Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 11

Pada waktu yang sama, berkilo-kilo meter dari sana, ada Azka yang duduk di teras balkon kamarnya sambil bersenandung lagu yang sama. Di bawah bulan dan bintang, diiringi suara petikan gitar dan suaranya yang lembut, Azka bernyanyi dengan seluruh hatinya.

"Sayangku ... dengarkanlah isi hatiku. Cintaku ... dengarkanlah isi hatiku ...."

Tanpa Azka ketahui, di belakangnya ada Tara yang diam mendengarkan. Pandanganya diliputi oleh kesedihan. Senyumnya pahit, seakan ia tak pernah tahu bagaimana cara melakukannya. Ia merasa nyeri di dadanya setiap kali melihat Azka belakangan ini.

Apakah dia akan kuat? Apakah dia sanggup mengatasi masalah ini? Mampukah dia bertahan tanpa ada Azka lagi di hidupnya? Tara tidak tahu jawabannya, sungguh.

"Bila cinta tak menyatukan kita, bila kita tak mungkin bersama, izinkan aku tetap menyayangimu."

Tak disangka-sangka, Azka merasakan sebuah usapan lembut di kepalanya. Tanpa menoleh pun, Azka tahu jika itu ibunya. Dia sudah mengenali tangan itu sejak lama.

"Mami udah pulang?" tanyanya tanpa menoleh. Rambasan gitarnya berubah menjadi petikan yang menimbulkan suara denting yang lembut.

Tara tersenyum lalu duduk di kursi di sebelahnya. "Iya. Kamu kok belum tidur?"

Azka menatap mata ibunya sesaat. "Belum ngantuk."

"Kamu baik-baik aja, kan?"

Entah itu pertanyaan wajar atau tidak, Azka tidak mau ambil pusing. Mungkin seharusnya ia terbiasa dengan pertanyaan itu dikarenakan mereka yang jarang bertemu.

"Iya, baik, Mi."

"Udah makan belum?"

"Udah."

Azka-nya masih tetap sama. Tidak banyak bicara. Wajahnya menyiratkan ekspresi tenang, namun juga kadang kosong pada waktu yang berbeda. Entah apa yang ada di pikirannya. Tipikal orang yang sulit ditebak.

"Mami beliin kucing loh buat kamu!" seru Tara dengan wajah sumringah.

Azka menoleh dengan wajah bingung. "Kucing?"

"Iya, sebentar ya, biar Mami ambil. Kamu pasti suka banget." Tara pergi dengan langkah sigap sementara Atha kembali memetik senar gitar kesayangannya.

Tak lama kemudian, ibunya muncul membawa seekor kucing Persia bercorak putih abu-abu muda. Bulunya lebat dan selembut sutera.

"Ini dia kucingnya! Kamu suka, nggak?"

Azka menatap kucing bertubuh bulat tersebut dengan ekspresi tak suka. "Nggak suka. Hidungnya pesek."

Tara mengerjapkan mata. "Sayang, kucing Persia itu moncongnya emang pendek. Ini jenis Persia peaknose. Dia bisa ngomong loh! Lihat, ya!" Tara menurunkan kucing bermata cokelat terang itu ke lantai.

"Puuus! Puuuus?" ucap Tara dengan nada ceria.

Kucing itu menatap Azka yang juga menatapnya. Sebenarnya kucing itu terlihat menggemaskan, tapi Azka nggak suka hidungnya. Kucing itu tampak jelek di matanya.

"Puuus? Puuus?" Tara terus mencoba sambil menjentikkan jemarinya berkali-kali.

"Meeeeooow!"

"Tuh, kan? Dia ngomong."

Azka mau ketawa tapi takut dosa. "Mi, di mana-mana, kucing itu responnya emang mengeong ...."

"Iya, itu artinya dia ngomong."

"Azka nggak mau pelihara."

Raut wajah Tara berubah kecewa. "Kenapa, Sayang? Mami belinya mahal loh ini ...."

"Berapa?"

"Kurang lebih empat puluh juta."

"Untuk seekor kucing yang hidungnya pesek?"

"Gimana kalo katanya diganti. Minimalis gitu? Jangan pesek."

Azka mendesah. "Azka nggak mau kucing, kenapa Mami beliin?"

Tara tersenyum, mengambil kucing tersebut lalu memangkunya. Mengelus puncak kepalanya dengan penuh perasaan.

"Kamu kan pernah bilang, pengen punya kucing kayak di buku yang kamu baca. Kucing ajaib yang bisa ngomong. Jadi, Mami beliin aja kucing buat kamu. Memang bukan kucing ajaib siiih ...."

Oh. Buku itu. Azka punya sebuah buku bergambar yang bercerita tentang Lexi, seekor kucing ajaib yang sebenarnya adalah seorang Pangeran yang dikutuk oleh penyihir. Kutukannya akan sirna jika dicium oleh cinta sejatinya. Yaah, memang seperti cerita dongeng pada umumnya, namun Azka tetap menyukai kisahnya.

Akan tetapi, perihal permintaannya tentang ingin punya kucing seperti Lexi kan sudah sangat lama. Kira-kira ketika ia masih berumur 8 tahun. Namun di balik itu semua, sedikit banyaknya, Azka senang karena ternyata ibunya masih mengingatnya.

Mungkin ... pada saat itu, ibunya bisa membelikannya, tapi entah mengapa, hal itu baru dilakukannya sekarang. Azka sungguh tidak paham. Belakangan ini, pelan-pelan, ibunya memberikan apapun yang dia inginkan, kecuali satu ; waktunya.

"Mami bisa kasih kucing ini ke Alani atau Aluna. Azka nggak mau pelihara. Nggak suka." Azka adalah tipe orang yang jujur. Dia akan mengatakan isi hatinya dengan gamblang tanpa harus berpikir lebih dulu.

Tahu-tahu, kucing itu melompat naik ke pangkuannya, menyundulkan kepalanya ke dada Azka seakan minta dimanja.

"Tuh, lihat deh, kucingnya suka sama kamu. Udah kamu pelihara aja, ya. Soal makan dan mandinya, nanti kamu suruh asisten rumah tangga aja," bujuk Tara.

Azka mendengus, menatap kucing berhidung pesek itu dengan jengkel. "Ya udah deh. Azka mau. Makasih ya, Mi."

Tara tersenyum lega, mengelus wajah Azka dengan penuh sayang. "Udah malem. Tidur, gih! Mama balik ke kamar, ya?"

Azka hanya mengangguk sebagai jawaban. Selang beberapa waktu kepergian ibunya, dengan gerakan cepat Azka menyingkirkan kucing Persia itu dari pangkuannya.

"Peraturan di kamar ini : nggak boleh pipis sembarangan. Ngerti?" katanya tegas pada kucing tambun tersebut.

"Meoooow."

"Bentar, lo ini jantan apa betina, sih?"

"Meoooow."

Azka ingin turun ke bawah untuk menanyakan jenis kelamin kucing itu pada ibunya tapi tak jadi karena mengingat hari sudah terlalu malam dan kamar maminya terlalu jauh di bawah sana. Ia memutuskan untuk menelepon Haris. Seingatnya Haris juga punya kucing di rumahnya, jenis Anggora. Pastinya Harus tahu gimana caranya mengetahui jenis kelamin kucing.

"Kenapa, Ka? Tumben lo nelpon?" sahut Haris di ujung sana, suaranya parau seperti baru bangun tidur.

"Gue mau nanya."

Terdengar suara Haris menguap, lalu, "Nanya apaan?"

"Gimana caranya kita tau jenis kelamin kucing? Gue dibeliin kucing, nggak tau jantan apa betina."

Samar-samar terdengar suara umpatan dari mulut Haris. "Lo nelpon gue jam sebelas malam lewat berapa nih ... dua puluh menit cuma buat nanyain jenis kelamin kucing lo doang? Lo bangsat, Mamen!"

"Jadi, gimana?" Azka seolah tak peduli dengan aksi protes Haris tersebut.

"Kalo dekat udah gue gampar lo!"

"Ini kucingnya diapain?"

"Lo perhatiin tuh di dekat anusnya, ada tonjolan nggak?"

Azka mengangkat kucing itu, menidurkannya di atas kasur dan mengangkat ekornya. "Nggak kelihatan."

"Umur berapa tuh kucing?"

"Nggak tau."

"Anggora apa Persia?"

"Katanya, Persia Penis ... penis ... gitu kalo gak salah."

"Bego lo natural banget, ya, Njir! Peaknose! Jauh kalo lo bilang penis."

"Iya, itu maksudnya."

"Hahhh!" Haris mendengus kasar, berusaha sabar. "Nggak kelihatan ya tadi? Lo grepe deh tuh kucing. Kucing jantan itu punya tiga tanda, anus, skrotum, sama yang lo bilang tadi ... penis. Kalo betina cuma punya anus sama lubang pipis doang."

Azka melirik kucing itu lagi, mengangkat ekornya dengan kasar. Tiba-tiba kucing itu mengeong keras lalu mencakar tangan Azka sehingga cowok itu menjerit kaget.

"Anjrit!!!"

"Kenapa? Dicakar? Makanya, yang selow, Mamen. Lo main kasar, siiih ...." seru Haris, seolah tahu apa yang terjadi.

"Sialan tuh kucing! Gue buang juga entar." Azka mengusap-usapkan tangannya ke baju. Ada beberapa bekas cakar di punggung tangannya yang perlahan mulai terasa perih.

"Jangan. Hibahin gue aja. Eh, by the way, berapaan tuh harganya?"

"Empat puluh jutaan kata nyokap."

"Anjiiiiir! Kucing sultan itu, mah! Empat puluh juta buat beli kucing doang? Kalo gue sayang duitnya."

"Orang kaya mah bebas."

"Iya, gue lupa kalo lo anak salah satu Crazy Rich Asian."

"Ya udah deh, besok gue tanyain aja sama nyokap jenis kelaminnya apa."

"Iya, gitu lebih bagus! Udah gue matiin nih! Mau lanjut tidur."

"Oke."

Setelah telpon terputus, Azka merebahkan tubuhnya ke kasur. Kucing itu naik ke perutnya dan duduk di sana, menatap Azka.

"Gue belum bisa kasih lo nama sebelum gue tau jenis kelamin lo apa."

"Meooooow."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel