di sini."

Ucapan Azka barusan membuat semuanya keheranan. Tapi, nggak ada satu pun dari mereka yang berkomentar, kecuali perawat itu.

"Loh? Kenapa? Kan bagus kalo udah boleh pulang."

Azka mendecak kesal dengan kentara. "Saya nggak mau tahu, pokoknya saya mau pindah ke kamar VIP. Pasti dibayar kok. Saya ini anak orang kaya!"

Perkataan terakhirnya menimbulkan cibiran dari teman-teman Dikta. Nacil dan Tea juga bisik-bisik sambil melihat Azka dengan tatapan gimana gitu. Sombong! pikir mereka.

"Ya udah, tunggu sebentar, ya," Perawat tersebut menghela napas panjang lalu permisi.

Azka menoleh menatap wajah-wajah yang tengah memandanginya dengan takjub. "Ada apa?"

Mereka semua kembali ke obrolan yang tadi sempat terputus dan mengacuhkan pertanyaan Azka. Kecuali, Miranda. Diam-diam, dia mencuri pandang ke arah anak laki-laki itu. Ada perasaan sedih yang menyergapnya tanpa alasan.

Di mana keluarganya? Kenapa nggak ada satu pun yang datang menjenguknya? batinnya.

Sementara itu, Azka kembali mengecek ponselnya. Fix, nggak ada pesan ataupun panggilan dari orangtuanya. Namun, sewaktu dia mau mematikan ponselnya, satu pesan baru masuk.

Maaf, Sayang. Mami nggak bisa jemput kamu. Soalnya ada kerjaan yang harus diselesaikan. Papimu udah ke sana, kan?

Lagi? Azka benar-benar nggak habis pikir. Dia hampir mati tapi nggak ada yang peduli.

[Gak apa-apa. Azka nggak butuh kalian.]

Kalian yang dimaksud Azka adalah, mami dan papinya, kedua adik kembarnya, juga satu kakak laki-lakinya. Entah kenapa, Azka sering merasa kalau keluarganya itu bukan bagian dari dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel