Bab 8 Pulanglah
Bab 8 Pulanglah
Keheningan di dalam ruangan pun menyeruak, membiarkan cuitan burung di luar sana mengisi kekosongan di antara kami. Senyuman di wajah Aaron memudar. Ia memejamkan matanya, lalu menghela napas panjang sebelum ia kembali berbicara. “Aku khawatir tidak bisa membiarkanmu lebih lama di sini.”
DEG. Sudah kuduga aku akan merasa kecewa.
“Tapi Aaron-” Aku mencoba untuk kembali meminta, tapi perkataanku dipotong olehnya.
“Dengar, Sasha. Keadaan di sini cukup berbeda. Aku khwatir kau tidak akan bisa menyesuaikan dirimu di sini.” Aaron meletakkan butiran pil dan segelas air di samping piring roti.
“Aku bisa. Aku sering melakukannya,” sanggahku, membayangkan kembali pengalaman masa kecilku yang sudah berpindah rumah hampir tiga kali—empat dengan kepindahanku ke asrama kampus saat pertama masuk kuliah.
Aku sudah terlatih. Tidak seharusnya dia meragukanku. Apa aku masih terlihat meragukan baginya?
“Maksudku… ayolah, girl. Aku hanya khawatir padamu. Keluargamu juga pasti mengkhawatirkanmu.” Apa yang dikatakan oleh Aaron tidaklah salah.
“Justru karena itu!” Bentakku dengan suara yang bergetar. Keheningan kembali menyeruak, dan aku kembali meneteskan air mata. Aku merasa buruk atas diriku sendiri. Karenanya, sebelum Aaron berpikir lebih buruk tentang diriku, aku pun menurunkan suaraku—hampir berbisik—seraya mencoba untuk menahan semua air mataku.
“Justru karena kekhawatiran orang tuaku lah aku tidak bisa pulang dulu.” Aku menunduk sesaat. Kemudian aku menceritakan semua yang terjadi sebelum kami berangkat ke Waitsfield. Tentang aku dan kebohonganku pada Mama dan Papa. Tentang study tour fiktif yang menjadi alasan mengapa kedua orangtuaku mengizinkanku pergi berlibur ke Waitsfield berdua saja bersama Edmund. Tentang orangtua Ed yang terkadang selalu membuatku merasa gelisah. Aku menceritakan semuanya pada Aaron yang kini menatapku nanar.
Aku harap Aaron mengerti dan mau menampungku lebih lama lagi sampai aku memiliki rencana yang benar-benar matang.
“Karenanya, aku tidak bisa pulang dulu. Tidak sebelum aku menemukan Edmund. Atau setidaknya mendapat kepastian dari keberadaan Edmund.” Aku menunduk memikirkan kondisi Edmund yang entah bagaimana sekarang, aku juga berharap kalau Aaron akan mengabulkan keinginanku.
Aaron tidak berkata apa pun. Aku pun tidak bisa mengetahui ekspresi wajahnya karena aku tak sanggup untuk mengangkat kepalaku. Mungkin sekarang ia merasa benci. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan apa yang ia pikirkan tentangku.
Aaron, tanpa kusangka menggenggam tanganku dengan erat. Sentuhannya, tidak seperti kemarin malam, terasa begitu hangat. Mungkin karena ia telah mendapat kehangatan dari sinar mentari pagi, atau mungkin kehangatan itu datang dari dirinya sendiri.
“Sasha.”
Aku menengadahkan kepalaku, dan menatap wajah Aaron. Mata beriris kelabunya menatapku balik. Rasanya seperti saat pertama kali kami saling beradu pandang, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Meski begitu, ia telah menjeratku sepenuhnya, dan membuatku, untuk sekali lagi, berharap.
“Kau boleh tinggal di sini lebih lama lagi.”
Aku terkejut dengan apa yang Aaron ucapkan. “Benarkah?”
Ia mengangguk perlahan, lalu tersenyum nanar. “Mana mungkin aku tega membiarkan seorang gadis sepertimu berada dalam kesusahan?”
Refleksku mendorong tubuhku untuk memeluk Aaron secara spontan. Aaron tidak memberontak, atau berkata apa pun. Tapi karena tidak enak, aku pun segera melepaskan pelukanku. “Maaf.”
“Tidak apa-apa,” balas Aaron santai. Ia berjalan menuju keluar, namun berhenti tepat sebelum ia meraih gagang pintu.
“Sekarang, habiskan sarapanmu. Nanti dingin. Jangan lupa minum obatnya juga. Kalau kau mau mandi, kau bisa gunakan kamar mandi di sebelah ruangan ini.”
“Tunggu dulu, Aaron!” seruku mencegah Aaron untuk kembali menghilang di balik daun pintu.
“Setelah ini… bisakah kau mengantarku ke kantor polisi terdekat? Kurasa lebih baik aku melaporkan apa yang terjadi padaku kemarin. Mungkin saja polisi bisa membantu kita menemukan Edmund.”
“Tidak!” Aaron berbalik dan kembali menghampiriku dengan wajah menegang.
Aku mengerutkan dahiku. “Tidak? Apa maksudmu tidak?”
“Ah, maksudku biar aku saja yang pergi. Sebaiknya kau istirahat saja,” ujar Aaron. “Kau bilang kau meninggalkan kopermu di sebuah hostel, kan? Aku akan membawakannya untukmu dan melakukan check out. Itu pun jika kau tidak keberatan.”
“Kau sungguh baik, Aaron. Aku berhutang banyak padamu,” balasku seraya tersenyum tipis.
Aaron membalas senyumanku dengan tulus. Aku tidak tahu lagi, lelaki ini terlihat begitu sempurna. Aku… benar-benar terpesona.
“Ah, ini alamat hostelnya. Kau juga harus membawa kunci kamarku dan Edmund. Ceritakan saja apa yang terjadi kemarin pada Karen.” Kuraih tas selempang yang tergantung di punggung ranjang, dan kucari apa yang aku—dan Aaron—butuhkan. Beruntung kunci kamar Edmund aku yang pegang.
“Karen?”
“Ah, resepsionis hostelnya.”
“Baik.”
Aaron mengambil semua yang ia butuhkan, lalu berjalan menuju daun pintu. Sebelum ia benar-benar menghilang, ia kembali berbalik dan menyampaikan sebuah pesan dengan air mukanya yang serius.
“Ah, iya. Sasha. Selama aku pergi, tolong jangan pergi ke mana pun. Dan apa pun yang terjadi, jangan pernah masuk ke kamarku! Ini berlaku setiap saat, selama kau ada di sini. Jika kau ingin tinggal lebih lama lagi, tolong turuti apa kataku.”
Aku tidak mengerti dengan apa yang ia katakan, juga dengan wajahnya yang seketika berubah menjadi lebih serius dengan alis yang menukik dan bibir yang menekuk tidak ramah. Meski begitu, aku menganggukkan kepalaku.
Lagi-lagi, Aaron tersenyum. Begitu manis, namun juga misterius. “Bagus.”
**
Matahari sudah berada tepat di atas ubun-ubun, namun Aaron masih belum juga pulang. Perjalanan menuju pusat kota Waitsfield mungkin memakan cukup waktu dari sini, dan kantor polisi terdekat juga mungkin tidak sedekat yang kupikirkan. Tapi, hatiku masih belum bisa tenang jika Aaron belum pulang.
Sudah cukup lama aku duduk di dalam kamar, dan kurasa sudah cukup puas aku melihat pemandangan hijau yang diterpa cahaya matahari dari jendela kamar. Jika saja Aaron tidak mencegahku untuk pergi ke mana pun, aku akan kembali ke lokasi dimana aku dan Edmund kembali terjatuh untuk mencari petunjuk.
Tapi, aku merasa aneh dengan Aaron. Ia tidak seharusnya melarangku dengan keras untuk masuk ke kamarnya. Maksudku, tanpa diberitahu pun aku tak akan berani mengganggu privasi seseorang, apalagi orang sebaik Aaron.
Memangnya ada apa di kamarnya? Kenapa ia melarangku masuk ke dalam kamarnya? Sejak awal, Aaron emang agak aneh meski ia memiliki sifat yang baik dan lembut. Dan meskipun aku mengiyakan peringatan Aaron, sekarang justru aku merasa semakin penasaran.
Tidak. Apa yang kupikirkan? Aku tidak boleh berlaku tidak sopan seperti itu.
Aku berjalan keluar kamar. Sebelum pergi, Aaron sempat berpesan jika dia belum kembali saat waktu makan siang ku bisa menggunakan semua bahan di dapur untuk memasak sesuatu. Meski ia sudah mengizinkan, sebenarnya aku masih merasa tidak enak. Tapi karena perutku sudah keroncongan sejak tadi, aku rasa aku akan membuat sesuatu. Aku juga akan membuatkan Aaron sesuatu.
Jadi, apa yang harus aku buat untuknya?
TO BE CONTINUED