Bab 9 Topeng
Bab 9 Topeng
Sebelum aku mencapai tangga dan menuruninya, aku tak sengaja melihat pintu ruangan di ujung koridor sedikit terbuka. Aku sempat melihat Aaron memasuki ruangan itu sebelum ia berangkat. Mungkinkah itu kamar Aaron? Apakah Aaron sudah pulang? Aku tidak mendengar ia datang.
Rasa penasaranku membawaku menjauhi tangga, dan berjalan menuju ruangan di sudut tergelap koridor itu. Semoga Aaron benar-benar sudah pulang dan membawa sesuatu yang bisa membuatku merasa lebih tenang.
“Aaron? Kau sudah pulang?” Aku melongok ke dalam kamar Aaron melalui celah kecil yang terbuka di ambang pintu.
Di mana dia?
Aaron tidak ada di mana pun di dalam kamar. Dan kurasa tidak ada yang aneh di sana. Semua terlihat normal, seperti kamar seorang lelaki pada umumnya, namun terlihat lebih rapi. Sebuah lemari besar berdiri berseberangan dengan ranjangnya. Di sudut kamar, ada sebuah akuarium berukuran sedang dengan ikan-ikan kecil berwarna-warni dengan airnya yang sedikit keruh. Di samping lemari, dua potong kemeja dan sebuah jaket tergantung di kapstok baju.
Tunggu. Sepertinya aku mengenal jaket katun berwarna iron gray yang tergantung itu. Bukankah itu jaket milik Edmund?
Kenapa bisa ada jaket Edmund di dalam kamar Aaron? Apa aku tidak salah lihat?
Tanpa kusadari aku memperlebar jalanku untuk masuk ke dalam kamar Aaron. Seperti yang kuduga, kamar lelaki yang telah menolongku itu terlihat biasa saja. Tidak ada yang aneh. Itu adalah sebuah kamar lelaki biasa yang tidak punya daya tarik yang tinggi jika saja tidak ada jaket katun Edmund yang menggantung di sana.
Sejenak aku berpikir mungkin saja ia memiliki jaket yang sama, mengingat ada ribuan lusin jaket serupa tersebar di toko-toko dan mal di seluruh penjuru Amerika. Tetapi saat aku berjalan dan menyelidikinya lebih seksama, itu benar-benar jaket Edmund.
Sebanyak apa pun jaket dengan model yang sama itu tersebar ke penjuru negeri, tidak akan ada jaket katun berwarna iron gray yang sama yang memiliki bekas jahitan tangan dengan benang berwarna merah di sikunya. Aku sangat mengenal bekas jahitan kecil itu karena aku yang menjahitnya.
Pertengahan musim semi di tahun pertamaku kuliah, Ed menjemputku di tengah derasnya hujan yang mengguyur Boston kala itu. Siku jaketnya tersangkut pada suatu benda tajam saat ia hendak berlari menghampiriku di seberang jalan. Saat tiba di rumah, aku menyuruhnya masuk dan menjahitkan jaketnya, tapi Mama kehabisan benang dan hanya mempunyai benang berwarna merah dan warna-warna yang lebih cerah.
Sebelumnya Aaron berkata bahwa mungkin Edmund sudah pergi meninggalkanku. Lalu kenapa ia mempunyai jaket Edmund? Apakah sebelumnya Aaron bertemu dengan Edmund? Apakah terjadi sesuatu antara mereka? Aku harus mencari tahu.
Saat aku membalikkan tubuhku untuk berpikir sejenak, potret seorang wanita cantik dengan hiasan bunga mawar di rambutnya tersenyum padaku. Gaunnya yang sederhana tergores indah di permukaan kanvas yang lusuh. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai indah. Meski itu hanya sebuah lukisan, namun mata wanita di gambar itu terlihat berkilauan dalam bingkai kelopaknya yang sayu.
Siapa wanita berparas cantik ini? Apakah dia ada hubungannya dengan Aaron?
Kepalaku terasa semakin pusing seiring dengan munculnya beberapa hal tak terduga yang sama sekali tak kumengerti. Keringat mulai menetes dari wajahku, dan semua tekanan ini membuat dadaku terasa sesak. Aku khawatir asmaku kambuh di saat buruk seperti ini, tapi sepertinya—untungnya—tidak.
Aku harus keluar dari kamar ini. Sesegera mungkin sebelum...
“Sasha.” Suara itu seketika saja membuat jantungku terhenyak.
“Apa yang sedang kau lakukan di kamarku?”
Suara lelaki yang sudah tak asing lagi bagiku itu terdengar begitu berbeda. Alunan nada lembut dan terkesan ramah yang biasa keluar dari mulutnya terdengar tak kentara, bahkan sudah lenyap. Hanya suara dengan kesan berat yang ia keluarkan, begitu dingin menusuk hingga rasanya tubuhku tak bisa bergerak. Otot-otot di tubuhku menegang, dan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku.
“A… Aaron. Ini tak seperti yang kau bayangkan!”
Aaron tidak menjawab. Ia hanya mematung di ambang pintu tanpa bergerak sedikit pun, dengan wajah yang begitu datar—dan itu membuatku, entah kenapa, merasa takut.
Aku memalingkan wajahku pada jaket yang tergantung. “I… itu… itu jaket Edmund. Ke… kenapa kau bisa memilikinya?”
Aku sangat berharap wajah Aaron berubah sendu seperti saat ia mengatakan bahwa Ed mungkin saja meninggalkanku, lalu memalingkan wajahnya, merasa bersalah atas apa yang tidak ia lakukan. Atau mungkin tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya tak gatal, seperti seorang anak yang ketahuan mencuri permen dari toples ibunya, haha hehe sambil menjelaskan kalau ia tak sengaja menemukannya, lalu meminta maaf karena menyembunyikannya dariku.
Apa saja demi mengalihkan topik atau setidaknya mencoba untuk meyakinkanku. Tapi ia tidak. Ia tidak melakukannya. Ia hanya berdiri kaku di ambang pintu dengan wajah datarnya yang menyeramkan. Sorot matanya yang tajam membuatku menggigil. Aku tahu aku salah karena telah melanggar perjanjian. Tapi… tapi....
“Ma… maafkan aku, Aaron. A… aku tidak bermaksud untuk….”
“Kenapa kau ada di sini?”
Suara Aaron kini terdengar lebih rendah lagi. Begitu berat tanpa emosi. Aku ingin menjawabnya, namun aku tak memiliki keberanian untuk itu.
Kaki Aaron mulai bergerak, melangkah masuk dan datang menghampiriku. Spontan kakiku yang masih gemetar melangkah mundur seirama dengan hentakan kaki Aaron yang berat. Ia terus melangkah maju, dan aku terus mundur.
Matanya yang dingin terus tertuju padaku, tanpa ada sedikit pun keinginan untuk menoleh. Ia terus berjalan hingga akhirnya punggungku terantuk pada dinding, dan Aaron yang berada sekitar lima inci di hadapanku menggebrak dinding dan mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi.
“Hah? Kenapa, Sasha? Bukankah sudah kuperingatkan dirimu untuk tidak masuk ke kamarku jika kau ingin tinggal di sini lebih lama lagi?” Pertanyaan itu kini lebih mirip dengan bentakan yang terhujam langsung ke jantungku.
Lututku terasa lemas, dan dadaku berdegup sangat kencang. Wajah dingin Aaron kini berada sangat dekat dengan wajahku. Sangat dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya yang tersengal panas.
“Kenapa, hmm?”
Aku tidak tahan lagi. Napasku mulai tidak beraturan. Aku pun sudah sebisa mungkin menahan air mata yang memberontak ingin keluar. Ada apa dengan Aaron? Kenapa ia begitu berbeda? Apakah ini benar-benar Aaron yang kutemui kemarin malam?
“A… aku....” Pada akhirnya aku mengatakan semuanya dengan suara yang gemetar. “Aku melihat jaket Edmund tergantung di dalam kamarmu. A… aku penasaran, kenapa kau bisa memiliki jaket Edmund?”
“BUKANKAH SUDAH KUBILANG UNTUK JANGAN MASUK KE KAMARKU!?” bentak Aaron dengan suara yang melengking murka. Ia mencengkeram tanganku, lalu menyeretku keluar kamar secara paksa.
Cengkeramannya yang kuat dan tarikannya yang sangat kasar membuatku mengerang keskitan. Dengan berderai air mata, aku terus meminta maaf dan memohon padanya untuk melepaskanku. Namun ia sama sekali tidak menghiraukanku. Telinganya sudah tertutup rapat, pun hatinya.
TO BE CONTINUED