Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

"Mas Diktaaa! Cepetan dooong! Udah nggak tahan niiih!" Tea meneriaki Dikta dari luar sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.

"Emang kamar mandi di kamar kamu kenapa?" balas Dikta dari dalam dengan kalem.

"Kerannya macet. Papa siiih, udah dibilangin dari kemarin tapi nggaaak juga dibenerin!"

"Kamar mandi Yoga sana. Mas baru juga masuk, masa udah disuruh keluar."

"Aduuuuh! Yoga mah, sampe nangis darah juga nggak bakal mau ngasih Tea masuk ke kamarnya!" Tea mengomel sambil bolak-balik menahan lilitan di perutnya. Entah kenapa, bangun tidur tadi pagi perutnya tiba-tiba mules nggak keruan.

"Ya deh, lima menit lagi, yaaa?"

"Nggak mau! Maunya sekaraaang!" rengeknya.

Dikta membuka pintu dan langsung tertawa melihat ekspresi Tea yang menurutnya lucu banget.

"Pasti gara-gara bakso neraka, kan? Yang pedasnya sampe bikin ngences-ngences itu? Hahaha."

"Kayaknya iya, deh. Mules banget jadinya. Anye, sih, ngajakin makan di sana. Udah ah, malah ngobrol!" Sejurus kemudian, Tea langsung masuk kamar mandi.

"Hahaha, kentutnya kedengeran tuh sama Alien."

"Iiih, Mas Dikta kok nguping siiih?! Sana, ah, jauh-jauh!"

"Hahaha."

Dikta masuk ke kamar sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk. Sewaktu dia membuka jendela kamarnya, tatapannya tertancap pada sosok di ujung sana. Siapa lagi kalau bukan Nacil. Cewek itu kebetulan juga baru membuka jendela kamarnya. Sama sepertinya, Nacil sudah mengenakan seragam sekolah, dia juga mengikat rambutnya jadi satu. Dari jauh pun, cewek itu tetap kelihatan cantik. Dikta tersenyum, Nacil membalasnya dengan lambaian tangan.

Jangan banyak gaya. Entar gue tinggal.

Dikta mengirimkan pesan tersebut melalui WA. Nggak perlu menunggu lama, dia mendapat balasannya.

Nacil : Oke. Sekarang, yuk!

Dikta : Cepat amat. Belum ngerjain PR?

Nacil : Iya niiih ?

Dikta : Nggak tahu malu. Ya udah buruan, gue juga mau ngerjain PR wkwkwk

Dikta melihat Nacil bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala.

Nacil : Gue tau kok. Muka bego lo udah gue tandain. Lo kan cowok paling bego di kelas. ☺️

Dikta : ?

Saat Dikta mengangkat wajahnya untuk melihat Nacil, cewek itu sudah nggak ada di sana. Dikta tersenyum lagi. Nggak terasa kalau tahun ini adalah tahun terakhir mereka di SMA. Dan sudah lebih dari sebelas tahun pula mereka berteman. Waktu memang cepat berlalu. Seandainya saja waktu bisa dibekukan.

"Tea, kamu ngapain, sih? Cepetan dong. Yoga entar telat, nih!" Miranda memanggil anak gadisnya itu dari ruang makan tapi nggak ada jawaban.

Dikta menghampiri meja makan dan menggantung tas sekolahnya di kursi lalu duduk. "Pagi, Ma, Pa," sapanya.

"Pagi, Sayang," sahut Miranda sembari mengusap singkat kepala Dikta.

"Gimana, Ta ... udah dipikirin yang Papa bilang semalam?"

Dikta mendongak menatap Papanya yang lagi tersenyum lalu berkata, "Gimana, ya, Pa .... Dikta nggak begitu tertarik sama musik. Mungkin, belum."

Halim Sujaya tampak sedikit kecewa. Meskipun beliau berusaha menyembunyikan perasaan itu di balik senyum hangatnya, Dikta tahu betul papanya itu menginginkan jawaban yang lain.

"Ya udah, nggak masalah kalau kamu nggak mau," ujarnya.

Dikta tersenyum. "Hmm, kenapa sih Papa pengen banget Dikta masuk sekolah musik?"

Dikta nggak pernah tertarik sama yang namanya musik. Jadi, ketika kemarin malam papanya menyarankan agar dia masuk ke sekolah musik setelah lulus SMA nanti, Dikta bilang dia akan pikir-pikir dulu. Karena, jujur saja, nggak tahu kenapa, Dikta lebih menyukai dunia bisnis. Padahal, papa mereka bukanlah seorang pengusaha, melainkan pegawai Bank. Begitu juga dengan riwayat keluarga mama dan papa, kebanyakan dari mereka adalah PNS.

Papanya berdeham sebelum angkat bicara. "Karena, Papa pikir, kamu juga suka musik kayak Papa."

"Itu loh, Mas, dulu Papa kalian ini pengen masuk sekolah musik di luar negeri tapi nggak kesampaian. Jadi, Papa nggak mau kamu ikut-ikutan kayak Papa. Punya cita-cita tapi nggak dikejar." Miranda menimpali, dia melempar senyum pada suaminya.

"Oh, jadi itu alasannya. Aneh, ya, kok di rumah ini, yang nggak begitu suka musik cuma Dikta? Tea, Yoga, Papa, semuanya sama-sama suka musik. Seleranya sama lagi." Dikta terkekeh kecil sebelum akhirnya bicara lagi. "Jangan-jangan, Dikta ini nggak anak Mama sama Papa. Hahaha."

Miranda menjawil telinga Dikta. "Sembarangan kalo ngomong. Jelas-jelas, Mama yang melahirkan kamu. Lagian, masa cuma karena kamu aja yang nggak suka musik, bilangnya bukan anak Mama."

"Hehehe, bercanda, Ma."

"Aduuuh, Mbak Tea mana, siiih? Entar Yoga telat niiih!" Yoga balik lagi ke dalam rumah sambil ngomel-ngomel. Dia kembali duduk di kursi samping Dikta dan memasang tampang kesalnya.

"Iya, iya! Sabar kenapa!" Tea keluar dari kamar sambil merapikan jilbabnya. "Tadi sakit perut, jadinya lama."

"Makanya, kalo makan itu yang elit dikit dong. Ini nggak, masa makan di pinggir jalan. Banyak debunya tauk!"

"Biarin sih, suka-suka gue dong!" Tea duduk dan mulai memakan sarapan nasi goreng bagiannya.

Miranda bergantian menatap Yoga dan Tea dengan kening berkerut. "Kalian ... sejak kapan ngomong pakai lo, lo, gue?"

"Yoga tuh, Ma, yang duluan. Katanya, kan sekarang dia udah kelas enam, nih. Jadi, dia maunya kalo ngomong sama dia harus pakai lo, lo, gue, gitu."

Yoga nyengir. Mama mendengus.

"Yogaaa, kamu nggak boleh gitu sama Mbak. Kamu itu sama dia bedanya empat tahun loh! Jadi, kalo ngomong harus sopan sama yang lebih tua. Kamu gimana, sih ...."

Melihat Yoga dikomentari, Dikta dan Tea cekikikan. Adik bungsu mereka itu dari dulu memang sok dewasa dan sok gaul. Apalagi sejak naik ke kelas enam, ampun deh! Sok kegantengan.

"Kamu juga, Mbak. Udah tau gampang sakit perut, jangan makan sembarangan!"

"Ya elah, salah lagi," desah Tea.

"Dikta berangkat, ya, Nacil udah nungguin soalnya." Dikta berdiri, mendekati Papa dan mencium tangannya dengan hormat, kemudian beralih ke Mamanya. Seperti biasa, sebelum pergi ke sekolah, mereka wajib cipika-cipiki dulu sama Mama, juga cium hidung yang jadi kesukaaan Mama mereka.

"Hati-hati, ya, Mas. Oh, iya, uang jajan kamu, nih," ujar Miranda dan mengangsurkan uang seratus ribu pada Dikta.

"Iya, Ma. Assalamualaikum." Dikta mengambil uang itu, memasukkannya ke saku, dan pergi setelah mengacak rambut Yoga. Adiknya itu langsung mengomel karena merasa kadar kegantengannya berkurang.

"Mbak! Cepat napaaa, udah jam berapa, niiih!"

Tea mendecakkan lidah dengan kesal. "Hiiih, kenapa sih lo tuh bawel banget? Nggak lihat orang lagi ngapain?!"

"Udah, Mbak, berangkat sekarang aja. Udah hampir setengah tujuh," ujar Papa menengahi pertengkaran kecil itu.

"Iya, Pa." Kalau Papa yang bicara, Tea nggak bakal berani ngeles. Dengan bibir manyun, dia lekas berdiri dan mencium tangan papanya.

"Makanya, Pa, beliin Yoga motor juga, dong. Males kalo terus-terusan nebeng sama Mak Lampir."

"Heee, Yoga, kok ngomongnya gitu. Ini Mbak kamu, bukan Mak Lampir," sergah Miranda.

"Asik, kena marah terus. Emang enak, hihihihi!"

"Heeh, kamu juga, Mbak, ketawanya kok kayak Mak Lampir!"

"Tuh kan, berarti yang Yoga bilang tadi, bener dong. Mak Lampir! Hahaha!"

"Hem!" Suara deheman Papa membuat Yoga dan Tea urung melanjutkan perperangan.

"Ya udah, Mbak, berangkat, gih! Nih, uang jajan kamu. Udah dong jangan cemberut gitu. Jelek, tahu." Miranda mencubit pelan pipi Tea yang menggembung. Anak gadisnya itu tersenyum simpul, kemudian berlalu sambil mengucapkan salam.

"Ma, Pa, Yoga berangkat dulu." Yoga cepat-cepat beranjak tapi tiba-tiba tasnya ditarik paksa Miranda.

"Yoga, nggak cium Mama?"

Yoga mendesah, membalikkan badan, dan memasang senyum terpaksa. "Ma, Yoga, kan udah gede. Ngapain pake cium hidung segala, sih? Yoga kan bukan anak kecil lagi."

Miranda menggelengkan kepala dua kali. "Mas Dikta aja masih mau kok. Itu tandanya sayang sama Mama."

"Ya udah deh. Terserah Mama aja," kata Yoga, akhirnya mengalah. Yoga itu paling sebal kalau disuruh cium hidung. Masalahnya, dia merasa nggak pantas lagi kayak gitu. Ah, tapi percuma juga protes, toh, mamanya nggak peduli.

"Bilang sama Mbak kalo bawa motor hati-hati."

"Iya, Ma," sahut Yoga sambil lalu.

Selang beberapa saat, ruang makan menjadi sunyi. Yang terdengar hanya suara sendok dan piring yang saling beradu.

"Papa nggak berangkat?" Miranda buka suara, menatap suaminya itu dengan kening berkerut samar.

Halim tersentak, berdeham, lalu bertanya, "Kenapa ya, Dikta nggak suka musik?"

Miranda tertawa. "Papa ini kenapa? Memangnya kenapa kalo Dikta nggak suka musik?"

"Kalo dilihat-lihat, Dikta itu mirip siapa sih menurut Mama?"

Untuk beberapa saat, Miranda membisu. Wajah Dikta melintas di pikirannya ; alis matanya sedikit tebal, rambutnya cokelat tua agak bergelombang, dan Dikta punya kulit yang putih. Kalau dilihat dengan cermat, nggak ada satupun dari Dikta yang mirip sama mereka berdua ataupun sama sanak saudara mereka.

Sementara Tea dan Yoga, punya bentuk wajah dan alis yang sama. Banyak yang bilang Yoga lebih mirip papanya dan Tea mirip omanya.

Kulit mereka rata-rata berwarna sawo matang, bukan putih seperti kulit Dikta.

"Udah hampir jam tujuh, Papa berangkat, ya," ujar Halim, berhasil membuyarkan lamunan istrinya.

"Eh, iya, hati-hati, Pa." Miranda bangkit, mencium tangan suaminya dan mengantarkannya sampai ke pintu.

Miranda melambaikan tangan pada Halim yang tersenyum padanya melalui jendela mobil. Dia baru beranjak setelah mobil hitam itu meluncur pergi.

Saat kembali ke ruang makan untuk membereskan meja, Miranda tiba-tiba teringat pertanyaan suaminya tadi. Pertanyaan itu sebenarnya tidak begitu serius, tapi anehnya, kenapa mereka tidak menemukan jawabannya?

"Nggak mirip bukan berarti Dikta anak orang lain. Jelas-jelas aku yang melahirkannya," dengusnya penuh percaya diri.

»»»»«««««

"Mami baru beli mobil!" cetus Aluna tiba-tiba tepat saat Azka tiba di ruang makan. "Lamborghini!" sambungnya dengan sumringah.

Azka menarik kursi lalu duduk, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar omongan adiknya itu.

"Gue bilang, Mami baru beli mobil. Lamborghini! Itu keren banget, kan? Gue mau satu, ah!"

Azka tertawa mendengus. "Kaya beli apaan aja, ya? Gampang banget ngomongnya."

Aluna tahu Azka menyindirnya, tapi gadis berambut ikal sepunggung itu nggak peduli.

"Kita kan orang kaya, kalo beli mobil gitu doang mah nggak bakal jatuh miskin."

Sangat blak-blakan, Azka tidak membantah karena Aluna memang benar. Papi mereka pebisnis yang sukses di dalam maupun luar negeri. Terlebih lagi riwayat keluarga mereka yang memang kebanyakan berasal dari keluarga konglomerat. Sumber kekayaan keluarga mereka berasal dari warisan, real estate, dan perusahaan farmasi yang didirikan papi mereka sendiri.

Basuki Dianova. Azka memiliki nama belakang papinya, tapi entah kenapa dia tidak punya keinginan sedikit pun untuk jadi pengusaha seperti beliau.

Azka tahu dia beruntung karena besar di keluarga ini. Dari kecil, dia sudah dimanjakan dengan uang dan barang-barang bermerek : mulai dari pakaian, sepatu, tas, dan semacamnya. Dulu, dia memang senang dan bangga bisa dengan mudah mendapatkan apa maunya, tapi, seiring berjalannya waktu, dia mulai  menyadari kalau ternyata, uang saja tidak cukup untuk membuatnya bahagia.

"Luna, lo ngambil duit gue lagi, ya?"

Kedatangan Alani, kembaran Aluna menyentak lamunan Azka. Sesaat, dia hanya diam menyimak obrolan kedua cewek itu. Seperti yang sudah-sudah, mereka bertengkar lagi, saling teriak dan mengumpat.

"Gue ganti!" bentak Aluna geram.

Mereka kembar identik, nyaris tidak bisa dibedakan kalau Alani tidak memotong rambutnya sebatas bahu. Mereka juga sekolah di tempat yang sama dengan Azka. Anehnya, nggak sehari pun Azka melihat keduanya seperti saudara kembar. Di sekolah pun, baik Aluna maupun Alani, hampir tidak pernah terlihat bareng.

"Gue bilang Mami ya lo!" sergah Alani. Jika dibandingkan, sebenarnya, Alani lebih kepada tipikal cewek yang nggak suka cari ribut. Dia pun lebih sering menghabiskan waktunya di rumah daripada keluyuran seperti Aluna. Tapi, kalau sudah bertengkar dengan Aluna, sikap kalemnya itu bisa meledak-ledak.

"Bilang aja, emang gue takut?"

"Lo sejak kapan sih jadi maling?"

Aluna terkejut dengan tuduhan itu. Dia langsung menatap sengit Azka yang terlihat tenang, seolah-olah omongannya barusan tidak menyinggung perasaan.

"Apa? Maling? Gue maksud lo? Enak aja!"

Azka tertawa, lebih kepada mengejek. "Jadi, apa namanya kalo bukan maling? Ngambil uang orang gitu aja? Hm?"

"Lo ganti tuh ya, Lun! Dua juta! Gue nggak mau tahu besok harus udah ada!" kata Alani, sebelum akhirnya pergi.

"Emang duit sebanyak itu buat apa sama lo?"

Aluna mendelik. "Buat beli tas baru. Lagian dua juta itu nggak banyak, kali. Itu juga dapatnya tas murahan."

Azka menatap lekat Aluna yang balas menatapnya dengan sinis.

"Lo masih lima belas tahun. Mending sekolah yang bener," ujar Azka kemudian.

"Nggak usah ngajarin gue! Gue bukan anak kecil lagi!"

Dengan sekali gerakan cepat, Azka membanting sendoknya ke meja hingga menimbulkan bunyi yang keras. Detik itu juga air muka Aluna berubah pucat. Azka bisa mencium aura ketakutan dari adiknya itu, dan tiba-tiba saja dia menyesali perbuatannya.

Tidak ingin melihat air di sudut mata Aluna jatuh, Azka pun beranjak dan pergi.

Bahkan, dia tidak bisa menyampaikan kepeduliannya dengan cara yang baik.

Setibanya di teras rumah, Azka menghentikan langkahnya karena Pak Budiman, supir pribadi keluarga mereka memanggilnya.

"Kenapa, Pak?"

Pria setengah baya itu menggangsurkan sebuah kunci padanya sembari berkata, "Ini kunci mobil barunya Den Azka."

Bibir Azka berkedut. "Mobil baru?"

"Iya, Den, itu mobilnya yang warna putih." Pak Budiman menunjuk mobil putih yang terparkir di samping ferari merah.

Lamborghini keluaran terbaru. Mobil itu tampak berkilau seperti ditaburi berlian saat dihujani sinar matahari. Azka tidak tahu, apakah dia harus senang atau malah sebaliknya. Entah kenapa, sejak dua tahun belakangan ini, maminya lebih mengutamakan dirinya daripada ketiga saudaranya.

"Jangan bilang sama yang lain kalo itu mobil buat Azka, ya, Pak," ujar Azka dengan suara pelan.

Pak Budiman menggangguk paham. "Iya, Den."

Sambil berjalan menuju mobil  Chevrolet Camaro SS kesayangannya yang terparkir sendiri di garasi, Azka mengambil ponselnya yang berdering.

Dari maminya. Azka membuang napas pendek, meniup ujung rambut di dahinya, lalu menjawab panggilan tersebut dengan sedikit perasaan malas.

"Sayaaaaang, kamu suka mobilnya, kaaan?" teriak Maminya dengan nada riang dari ujung telepon.

Azka menyipitkan mata dan menjauhkan ponsel dari telinganya secara bersamaan. "Suka," sahutnya singkat.

"Hmmm, Mami masih di Johor, mungkin nanti sore pulang. Kamu mau apa? Mami beliin tas sekolah sama sepatu baru juga loh buat kamu. Mami tahu kok selera kamu, tenang ajaaa."

Senyum di bibir Azka terbit mendengar celotehan panjang mamanya di ujung telepon. Meski jarang bertemu, Azka masih bisa merasakan kepedulian mamanya meski hanya sedikit.

"Terserah Mami aja. Azka mau berangkat sekolah, Mi."

"Okey, sampai ketemu nanti, Sayang!"

Itu juga kalau.

"Iya," kata Azka, tersenyum tipis.

Sebelum benar-benar pergi, Azka memandang sekeliling, pada halaman yang membentang luas, taman bunga, kolam air mancur,juga deretan mobil mewah yang terparkir di tempat khusus di dekat dinding beton yang menjulang tinggi mengelilingi wilayah rumah mereka. Kamera pengaman juga ada di mana-mana.

Azka mendesah. Lagi-lagi dia merasa tempat ini bukan bagian dari dirinya. Sudah tujuh belas tahun, dan semakin lama perasaan itu kian kuat.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel