Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Tidak ada yang mengenal Nacil dengan sangat baik selain Dikta. Bahkan, keluarga Nacil sekalipun.

Dikta tahu semua kesukaan Nacil, mulai dari warna, lagu, makanan, buku, film, dan lain-lain. Dia tahu banget apa mimpi dan cita-cita Nacil.

Nacil punya cita-cita jadi seorang penulis yang karyanya dicintai dan menginspirasi banyak orang. Selain itu, dia punya mimpi yang besar : punya perpustakaan yang akan dia beri nama Rumah Dongeng. Dan Nacil tidak pernah berhenti berharap kalau nantinya buku-buku di sana adalah buku karangannya sendiri.

Nacil juga punya kelebihan yang unik, dia mahir menirukan berbagai macam suara. Seperti suara hewan dan beberapa tokoh kartun. Suaranya yang bisa berubah-ubah, sering membuat takjub anak-anak yang mendengarnya. Itu sebabnya Nacil suka sekali mendongeng. Dia suka dengan reaksi anak-anak kecil yang mendengarnya bercerita, terlebih lagi ketika dengan semangatnya mereka memintanya untuk terus mendongeng.

Beberapa kali, Dikta sering melihat Nacil menceritakan dongeng si kancil pada anak tetangga mereka yang rata-rata masih balita.

Nacil memang ajaib!

Nacil yang ekspresif, optimis, mudah bergaul, selalu berhasil membuat Dikta jatuh hati.

Malam ini, di bawah sinar bulan yang temaram, dia dan Nacil duduk di ayunan sambil bersenda gurau. Sewaktu Nacil mengangkat tangannya untuk menunjuk langit yang penuh bintang, ingin rasanya Dikta meraihnya, menggenggamnya.

"Kira-kira, sepuluh tahun lagi, kita jadi apa, ya?" celetuk Nacil setelah tadi diam beberapa saat.

"Nggak tahu. Mungkin, kita udah jadi orangtua," ucap Dikta dan tertawa kecil.

"Mungkin." Nacil tersenyum, kemudian memandang Dikta dengan mata berbinar. "Mungkin nanti, kita udah nikah. Di situ lo udah punya anak, gue juga. Terus, kita ketemuan, ya, nostalgia gitu."

Dikta sedikit kecewa. Mungkin Nacil nggak paham maksud kata 'kita' yang diucapkannya tadi. Kita artinya mereka. Dia dan Nacil.

"Ngapain ngomongin yang sepuluh tahun. Tahun depan aja kita nggak tahu bakal gimana," tutur Dikta, tiba-tiba serius.

"Iya, sih. Eh, lulus besok, kita daftar universitas bareng, ya?"

"Gue masih bingung mau ambil jurusan apa. Papa kayaknya pengen banget lihat gue masuk sekolah musik. Padahal gue nggak suka." Dikta membuang napas panjang, berat, seakan penuh beban.

"Ya udah, pilih apa yang lo suka. Daripada entar nyesel." Nacil berusaha menyemangati. Bertahun-tahun bersama, seolah tidak pernah ada rahasia di antara mereka. Dikta begitu terbuka tentang masalah pribadinya. Sama seperti Dikta yang mengenalnya luar dalam, Nacil pun demikian.

"Tapi, gue nggak mau bikin papa kecewa."

Nacil diam, dapat dirasakannya kebimbangan Dikta saat ini.

"Gue rasa, yang namanya anak, nggak ada deh yang mau bikin orangtuanya kecewa." Nacil mendesah, menegakkan bahu, lalu berdiri. "Malam mingguan, yuk!" Ajak Nacil tiba-tiba sumringah. Sebenarnya sih, dia cuma mau mengalihkan pembicaraan. Habis, Dikta kalau lagi galau, pasti muka begonya kelihatan.

"Ke mana?" respon Dikta nggak begitu minat.

"Biasaaa. Gue ganti baju dulu, ya," katanya lantas melenggang pergi ke rumahnya.

"Udah gitu aja, jomblo juga!"

"Haha. Jomblo juga harus gaya dong. Apalagi kita kan ijo lumut. Ikatan jomblo imut, haha."

"Sori gue nggak ikutan."

"Bodo. Lo juga ganti baju dong, jangan malu-maluin gue!"

"Serius lo bawel..." Dikta mencibir, Nacil malah menertawakannya dari jauh.

»»»«««

Hampir setiap malam minggu sejak mereka SMP, Dikta melewatinya bareng Nacil. Dan dari semua waktu itu, nggak ada tempat lain yang mereka datangi selain perpustakaan favorit Nacil.

Untuk sampai di sana, butuh waktu tujuh menit dengan menggunakan sepeda motor. Perpustakaan itu lumayan besar dan koleksi bukunya cukup lengkap. Ruang bacanya juga nyaman dan ber-AC. Mereka berdua sudah menjadi anggota sejak lima tahun yang lalu.

Dikta nggak suka membaca. Jenis apa pun itu. Kalaupun ada, buku-buku tentang tips menjadi pengusaha sukses-lah yang dibacanya. Mungkin itulah perbedaan antara mereka. Bagi Nacil, membaca adalah pintu ke mana saja milik Doraemon. Dia bisa keliling dunia melalui buku yang dibacanya. Bahkan dunia lain! Negeri antah berantah yang isinya makhluk dongeng semua.

Nacil juga rela membuang waktunya cuma untuk membaca seri Harry Potter yang tebalnya minta ampun. Belum lagi buku-buku fantasi terjemahan koleksi pribadi Nacil yang lainnya. Dikta angkat tangan deh soal hobi cewek itu.

"Mbak Arin, tumben sendirian... pawangnya mana?" tegur Nacil pada Arin, anak si pemilik perpustakaan.

"Nggak pake pawang lagi. Udah jinak kok." Arin menyahut enteng lalu tersenyum pada Dikta yang berdiri tepat di belakang Nacil.

"Putus, ya? Haha. Habisnya susah dijinakin, siiih."

"Kurang ajar ya sama orangtua, malah diledekin," ujar Arin pura-pura sewot.

"Haha. Udaaah, masuk geng kita aja."

Arin menaikkan satu alisnya dan menoleh menatap Dikta yang segera angkat bahu. "Geng apaan?"

"Ijo lumut. Ikatan jomblo imuuut, hehehe."

Arin melengos. "Idiiih, jibang... lagu lama. Jadi jomblo kok bangga... naik kasta kenapa? Lu gila sih, makanya nggak ada yang mau. Hahaha."

"Pernyataan Anda salaaah. Gini-gini, yang naksir banyak, tau. Iya, kan, Ta?"

"Masa?" sahut Dikta enteng.

Nacil langsung memukul lengan Dikta keras-keras dengan buku di tangannya. "Males gue ngomong sama lo."

"Bodo," kata Dikta lantas pergi menuju rak-rak buku bagian sastra dan budaya.

Melihat Dikta jauh di pojokan, Arin langsung menyembur Nacil dengan pertanyaan. "Kalian kok nggak jadian aja, sih? Cocok, tau!"

"Maksudnya aku sama Dikta?"

"Iyalah!"

Nacil sudah hapal mati jawabannya karena pertanyaan itu bukan datang dari Arin saja, tapi juga dari teman-teman sekolahnya. "Kan, kami temen, sahabat, udah kayak sodara, kakak sama adik... jadi, nggak mungkin cinta-cintaan."

Arin menyipitkan mata, tidak mau percaya begitu saja. "Nanti, kalo udah sama-sama jauh, baru deh terasa..."

"Ya nggaklah! Haha, aku sama Dikta tuh biasa aja," bantah Nacil sambil tertawa.

"Kadang-kadang, yang kita butuhkan itu... bukan orang yang kita sayang... tapi justru orang yang sayang sama kita. Tahu nggak? Lah! Ke mana tuh anak? Sialan, jadi dari tadi gue ngomong sendiri?"

Nacil cekikikan di balik rak yang dekat dengan bilik tempat Arin duduk. Didengarnya cewek berumur 25 tahun itu ngomel-ngomel sambil menyebut namanya.

"Haha, emang enak dikerjain!"

"Kenapa, sih? Ketawa-ketawa sendiri, dilihatin orang tahu," tegur Dikta yang sudah berdiri di belakangnya.

"Hihi, tadi gue abis ngerjain Mbak Arin. Eh, gue mau cari buku nih. Mau ikut atau gimana?"

"Gue mau beli martabak aja."

"Mantap! Malam minggu, baca buku, sambil makan martabak! Gue di tempat biasa, ya! Dadah!"

Dikta tersenyum pada punggung Nacil yang menjauh lalu hilang di balik rak. Meskipun selera mereka berbeda, tapi mereka sama-sama berusaha saling menghargai. Untuk bersama, nggak harus sama, bukan?

••••

Nacil memasuki ruang baca anak-anak dan mengambil majalah Bobo kesukaannya. Dia mengambil delapan buku sekaligus. Bahkan demi mendapatkan buku-buku itu, Nacil rela berantem sama anak kecil yang juga mau mengambil judul yang sama. Nacil juga sempat melotot padanya.

"Mamaaaa, kakak itu jahat!"

Sejurus kemudian, Nacil hilang dari pandangan saat anak kecil itu memanggil mamanya. Nacil sempat mendengar suara tangisannya, tapi maaf ya adik yang cantik, Kak Nacil malam ini lagi nggak punya hati. Dia pun melenggang senang menuju singgasananya : sebuah tempat di paling pojok yang saaangat nyaman.

Arin memang bego banget. Demi Nacil yang bukan siapa-siapanya, dia rela menyediakan karpet bulu dan bantal Hello Kitty besar untuk jadi teman Nacil baca buku. Kadang-kadang Arin juga baik banget beliin dia cemilan. Udah baca gratis, diperlakukan kayak Ratu Agung pula. Nikmat Tuhan mana yang kau dustai?

Nacil lalu mengambil posisi tidur dengan kedua telapak kaki menempel ke dinding. "Tuhaaan, aku mau hidup seribu tahun lagiii. Ini nikmat banget! Kapan, ya, aku punya perpustakaan sendiri?!" ujarnya penuh harap sambil menatap langit-langit.

•••

"Lan?" Azka memanggil Alani yang baru keluar dari kamarnya.

Alani lantas berhenti dan menoleh, namun tidak menyahut.

"Udah makan?"

"Udah," tutur Alani singkat.

Azka mengamati tubuh mungil adiknya itu dengan kening berkerut samar. "Lo kurusan?"

"Nggak tahu."

"Makanya makan. Entar sakit baru tau. Di sini nggak ada yang ngurusin, jadi jaga diri masing-masing." Azka kemudian pergi ke kamarnya.

Alani mengamati sosok Azka yang tengah menaiki tangga dengan sorot mata penasaran. Sejak mami mereka mulai menunjukkan sikap pilih kasih, entah kenapa, rasa kesal terhadap Azka muncul begitu saja.

Selama dua tahun ini, mami selalu mengutamakan Azka. Dikit-dikit yang dibeliin mobil, Azka. Apa-apa, Azka.

Itu sebabnya kenapa sikap Alani maupun Aluna berubah terhadap Azka. Mereka cemburu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel