Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Adalah SMA Kalang Kabut, tempat di mana Dikta, Tea dan Nacil menimba ilmu sekaligus bergaul, dan menikmati masa remaja mereka.

Sekolah yang didirikan dua puluh tahun yang lalu ini, memiliki empat bangunan bertingkat dua yang saling berhadapan. Tiga diantaranya digunakan sebagai ruang kelas. Sementara bangunan yang tepat menghadap gerbang sekolah, digunakan untuk kantor guru, UKS, aula dan lain-lain. Di tengah lapangannya yang luas, tampak tiang tinggi berdiri gagah mengibarkan bendera merah putih.

Meskipun sekolahnya biasa-biasa saja dan sama sekali tidak populer, mereka berani bertaruh kalau kualitas pendidikannya nggak kalah saing deh sama SMA lainnya.

Tapi, jangan ngomongin soal fasilitas, ya. Mereka pasti kalah banyak. Selain toiletnya sering rusak, banyak kelas yang kaca jendelanya pecah. Bukan karena gempa, angin puting beliung dan semacamnya, melainkan karena ulah murid laki-laki yang suka main bola kalau lagi jam pelajaran olahraga.

Setiap bulan, pasti adaaa saja kaca jendela yang pecah. Nggak tahu deh kenapa bisa gitu. Entah kacanya yang emang nggak bagus-bagus banget, atau pelakunya yang lagi galau, jadinya waktu nendang suka sembarangan. Baper, sih.

?

Nacil melompat turun sebelum Dikta benar-benar memberhentikan motornya di tempat parkir. Posisinya yang duduk menyamping memudahkannya untuk melompat. Dikta sudah berkali-kali memperingatinya supaya lebih berhati-hati tapi Nacil cuma menanggapi dengan cengiran.

"Eh, gue duluan, ya!"

Sejurus kemudian, Nacil berlari-lari menuju kelasnya sambil mengangkat rok panjangnya hingga sebatas betis. Dikta bisa mendengar Nacil meneriaki Gigi dan Mae--teman sekelasnya--yang juga tampak buru-buru. Dikta tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Diam-diam, dia menggumamkan nama Nacil dua kali.

Kemudian, dia cemberut. Teringat fakta kalau tahun terakhir ini mereka pisah kelas. Sulit rasanya membiasakan diri duduk sebangku dengan orang lain karena selama dua tahun dia dan Nacil selalu duduk di meja yang sama. Di pojok kelas dekat jendela yang nggak ada kacanya. Tempat favorit mereka.

Di sekolah, mereka selalu terlihat bareng. Banyak juga yang mengira kalau mereka pacaran. Soalnya, perlakuan Dikta ke Nacil itu manis banget. Belum lagi sikap Dikta yang agak over protective, bikin cowok-cowok males deketin Nacil.

Dikta melewati kelas Nacil seraya mencari-cari sosok itu dari jendela. Seperti dugaannya, cewek itu sedang sibuk menyontek PR entah milik siapa bersama Gigi dan Mae. Sesekali, Nacil tertawa. Dikta agak kaget

saat tiba-tiba mereka bertemu pandang. Tatapan itu seolah membekukannya sekian detik.

Tapi, ternyata pandangan Nacil bukan tertuju ke arahnya, melainkan pada cowok yang berjalan di depannya. Adit.

Dikta mendesah, kayaknya Nacil belum move on, deh. Padahal, mereka kan udah satu tahun putus.

Sialan, malah jadi baper. Dikta menertawakan dirinya sendiri lalu berjalan cepat ke kelasnya yang terpisah lima ruang dari kelas Nacil.

"Lo barusan ngelihatin Adit atau... Dikta?" tanya Gigi, spontan, tanpa tedeng aling-aling.

"Nggak lihat siapa-siapa, kok," jawab Nacil agak salah tingkah.

"Cieee, yang belum move on! Haha, ketahuan lo sama gue!" seru Gigi sambil terkekeh.

Nacil menengok Gigi dan tersenyum. "Sekarang Adit cakep banget, ya."

"Iya, terus... kalo cakep, kenapa?"

"Heran aja, pas udah putus gini, kok gue lihat dia makin cakep aja," ujar Nacil jujur.

"Emang iya, sih. Dulu Adit kan jelek banget, mirip monyet. Sekarang dia kok jadi keren gitu, ya? Lo nggak nyesal mutusin dia, Cil?" Mae menimpali.

Nacil tertawa, tiba-tiba ingat masa pacarannya sama Adit dulu. Ah, cinta monyet! Sebenarnya, Adit bukanlah cowok pertama yang ditaksir Nacil. Waktu SD, Nacil pernah suka sama teman sekelasnya. Juga saat di SMP, Nacil suka sama tiga cowok sekaligus. Jadi, baginya... bertemu-saling kenal-dekat-jadian-putus, itu hal biasa yang semua orang pasti pernah mengalaminya.

Baik dia maupun Adit, tahu kalau yang mereka rasakan hanyalah cinta monyet. Nggak ada tuh istilahnya nyesal nggak nyesal.

"Ditanyain malah bengong! Woi!" Mae menjawil pipi Nacil dengan ujung pena. "Pasti ngelamun jorok."

"Hahaha, emangnya gue kayak lo!" Nacil membela diri seraya beranjak dan pindah ke mejanya.

"Mae, lo tadi nggak mandi, ya?"

Mae mendongak, menatap Gigi dengan tampang tersinggung. "Sok tahu lo."

"Bodoh, lihat tuh iler lo kering!"

"Hah? Sumpah?" Mae langsung mengusap sekitar bibirnya dengan panik.

Gigi menggeleng, nggak tahu mau bilang apa. Dari dulu, dia sudah hapal dengan kebiasaan jelek Mae, karena mereka sudah berteman sejak SD, salah satunya ya itu, Mae jarang mandi pagi.

"Eh, tadi kan lo ngobrol ya sama si Niko? Mampus, pasti dia nanyain dalam hati yang dekat bibir lo apaan!" kata Gigi lagi, belum puas bikin Mae malu.

"Astagaaa! Kenapa baru bilang bego!"

"Hahaha, kelar hidup lo. Makanya, jadi cewek jangan jorok!"

Mae merengut lalu membenturkan kepalanya ke meja berkali-kali.

"Udah nggak usah lebay."

"Niko pasti jijik sama gue! Iya nggak sih?"

Gigi mendesah. "Iyalah, pake nanya."

Nacil tertawa mendengar obrolan kedua teman dekatnya itu. Gigi memang tipikal cewek yang blak-blakan, sementara Mae agak pemalu dan gampang tersinggung. Tapi, biarpun Gigi suka banget bikin Mae sakit hati--sengaja atau tidak--keduanya tetap dekat dan ke mana-mana selalu bareng.

Sama halnya seperti dia dan Dikta. Meskipun Dikta kadang nyebelin, egois, suka ngambek nggak jelas, tapi sampai hari ini, Nacil mengakui kalau tanpa Dikta, mungkin hari-harinya nggak akan sebaik selama ini. Sedikit banyaknya, Dikta cukup berpengaruh dalam hidupnya.

Ya ampun, udah belasan tahun, Ta! Nacil tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya mengingat kalau dia dan Dikta sudah lama berteman. Rasanya, baru kemarin mereka menjadi anak kecil : main layangan, mandi hujan, main bola, kejar-kejaran, semuanya. Nacil melewati semua masa kanak-kanaknya bersama Dikta.

Dan sekarang, mereka sama-sama sudah besar. Waktu memang berlalu begitu cepat.

Nacil lalu memandang layar ponselnya. Di sana ada potret dirinya dan Dikta yang diambil satu hari yang lalu saat mereka duduk di ayunan. Ujung bibirnya kemudian tertarik ke atas, membentuk bulan sabit.

***

Koridor kelas SMA Jaya Wijaya pagi itu terlihat ramai oleh murid-murid berseragam ungu bermotif batik. Seragam kebanggaan mereka karena SMA tersebut adalah sekolah swasta ternama dan hanya orang-orang kaya saja yang bisa masuk ke sana. Terdengar berlebihan, namun begitulah kenyataannya. Biaya masuk dan bulanannya saja bahkan cukup mengurasa kantong.

SMA Jaya Wijaya digadang-gadang sebagai sekolah swasta paling nomor satu di Indonesia. Soal fasilitas, mereka hampir memiliki segalanya.

Di sekolah, Azka bukanlah cowok populer, bukan juga murid yang cerdas. Dalam berteman pun, Azka tipikal yang pemilih. Bukan masalah kasta, tapi Azka suka bergaul sama orang-orang gila, yang kalau diajak ngomong suka bikin ngakak. Tepatnya, Azka lebih senang berteman sama mereka yang punya jiwa humoris.

Itu sebabnya, Azka lebih senang berada di sekolah, karena di tempat ini, dia bisa merasa lebih 'hidup'.

Azka juga nggak ganteng-ganteng banget. Udah gitu, ngomongnya blak-blakan lagi. Nggak mikirin perasaan orang. Nyelekit banget. Tapi, gitu-gitu, Azka banyak yang naksir. Nggak tahu deh kenapa, padahal di sekolah Azka termasuk murid yang nakal.

"Ka, menurut lo cewek ini cakep nggak?" Haris bertanya sambil menunjukkan sebuah foto di ponselnya. Dan Haris lah yang paling dekat dengannya sejak pertama kali Azka masuk ke sekolah ini.

Azka melepaskan sebelah earphone-nya lantas menengok foto itu dengan seksama. Foto seorang cewek yang sedang duduk di depan meja yang penuh dengan berbagai jenis menu makanan.

"Anak alay," komentarnya pedas.

"Alay apaan? Lucu gini. Namanya Nacil, anaknya asik, loh, serius."

Azka tidak merespon, namun matanya terus mengikuti gerak jari Haris yang menggeser layar, melihat-lihat foto cewek itu.

"Alay banget sih temen lo, mau makan aja selfie. Habis mandi selfie, bangun tidur aja selfie?" seru Azka nggak habis pikir.

"Biasa aja kok. Namanya juga cewek," ucap Haris nggak peduli.

Azka geleng-geleng. "Kenal di mana?"

"Perpustakaan Arin."

"Itu cowoknya?" tanya Azka lagi. "Emang pasangan alay, banyak banget foto nggak penting."

"Bukan." Haris menggeleng. "Katanya sih ini temennya. Mereka tuh udah kayak keluarga gitu, saking dekatnya banyak yang mikir mereka pacaran. Padahal enggak," tambah Haris seolah tahu semuanya tentang kedua orang itu.

"Oh."

"Dia sama nih kayak lo, suka baca buku anak-anak gitu. Mau gue kenalin nggak? Buat nambah teman."

Azka terdiam sejenak, entah karena apa. Lalu pada detik ketujuh, dia beraksi, "Nggak. Nggak penting."

"Ya udah kalo nggak mau. Kok gue laper ya. Kantin, yuk!" ujar Haris.

Azka mengangguk dan bergegas mengikuti Haris yang lebih dulu keluar kelas.

Di tengah jalan, dia melihat Aluna sedang mengobrol dengan tiga orang cowok. Azka lantas berhenti, menatap tajam cowok-cowok itu dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

Ketiga cowok itu akhirnya menyadari keberadaan Azka. Nggak mau dapat masalah, cepat-cepat mereka pergi dari sana. Bukan rahasia lagi kalau setiap ada cowok yang mendekati Aluna maupun Alani, bakal disidang habis-habisan oleh Azka.

Aluna yang tahu kenapa teman-teman cowoknya tadi pada kabur, cuma bisa mendengus kesal pada Azka yang melihatnya dari jauh.

"Kenapa sih, Ka? Masa Luna nggak boleh ngobrol sama teman-teman cowoknya... lo nggak boleh gitu dong. Kasihan kan entar adek lo jadi kuper, baper..." seru Haris.

Azka mendengus. "Cowok-cowok tadi mukanya pada nanggung."

"Nanggung gimana?"

"Dibilang cakep, enggak. Dibilang jelek, hampir. Masa kayak gitu mau deketin adek gue."

"...."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel