Bab 3
Rumah Dikta dan Nacil, dipisahkan oleh jarak lima belas meter. Di antara rumah mereka, terdapat halaman luas yang dijadikan area bersama. Maksudnya, halaman itu diisi sebuah trampolin, sepasang ayunan kayu, lapangan basket mini, dan sebuah kursi panjang dekat kebun bunga milik Nacil, yang biasa mereka gunakan hampir setiap hari. Tempat itu bersih dan nyaman, sebagian halamannya dilapisi semen. Kadang kala, mereka lebih suka duduk sambil bercakap-cakap di sana. Apalagi bagian itu dilindungi pohon ceri yang rimbun.
Kamar Dikta ada di lantai bawah, kecil dan tidak ada kamar mandi di dalamnya. Beda dengan kamar milik Tea yang luas dan ber-AC. Meskipun sudah berkali-kali disuruh pindah ke kamar atas, Dikta terus saja menolak dengan berbagai alasan ; nggak enak, Yoga rese, terlalu besar entar repot beresinnya, dan sebagainya. Tapi, dia sendiri tahu pasti, kenapa dia mau bertahan di kamar ini.
Nacil.
Kamar cewek itu juga ada di lantai bawah. Jendela kamar mereka saling berhadapan. Dan, meskipun jaraknya agak jauh, Dikta masih bisa berkomunikasi dengan Nacil melalui bahasa tubuh, pandangan, dan pastinya teriakan--tapi mereka jarang melakukan yang satu itu karena takut mengganggu.
Dan dari kamarnya, Dikta bisa melihat sebagian isi kamar cewek itu. Warna dindingnya terkesan feminim dan manis, wallpaper merah muda lebih mendominasi. Di samping tempat tidurnya, ada lemari khusus untuk penyimpanan buku-bukunya.
Nacil suka banget baca buku, apalagi buku dongeng. Mungkin terdengar kekanakan, tapi begitulah kenyataannya. Nacil pernah berkata padanya dengan mata berbinar, kalau suatu hari, dia ingin jadi penulis buku anak-anak. Saat itu, Dikta cuma menanggapinya dengan candaan.
"Yang ada, anak-anak itu mimpi buruk habis baca buku yang lo buat, hahaha."
Tapi, bukannya tersinggung, Nacil cuma tertawa, menimbulkan sedikit getaran di hati Dikta.
Dulu, Nacil itu bocah kecil yang petakilan. Dia jorok dan suka main di siang bolong sampai kulitnya hitam dekil. Bahkan, saat itu Nacil melupakan dirinya kalau dia seorang perempuan. Dia memainkan semua permainan bersama teman laki-lakinya. Tak jarang Nacil habis dimarahi mamanya karena suka keluyuran siang bolong.
Namun, pada tahun terakhir mereka di SMP, ada perubahan yang terjadi pada Nacil yang baru disadari Dikta.
Nacil cantik. Apalagi sewaktu dia membiarkan rambutnya terurai. Cewek itu juga terlihat feminim sekali dengan bando dan rok yang belakangan sering dipakainya di rumah. Gaya bicaranya juga lambat laun berubah. Nacil jadi suka berdandan dan menghabiskan waktunya cuma untuk mempercantik diri. Kebetulan mamanya buka salon di rumah, jadi Nacil bisa puas memanjakan dirinya.
Ketika untuk kali pertama mereka mengenakan seragam SMA, Dikta menyadari mereka sudah beranjak dewasa. Diam-diam, Dikta menyimpan perasaan yang dia beri nama ... suka.
Hingga sampai hari ini, rasa suka itu masih ada. Tapi sayang, hatinya patah sebelum dia sempat mengungkapkan rasa.
"Mas, teman-temannya udah pada datang, tuh!" Tea berseru di ambang pintu kamarnya.
"Oh, oke." Dikta berhenti memperhatikan Nacil yang sedang bersandar di jendela kamarnya dan bergegas menuju ruang tamu. Di sana sudah banyak yang hadir, mereka menegur Dikta dan bergantian menanyakan keadaannya pasca kecelakaan kemarin.
"Gue udah sehat kok, gara-gara makan buah sama roti dari kalian yang nggak seberapa itu," katanya cengengesan.
"Ada ya, orang nggak tahu makasih kaya gini," cibir Dodit.
"Asal lo tahu ya, Ta. Gue tuh sampe nangis darah minta sumbangan buat lo di kelas." Mae menimpali.
"Tau nih, pake bilang nggak seberapa lagi. Itu juga syukur ada yang mau patungan."
Cibiran sahut menyahut, membuat ruangan itu menjadi hangat karena gelak tawa. Fokus Dikta beralih pada pintu yang baru terbuka, di sana ada Nacil dengan balutan kaus berwarna hitam dan celana jins biru. Mereka bertemu pandang dan saling melempar senyum.
Tahu-tahu, Nacil membuang muka dan memaku pandangannya pada seseorang. Dikta mengikuti ke mana mata indah itu pergi. Aditia Arkan.Teman satu kelasnya yang biasa dipanggil Adit. Cowok itu beranjak menghampiri Nacil. Di situ Dikta menangkap sesuatu dari cara Nacil berbicara. Entahlah, itu semacam ... salah tingkah?
"Mas, ada telepon nih dari Oma." Suara Mamanya membuatnya lupa sejenak dengan Nacil dan Adit yang bercakap-cakap di sana. Segera dia mengambil alih gagang telepon dan menyahut panggilan omanya.
"Baik kok, Oma. Iya, lain kali Dikta hati-hati. Tea lagi bantuin mama nyiapin makanan. Iya nih, Oma, lagi rame banget di rumah. Nggak semuanya sih, ada juga yang nggak datang." Selama beberapa menit, Dikta asyik mengobrol dengan omanya. Sampai saat matanya menangkap sosok Nacil dan Adit keluar bersama dari pintu rumahnya, dengan sangat terpaksa dia memutuskan pembicaraannya dengan omanya.
"Oma, entar kita sambung, ya? Iya, pokoknya aman deh. Oma tenang aja, hehe." Setelah telepon ditutup, Dikta bergegas keluar rumah. Dia memandang sekitaran halaman depan rumahnya tapi Nacil nggak ada.
"Ngapain, Ta?" tegur Dodit seraya menepuk pundaknya.
"Lihat Nacil sama Adit nggak?"
Dodit tertawa. "Mau ngapain lo? Mau gangguin orang itu pacaran?"
"Pacaran? Siapa yang pacaran?" Dikta menahan gejolak dalam dadanya, berharap Dodit salah bicara atau dia lagi bohong.
"Ya si Adit sama Nacil-lah. Oooh, lo belum tahu, ya. Kan waktu itu lo nggak masuk."
Dikta menggeleng tanpa berkomentar.
"Mereka baru jadian. Kemarin si Adit nembak Nacil gitu katanya di kelas. Sialan tuh si Adit, beruntung banget dia dapat Nacil. Udah cakep, lucu, manis lagi. Ye nggak?"
"Dodiiit, waktunya makan-makan. Masuk nggak, entar kehabisan looooh!" Teriakan itu terdengar sampai ke luar, membuat Dodit langsung masuk ke rumah dalam hitungan detik.
Sepeninggal Dodit, Dikta masih bergeming di teras rumahnya. Samar-samar dia mendengar suara Nacil dan Adit dari arah samping. Oh, ternyata mereka lagi duduk di trampolin sambil bersenda gurau.
"Besok Adit jemput lagi mau nggak?"
Nacil menggeleng cepat. "Nggak usah, Dit. Nacil perginya bareng Dikta aja. Kan, Dikta udah mulai masuk besok."
Adit tersenyum. "Ya udah deh, nggak apa-apa. Oya, Adit boleh nanya?"
"Nanya apa?"
"Nacil kok manis banget, sih?"
Nacil langsung memalingkan wajahnya karena malu. Dikta melihat senyum itu, Nacil tampak tersipu dan bahagia.
Malam itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, Dikta merasakan cemburu.
»»»»»«««««
"Ka, bagi duit, dong!"
Langkah Azka berhenti sewaktu mendengar Aluna menegurnya. Dia berbalik dan menatap adik perempuannya itu dengan malas.
"Emang duit lo ke mana? Bukannya kemarin kita semua udah ditransfer duit sama Mami?"
Aluna membuang napas, mendelik sebal dengan terang-terangan. "Udah habis. Cuma sejuta dapat apaan?"
"Lani mana?"
"Kok malah nanyain Lani, sih?" Aluna mendecak lalu merengut.
"Gue lagi nggak pegang duit."
"Ya udah kalo gitu, sini kartu ATM lo, biar gue yang ambil duitnya."
Azka terkekeh. "Lo pikir, gue bego mau ngasih lo gitu aja. Minta sama Mami jangan sama gue."
"Pelit banget sih lo!"
"Bodo amat. Kalian aja nggak peduli sama gue," ucap Azka sambil lalu. Bisa didengarnya cibiran Aluna serta kakinya yang menghentak-hentak lantai karena kesal.
Azka tiba di kamarnya yang super besar. Dia melempar jaketnya ke tempat tidur lalu berjalan naik ke mini stage. Kamar Azka memang dilengkapi dengan panggung kecil beserta alat musiknya. Di dekat tempat tidurnya, ada lemari kotak-kotak yang berisi buku-buku. Dan di depan tempat tidurnya, ada televisi besar yang menempel di dinding. Kamar itu dilapisi wallpaper hitam putih dan sebagian dindingnya ada kolase fotonya.
Sejak kecil, Azka menyukai fotografi. Apalagi waktu dia sering bepergian ke luar negeri bersama maminya. Azka menyukai potret alam. Segalanya tentang alam. Langit, lautan, pegunungan, musim yang berganti-ganti, dan semacamnya.
Azka pernah keliling Eropa, dan dia berhasil mengabadikan semua potret dirinya di sana. Azka juga mencintai buku, terutama buku-buku dongeng.
Dulu, semasa kecil, Azka sering dibelikan buku-buku cerita dongeng oleh asisten rumah tangga mereka yang biasa dipanggilnya 'ibu'. Dan Azka membacanya sendiri setiap malam menjelang tidur. Dia menyimpan semua buku-buku itu di lemari khusus, dan sesekali membacanya.
Selain itu, Azka juga menyukai musik. Baginya, musik adalah teman dalam sepinya. Sejak dia kecil kedua orangtuanya selalu sibuk bekerja. Mereka akan berkumpul hanya di waktu-waktu tertentu, semisal ketika mamanya sedang santai, juga saat papanya tidak sibuk.
Tetapi, sesibuk apapun kedua orangtuanya, mereka masih mengingat hari ulangtahunnya kok. Buktinya, mereka membelikan sebuah mobil untuk Azka.
Azka tidak tahu apakah itu wajar atau malah sebaliknya. Yang jelas, karena mobil itu, dia hampir saja menghilangkan nyawa orang lain. Meskipun demikian, Azka tidak sepenuhnya menyalahkan kedua orangtuanya, karena dia sendiri yang nekad menyetir mobil itu sendirian.
Azka memejamkan matanya lalu memukul-mukul alat musik drum-nya dengan sekuat tenaga hingga menimbulkan kebisingan.
Kapan kesepian ini berakhir? Akankah Tuhan mengirimkan sesuatu yang membuatnya merasa lebih baik di hari esok? Atau, mungkinkah selamanya akan seperti ini?
Jika teman-teman sekolahnya menginginkan kehidupan mewahnya, Azka justru ingin hidup sederhana. Karena menurutnya, kebahagiaan itu, tidak selalu diukur dengan materi.
Bila ada seseorang yang ingin bertukar tempat dengannya, Azka dengan senang hati pasti akan mengatakan iya.
********"
Dua tahun kemudian ...