Bab 8
Meja makan itu sudah penuh dengan berbagai macam lauk pauk. Kursi-kursi yang biasanya kosong, sekarang sudah diduduki oleh masing-masing anggota keluarga.
Azka sempat tertegun melihatnya. Tumben ritual kayak gini ada di rumahnya. Aneh. Luar biasa. Ya, walaupun sebenarnya masih ada yang kurang : saudara laki-lakinya, Andrio. Mungkin, cowok itu masih sibuk dengan kerjaannya di Palembang, pikirnya.
Tanpa basa-basi, segera dia berjalan mendekat lalu duduk di kursi di sebelah maminya.
"Kok baru turun, Sayang? Udah ditungguin dari tadi, loh," ujar maminya sembari menyendokkan nasi ke piring Azka.
Azka enggan menjawab. Dia hanya duduk, menuangkan air ke gelas lalu meminumnya dengan perlahan.
"Luna berangkat dulu, ya," seru Aluna dan bergegas bangkit.
"Luna, tunggu dulu, Sayang. Nanti Mami yang nganter kalian."
"Apa?" Pertanyaan itu terucap dari mulut Azka dan si kembar. Mereka memasang wajah terkejut pada waktu yang sama.
Tara tersenyum. "Iya, hari ini Mami yang nganter jemput kalian."
Aluna kembali duduk dengan wajah masam. "Nggak deh, Mi. Luna bawa mobil aja."
"Pulang sekolah nanti kita langsung belanja. Katanya, kemarin kamu mau tas baru...,"
Mendengar itu, senyum di bibir mungil Aluna merekah. "Bener, Mi?" tanyanya, sumringah.
Tara mengangguk, pandangannya pun beralih pada Alani yang diam. Anak gadisnya yang satu itu memang agak berbeda dengan saudara kembarnya yang gemar belanja dan meminta duit. Alani cenderung pendiam, tenang, dan dalam berbicara pun dia tampak berpikir lebih dulu. Tidak seperti Aluna yang blak-blakan.
"Hem. Gimana, Ka... lulus nanti kamu mau kuliah di mana?"
Azka berhenti menyendok nasinya lalu melihat papinya yang juga melihatnya.
"Nggak tau," jawab Azka singkat.
Air muka papinya langsung berubah, antara capek, kecewa, dan ingin marah. "Kamu mau jadi apa?"
Azka mengedikkan bahu. "Nggak tau juga."
Hampir saja Basuki membanting sendok ke meja seperti yang sering dilakukannya dulu di depan semua anaknya jika sedang marah kalau saja istrinya tidak segera memotong pembicaraan.
"Ayo, Sayang, berangkat. Nanti kalian telat," tuturnya. Dia sempat melirik suaminya dan melemparkan senyum yang bersinyal peringatan.
Basuki meletakkan sendok yang tadi dipegangnya erat ke piring dengan perasaan gusar. Mau sampai kapan menunggu? Azka sudah menunjukkan dengan sangat jelas kalau dia bukan darah dagingnya. Tidak ada kesamaan apa pun di antara mereka.
Azka tidak punya cita-cita. Dia mungkin tidak tahu apa itu mimpi besar. Setiap isi kepala Azka, bertolak belakang dengan isi kepalanya. Visi dan misi mereka pun tidak sejalan. Dan masih banyak perbedaan lainnya yang tidak bisa ditolerir lagi. Dia butuh penerus selain Andrio.
Kesunyian membuat Basuki tersadar dari lamunannya. Sigap dia beranjak dan mengambil ponselnya.
Sederet nomor muncul di layar ketika dia mengetikkan sebuah nama. Perlahan, dengan degup jantung yang semakin kencang, dia menempelkan ponsel itu ke telinga. Tak lama kemudian, terdengar bunyi tanda telepon tersambung.
"Halo?"
Detak jantungnya pun makin tak keruan sewaktu mendengar suara seorang perempuan menyahut di ujung telepon.
•••
"Yoga! Ngapain sih, ah?! Cepetan napa... entar gue telat, niiih!"
Seperti biasa, setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Tea dan Yoga selaluuu aja bikin ribut. Kalau bukan Tea yang ngaret, pasti Yoga. Emang nggak ada habisnya tuh anak berdua.
"Woi! Pagi-pagi udah berisik aja," seru Dikta yang baru keluar dari kamar. Ditariknya ujung jilbab Tea, sengaja ingin menambah kekesalan adiknya itu.
"Adoooh, Mas! Apaan, sih? Kaaan, jadi berantakan, niiih!" Tea langsung mencak-mencak.
Dikta cuma cekikikan sambil berjalan mendekat ke meja makan. "Ma, Dikta sarapan di sekolah aja, ya. Hari ini upacara, soalnya."
"Iya, nih, mau upacara! Aduuuh, Yoga, cepat napa! Ngapain sih dia?" ujar Tea makin gregetan.
"Sabar, Mbak, mungkin Yoga lagi ada yang dicari," ucap mamanya.
"Dari tadi lagi, Ma. Udah, ah, tinggalin aja! Hari ini orang upacara, telat dikit nggak boleh masuk," cerocos Tea.
"Iya, iya, nih udahan kok!" Yoga datang sambil lari-lari. Ekspresinya biasa aja, sama sekali nggak merasa bersalah. Gimana Tea nggak pengen errrrrr... nyakar tuh muka!
"Hiih, ngapain aja sih?!"
"Kepo. Yuk, cabut! Hari Senin nih, ada upacara, entar gue telat."
Tea memegang kepalanya sambil berseru dramatis, "Astagfirullahalazim! Ya Allah, kenapa adek gue harus dia, sih?"
Yoga menaikkan sebelah alisnya. "Salah gue apa, sih?"
"Ah, terserah lo deh," kata Tea akhirnya. "Ma, Pa, Tea berangkat, ya. Assalamualaikum," pamitnya kemudian setelah mencium tangan kedua orangtuanya.
"Yoga, berangkat, Ma, Pa! Assalamualaikum!" seru Yoga dan cepat-cepat menyusul Tea.
"Dikta berangkat, ya, Ma, Pa." Dikta mencium tangan papanya dengan santun lalu beralih pada mamanya. Seperti biasa, dia tidak lupa mencium hidung wanita paling disayanginya itu.
"Hati-hati, Mas, bawa motornya. Pelan-pelan aja," nasihat Mamanya sungguh-sungguh.
Dikta tersenyum. "Iya, Mamaku," katanya lalu pergi setelah mengucapkan salam.
Selepas kepergian ketiga anak mereka, suami istri itu pun mengulang obrolan yang tadi sempat terpotong.
"Aneh, kan, Pa? Masa dia tahu Dikta lahirnya kapan, di mana...,” tutur Miranda.
Telepon dari orang tak dikenal sepuluh menit yang lalu tadi ternyata mampu menggangu pikirannya. Masalahnya, orang itu sama sekali enggan menyebutkan namanya. Misterius sekali.
Bahkan, Halim sendiri pun juga turut bertanya-tanya siapa gerangan orang itu. Kenapa dia bertanya tentang Dikta?
"Terus, terakhir orang itu bilang apa?" tanyanya kemudian.
"Nggak tau, soalnya teleponnya dimatiin langsung sama dia."
Hening beberapa saat, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Ya udah, lupakan aja. Mungkin, orang iseng," ujar Halim, berusaha menenangkan perasaan istrinya yang mulai gelisah. Hal itu tampak jelas dari raut wajahnya.
"Tapi, Pa, suaranya itu kedengarannya serius banget. Duh, gini nih, Mama, kalo ada apa-apa, terus dipikirin!" kata Miranda, agak gusar.
"Udah, Ma, nggak usah terlalu dipikirin. Dia kan cuma nanya."
Miranda melengos. "Semoga aja nggak ada apa-apa. Ya udah, Papa hati-hati di jalan, ya."
Halim bangkit lalu mengulurkan tangannya yang langsung dicium Miranda. "Nanti, kalo dia nelpon lagi, jangan diangkat. Papa pergi dulu. Assalamualaikum."
"Iya, Pa, walaikumsalam." Miranda mengantarkan suaminya itu ke depan pintu. Setelahnya, dia pun kembali ke ruang makan. Lama dia terdiam, mengira-ngira siapa orang itu. Dan kenapa dia tahu semua tentang anak laki-lakinya?
Ah, sepertinya seharian ini dia akan terus memikirkannya.
••••
Mobil mewah berwarna putih mengkilap itu berhenti di halaman SMA Jaya Wijaya. Meski bukan hal yang langka, tetapi, tetap saja banyak orang yang memperhatikan mobil tersebut dengan rasa penasaran.
Sampai saat seorang cowok bertubuh jangkung keluar diikuti dua cewek kembar, barulah mata-mata itu mengalihkan pandangan. Ternyata, Azka yang usil dan sodara kembarnya yang sok cantik.
Sebenarnya, Alani sangat keberatan dengan sebutan "sok cantik" yang diberikan para haters kepada mereka. Harusnya cuma Aluna yang dibilang sok cantik karena kenyataannya demikian. Tapi, nggak tahu kenapa dia pun ikut kena getahnya. Apa mungkin karena ekspresinya yang jarang tersenyum, ya?
Di sekolah, mereka memang hampir nggak pernah terlihat ngobrol cantik berdua. Aluna punya teman sendiri, begitupun Alani. Aneh memang. Di mana-mana yang namanya anak kembar pasti akrab banget. Minimal, pernah ngobrol sambil cekikikan. Beda cerita dengan Aluna dan Alani yang malah kedapatan sering berantem.
"Nanti Mami jemput, ya," ucap Mami mereka dari balik jendela mobil.
"Bye, Mamiii!" balas Aluna. Cuma dirinya yang kelihatan ceria pagi ini.
Selagi mobil itu meluncur keluar melewati gerbang, Azka dan Alani sama-sama angkat kaki dari sana.
"Kalian kenapa, sih, belakangan ini nggak kayak biasa sama gue?" Pertanyaan itu diajukan Azka sewaktu dia dan Aluna mengambil jalur yang sama.
Alani mendadak salah fokus. Dia sampai menabrak dua orang cewek yang berpapasan dengannya tanpa sengaja.
"Nggak, kok," katanya.
"Sejak Mami beliin gue apertemen, kalian jadi aneh. Kenapa, ngiri, ya?" Azka berkata dengan tenang, sama sekali nggak peduli dengan reaksi mati kutu Alani.
"Nggak gitu, kok," sela Alani, gugup. Dia malu mengakuinya, sungguh.
"Oh, gitu, ya." Azka menggangguk berkali-kali lalu melanjutkan, "kayaknya adik-adik kecil gue yang dulunya manis, lucu, polos gitu udah nggak ada lagi. Sekarang, dua-duanya udah gede. Udah sok dewasa."
Bahu Alani terkulai lemas mendengarnya, tapi dia tidak berkata apa-apa.
"Ya udahlah lupain aja." Azka berlalu setelah mengusap pelan puncak kepala Alani.
Alani tetap bergeming sambil menatap punggung Azka yang kemudian lenyap di antara orang-orang yang berlalu lalang. Entah apa yang ada di pikiran cewek itu sekarang.
•••
Dikta dan Nacil tiba di sekolah tepat ketika gerbang mau ditutup oleh Pak Jontor, guru Olahraga yang galaknya luar biasa. Sambil bertolak pinggang, dia meneriaki semua murid yang baru datang untuk cepat-cepat berbaris di lapangan.
"Sudah tahu mau upacara, lama-lama juga kalian datang! Oalah! Cepat sedikit jalannya!"serunya dengan logat batak yang kental.
"Sabarlah, Pak, sudah cepatnya ini! Kalau bisa terbang, udah terbang kami dari tadi," sahut seorang cowok berbadan gemuk, hitam, dekil yang melewatinya. Cowok itu meniru logat guru berambut belah tengah itu dengan sempurna.
"Kau lagi Mangiut, mandi apa nggak kau tadi? Lain kali, bah, bau badanmu!"
Terdengar suara cekikian dari mana-mana. Cowok bernama Mangiut itu langsung memasang muka tersinggungnya yang amit-amit jabang bayi.
"Heeeeh, kok malah pada ngobrol kalian? Cepat sana ke lapangan!" serunya untuk kesekian kali.
Dua menit kemudian, semua peserta upacara sudah berkumpul di lapangan. Matahari yang mulai naik membuat suhu udara menjadi agak panas. Jadilah banyak dari mereka yang merasa gerah dan kasak-kusuk. Untungnya suara protokol langsung terdengar, tanda upacara sudah dimulai.
Senin ini, yang menjadi petugas upacara adalah kelas XII IPS satu, yaitu kelas Dikta. Seperti yang sudah-sudah, Dikta-lah yang ditunjuk sebagai pemimpin upacara. Tubuhnya yang proporsional tampak bagus ketika berdiri. Suaranya pun jelas dan lantang. Langkah kakinya mantap dan penuh percaya diri. Nggak heran kalau Dikta banyak yang naksir karena sosoknya yang selalu tampil perfeksionis, baik dari sisi penampilan maupun di bidang akademis. Bisa dibilang Dikta tergolong anak cerdas di sekolah.
"Kakak itu ganteng bangeeet. Kayak cowok-cowok Korea gituuu."
Nacil mengulum senyum sewaktu mendengar obrolan adik kelasnya yang berbaris di sebelahnya. Dari tadi, mereka memang terus ngelihatin Dikta. Yang benar aja, masa Dikta dibilang kayak cowok Korea! Korengan baru iya, haha! Diam-diam Nacil membatin.
"Cil, kenapa, sih, semalem gue BBM lo tapi pending terus?" bisik Mae.
"Paket gue habis. Kenapa?"
"Pantesan. Ada gosip tau nggak?"
"Gosip apa?"
Mae mendecakkan lidahnya dengan kentara. "Nanti deh di kelas. Lagi heboooh banget."
"Paaak, ada yang ngobrol, Pak!" kata Gigi dengan suara agak keras sambil menengok Pak Jontor yang sedang mengawasi di belakang.
"Emang setan nih anak, nggak bisa lihat orang seneng dikit," kata Mae, keki. Eh, yang diomongin malah ketawa-ketawa.
"Pst, udah mau mulai, tuh." Nacil berujar pelan pada Mae yang sibuk menggerutu.
Tujuh meter dari mereka, Dikta sedang berdiri dengan posisi tegak lurus. Siapa pun bisa melihat saat kedua bahunya dia tegakkan dengan gerakan mantap, sebagai tanda dia sudah siap.
"KEPADA... SANG MERAH PUTIH.... HORMAAAAAAAT... GERAK!!!" serunya lantang lalu memberi hormat. Gerakannya pun diikuti oleh semua peserta upacara dengan serentak.
Diiringi lagu Indonesia Raya, bendera merah putih itu perlahan ditarik ke atas sampai ke puncak tiang hingga berkibar-kibar ditiup angin.
Upacara selesai beberapa menit kemudian. Saat barisan baru dibubarkan, terdengar suara seorang guru perempuan berbicara melalui mikrofon.
"Jangan ada yang ke kantin! Langsung masuk ke kelas!"
Cuma sebagian murid yang mau menuruti perintahnya, sementara yang lain tetap berlarian ke kantin untuk sekedar mengisi perut dengan gorengan.
"Pasti lo nggak percaya sama apa yang mau gue bilang!" seru Mae pada Nacil setibanya di kelas.
"Apaan?" tanyanya, penasaran.
"Biya dikeluarin dari sekolah gara-gara ketahuan tekdung!"
"Hah? Sumpah? Kata siapa?" Nacil nggak bisa menyembunyikan kekagetannya. Dia juga baru ingat kalau dari tadi dia tidak melihat cewek itu.
Adalah Adara Biya, teman sekelas mereka yang paling pintar. Nggak tanggung-tanggung, cewek itu sering jadi juara umum di sekolah. Bahkan, dia sering ditunjuk untuk ikut cerdas cermat tingkat nasional.
Bagi Nacil, Biya itu perfect. Dia punya semuanya yang cewek-cewek inginkan. Pintar, cantik, dan anak orang kaya. Tapi, kok bisa sih, Biya melakukan itu?
"Semua udah pada tau ceritanya. Udah hamil empat bulan malah. Nggak nyangka, kan, lo? Padahal, bentar lagi ujian akhir. Gimana coba, sayang banget, kan?" cerocos Mae, tidak habis pikir.
Nacil melihat sekelilingnya dan mendapati banyak teman sekelasnya, terutama cewek-cewek, sedang membentuk satu kerumunan di meja Tania, teman dekat Biya. Mereka pasti membahas topik yang sama, pikirnya, agak miris.
"Sayang banget, ya. Nggak nyangka...," tutur Nacil pelan.
"Katanya, sih, atas dasar suka sama suka. Bego deh tuh si Biya. Masa depannya hancur cuma karena nafsu sesaat. Astagfirullahalazim!" kata Mae lagi.
"Itulah kenapa jadi jomblo itu kadang baik," balas Nacil, mulai bisa mengambil hikmah dari masalah orang lain.
"Alasan aja lo, Mblo."
"Berarti, sekarang di kelas kita nggak ada yang pintar, ya."
"Nggak ada. Tinggal yang bego semua."
•••