Bab. 10
⛅ Rasa⛅
•••
"Mas, besok nonton, yuk! Mumpung weekend !" seru Tea sambil berjalan menghampiri Dikta yang sedang bermain bola basket di halaman samping sendirian.
Dikta berhenti mendrible bola lalu menimang-nimangnya ke udara.
"Nonton apa?"
Tea menyampirkan ujung jilbab yang menjuntai ke bahunya, kemudian menjawab, "Nonton apa kek. Males banget di rumah, gabut. Ya, nonton, ya? Ajak Mbak Nacil juga, biar rame. Hehehe."
Dikta berlagak seolah sedang berpikir keras, memiringkan kepala ke satu sisi dengan bibir mengerucut miring. "Hmmm, gimana, ya?"
"Mbak Nacil!" Tea tiba-tiba memanggil Nacil yang kebetulan sedang menyapu teras rumahnya. "Sini!"
Nacil menoleh seraya tersenyum ramah seperti biasa, lalu bergegas memakai sandal jepit karakter Minion, berjalan menghampiri Dikta dan Tea.
"Kenapa, Tea?"
"Besok kan, weekend, nonton yuk, Mbak?!"
Nacil mengambil bola di tangan Dikta, mendrible-nya sekali. "Hayuk! Mbak juga sekalian mau nyari buku ke Gramedia, hehehe."
"Ya ampun, Mbak! Mau beli buku lagi???" tanya Tea, takjub. Masalahnya, yang Tea lihat, Nacil sudah punya banyak buku di lemarinya. Dan kalau tidak salah ingat, bulan kemarin Nacil juga baru beli enam buku sekaligus. Nah, ini sudah mau beli lagi?
Nacil mengangguk. "Hehehe. Iya, mumpung ada uang jajan lebih, jadi mau dibeliin buku aja."
"Emang kamu! Ada duit lebih, malah dibeliin kuota internet...." ucap Dikta sembari menjentik dahi Tea dengan penuh sayang.
Tea tergelak. "Iya dong, hari gini, hidup tanpa internetan itu, rasanya gimanaaa gitu! Iya, kan, Mbak Nacil?"
"Nggak tuh! Biasa aja."
"Yaaah, bukannya dibantuin. Gimana sih, Mbak ...."
"Iya deh kalo gitu sini aku bantuin. Hidup kuota!!!" Nacil mengacungkan tinjunya ke udara.
"Hidup!!!"
Dikta terkekeh, kemudian mengambil bola dari tangan Nacil. "Kalo ada yang menang lawan gue, besok habis nonton gue traktir makan!"
Tea dan Nacil langsung sumringah.
"Janji?" seru Nacil berseri-seri.
"Janji."
"Oke! Siapa takut?! Hajar, Mbak!"
"Seraaaang!"
"Ini mau main basket, Oi, bukan mau tawuran!" seru Dikta.
"Hihihihi!" Kedua cewek itu justru cekikikan. Seperti biasa, mereka selalu terlihat kompak. Tea senang sekali memiliki tetangga merangkap teman seperti Nacil yang ramah dan humoris. Pun demikian Nacil, dia sudah menganggap Tea seperti adiknya sendiri. Nacil menyayanginya sama seperti dia menyayangi Anye.
Di bawah sinar mentari sore itu, ketiganya berlarian sambil bersenda gurau. Tawa mereka lepas ke udara. Dikta tak henti-hentinya tersenyum setiap melihat wajah Nacil yang merah merona, lebih-lebih saat dihujani sinar matahari. Ia berkilauan bak berlian, benar-benar berharga, paling tidak di mata Dikta.
Rambutnya yang panjang bergelombang mengikuti gerak tubuhnya yang sesekali melompat, berputar, dan berlari. Dikta tidak punya alasan untuk tidak menyukainya. Rasanya setiap hari ia jatuh hati. Seandainya, Nacil tahu ....
⛅
•••
"Pa, tahu nggak?" kata Miranda, "kemarin, Dikta dapat telepon, tapi nggak tahu dari siapa. Dia nanyain Dikta."
Halim mengangkat pandangannya yang sejak tadi tertuju pada layar laptop-nya, kemudian menatap istrinya dengan kening berkerut samar. "Dia bilang apa?"
Miranda memasang wajah serius. "Dia tahu tanggal lahir Dikta. Kok perasaan Mama jadi nggak enak, ya? Sebelumnya kan, Mama juga terima telepon dari orang yang nanyain tentang Dikta."
Sungguh, Miranda gusar. Jika itu telepon dari orang iseng, untuk apa dia melakukannya? Tetapi, jika bukan, lantas apa maksudnya menanyai tentang Dikta? Dan, dari mana dia tahu semua tentang Dikta? Siapa orang itu sebenarnya?
Halim berdeham, melepas kacamatanya yang gagangnya sudah kusam, menaruhnya dengan hati-hati ke atas meja, tepat di samping laptop. Kemudian ia berdiri, melangkah menghampiri istrinya yang tampak gelisah.
"Lain kali, kalau dia nelpon lagi, tanyakan namanya, asalnya dari mana, dan kenapa dia terus menanyai tentang Dikta ...," katanya.
Miranda memegangi lehernya dengan satu tangan lalu mengusap-usapnya. "Mama udah nanya, tapi nggak dijawab."
Halim manggut-manggut. "Ya udah jangan dipikirkan. Kan cuma telpon ...."
Iya, hanya telpon dari orang tak jelas. Untuk apa dipikirkan? Mungkin orang itu hanya sekedar bertanya. Kenapa juga dia harus memikirkannya sampai seserius ini?
"Mama bawa tidur aja deh. Tiba-tiba sakit kepala," Miranda merangkak ke tengah kasur, menarik selimut hingga sebatas perut.
"Iya, Mama duluan aja, Papa belum ngantuk."
Halim melihat kepala istrinya mengangguk meskipun tengah membelakanginya. Sejurus kemudian, ia pergi ke luar kamar untuk mengambil minum. Rencananya ia akan segera kembali ke kamar, namun urung lantaran melihat Dikta sedang duduk sendirian di ruang keluarga sambil menonton TV. Ia pikir tidak ada salahnya jika mengajaknya berbincang-bincang sebentar.
"Belum tidur?" ujarnya seraya menepuk bahu Dikta dengan pelan.
Dikta tersentak kaget karena tiba-tiba ditegur seperti itu. Tadinya Dikta mengira kalau semua orang di rumah ini sudah tidur.
"Eh, Papa, ngangetin aja," ucap Dikta.
Halim tersenyum lalu duduk di sebelahnya. Dari samping, Dikta bisa melihat ada beberapa helai uban di rambutnya, yang menandakan beliau sudah mulai tua. Tiba-tiba rasa sayang menyelusup masuk ke dalam dirinya. Sudah 17 tahun Dikta dibesarkannya dengan penuh kasih sayang.
Kata mamanya, saat pertama kali Dikta pandai berbicara, ia hanya bisa mengucapkan satu kata, yaitu 'Papa'. Saat Dikta terjatuh dan menangis pun, ia akan menangis sambil memanggil papanya lebih dulu. Nanti papa akan menunjuk langit dan akan bilang, "Lihat itu ada bulan, Nak! Kalau kamu nangis, nanti bulannya ketawa. Anak laki-laki nggak boleh cengeng!" Setelah itu, Dikta akan diam sambil menatap bulan yang di kelilingi bintang-bintang.
Sudah 17 tahun, namun sampai hari ini, mengapa Dikta merasa tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengannya? Baik itu secara fisik maupun sifat dan karakter. Kadang kala, Dikta merasa sering mengecewakan beliau dikarenakan keinginan mereka yang bertentangan sejak dulu. Lebih-lebih soal musik yang memang tidak Dikta minati. Papa selalu ingin Dikta belajar musik, tapi Dikta menolak.
Padahal, Papa sudah beberapa kali membelikan alat musik untuknya tapi Dikta tidak berminat untuk mempelajarinya sama sekali. Pada akhirnya, barang-barang itu kini berdebu di gudang. Hanya ada satu buah gitar yang tergantung di kamarnya. Itupun tak pernah Dikta sentuh karena tidak tahu cara memainkannya.
"Gitarmu mana, Mas?" Baru saja dipikirkan, Papa sudah menyebut benda yang diberikannya pada hari ulang tahun Dikta empat tahun yang lalu itu.
"Ada di kamar. Papa mau main?"
Halim mengangguk. "Sebentar aja."
Dikta tertawa singkat lalu beranjak menuju kamarnya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sebuah gitar berwarna kayu yang langsung diserahkan pada papanya.
Halim memetik senarnya, memutar-mutar sesuatu lalu merambasnya. "Kenapa kamu nggak mau belajar main alat musik?"
Pertanyaan yang Dikta sudah hapal mati jawabannya. "Karena Dikta nggak suka, Pa."
Lagi-lagi jawaban yang mengecewakan, namun Dikta merasa dia hanya harus jujur supaya papanya tidak berharap banyak lagi untuk membujuk Dikta masuk ke sekolah musik di luar negeri.
Menurut Dikta, untuk apa mengerjakan sesuatu yang tidak diinginkan? Dikta tidak ingin berhenti di tengah jalan jika ia jadi masuk ke sekolah musik nantinya. Itu pasti lebih mengecilkan hati papanya kalau tahu ia gagal. Lebih baik jujur diawal. Lagipula, Dikta merasa sudah besar untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Karena cepat atau lambat, dia akan berdiri di atas kakinya sendiri, menantang dunia sendiri tanpa ada lagi bayang-bayang orangtuanya.
"Andai kau izinkan ... walau sekejap memandang, akan kubuktikan kepadamu ... aku memiliki rasa ...."
Suara Halim yang berat namun berkarakter terdengar merdu saat diiringi suara gitar. Dikta menyunggingkan senyum mendengarnya lantas segera mengecilkan volume TV, membiarkan papanya bernyanyi dengan penuh penghayatan. Papa selalu suka membawakan lagu dari penyanyi favoritnya, Iwan Fals yang bertajuk "Izinkan aku menyayangimu."
Tiba-tiba saja, wajah lugu Nacil muncul saat Dikta memejamkan matanya.
"Cinta yang kupendam ... tak sempat aku nyatakan ... karena kau tlah memilih ... pintu hatimu. Ijinkan aku membuktikan ... inilah kesungguhan rasa ... izinkan aku menyayangimu... sayangku ... hooo... dengarkan lah isi hatiku. Cintaku ... dengarkanlah isi hatiku ...."
Jantung Dikta berdebar karenanya. Ia membuka mata, menoleh menatap papanya yang terus bernyanyi. Kembali Dikta menutup matanya, membayangkan siluet wajah Nacil yang selalu menjadi salah satu sumber kebahagiaannya.
"Kamu lagi ngebayangin siapa?" Suara Halim membuyarkan angan-angannya.
Dikta membuka mata, menggaruk kepala dengan salah tingkah. "Hah? Nggak lagi ngebayangin siapa-siapa, Pa."
Halim tergelak, ia merambas gitarnya dengan pelan. "Papa itu juga pernah muda kayak kamu. Kamu pasti lagi naksir cewek, ya?"
Ditembak seperti itu, Dikta semakin gelagapan. "Hah? E-enggak. Papa ada-ada aja, hehe."
"Papa udah berpengalaman. Kamu nggak usah bohong. Kalau suka, kenapa nggak dikasih tau aja? Siapa tau berbalas," seru Halim dan tersenyum hangat, mencari celah untuk membongkar rahasia Dikta. Bukan sekali dua kali ia menangkap basah Dikta kedapatan memerhatikan Nacil secara diam-diam dari rumah mereka. Tatapannya yang penuh harapan dan kasih sayang jelas tersirat dari matanya.
Terkadang, mata berbicara lebih banyak daripada bibir.
"Haha. Nggak ada, Pa. Udah, ah! Dikta mau tidur aja," ucap Dikta, mendadak merasa malu. Ia bergerak, meninggalkan papanya sendirian di ruang tengah.
"Beneran nggak ada? Awas loh nanti diambil orang baru tau rasa kamu!" seru Halim selagi Dikta masih berjalan beberapa langkah.
Dikta hanya tertawa kecil. "Jodoh nggak akan ke mana. Hehehe."
⛅