Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Noda di Ujung Ruangan

Bab 7 Noda di Ujung Ruangan

Bagian dalam rumah Aaron ternyata tak seluas yang kubayangkan. Mungkin karena propertinya yang cukup banyak. Di hadapanku, sebuah tangga kayu berwarna coklat terang membuka jalan menuju lantai atas. Cahaya temaram di ruangan di samping kiriku menggodaku untuk masuk—itu adalah ruang tengah yang memiliki perapian yang menyala. Aku kira Aaron akan membawaku ke sana, tetapi ia malah menuntunku menaiki tangga.

Aaron membawaku pada sebuah kamar kecil dengan interior minimalis. Lampunya yang berwarna temaram, entah kenapa, membuatku merasa nyaman bahkan saat pertama kali aku memasukinya. Begitu aku duduk di atas ranjang kecil yang menghadap ke jendela, aku merasa langsung ingin berbaring di atasnya.

“Untuk sekarang istirahat saja dulu. Aku akan menyiapkan perlengkapan P3K dan makanan untukmu,” ujar Aaron.

“Terima kasih banyak atas pertolonganmu,” timpalku seraya tersenyum, yang dibalas Aaron oleh senyuman lagi.

Untuk sementara aku bisa bernapas lega. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan lelaki tampan yang kujumpai di Camel’s Hump dengan cara yang tak terduga. Lelaki berhidung mancung dan memiliki rahang tegas itu datang sebagai penyelamatku. Meski ada perasaan berat yang masih mengganjal, aku sangat beterima kasih padanya.

Terima kasih Aaron. Sungguh, terima kasih banyak.

Tetapi, rasa tenangku itu tidak akan bertahan lama. Cepat atau lambat aku harus pulang. Masalahnya, bagaimana? Bagaimana caranya aku pulang? Dan apa yang harus kukatakan saat pulang nanti? Aku sudah kadung berbohong pada orang tuaku. Tak mungkin aku akan membohongi mereka lagi. Selain itu, situasinya benar-benar rumit.

Entah apa yang harus aku katakan. Rasanya semuanya terlihat sulit. Bagaikan masuk ke dalam gua gelap tanpa ujung dan cahaya sedikit pun.

Jika aku mengatakan yang sebenarnya, orang tuaku mungkin saja membunuhku—atau bahkan lebih buruk lagi. Jika aku harus berbohong lagi, secara tidak langsung aku akan menyeret nama kampus ke hadapan orang tuaku. Mereka akan mendatangi kampus, dan masalah yang lebih besar akan meledak.

Selain itu, bagaimana dengan Ed? Bagaimana jika orang utanya tahu kalau dia mengalami kecelakaan dan menghilang saat berlibur denganku? Liburan ini memang ide Edmund, tapi orang tuanya tidak akan menerima alasan apa pun. Aku mengenal ibu Ed. Ia adalah wanita yang selalu memanjakan anaknya, meski ayah Ed lebih tegas dan keras. Keduanya susah diajak berkompromi, dan mereka akan menghabisiku tanpa kompensasi apa pun.

“Sasha? Ada apa?” Suara lembut Aaron membangunkanku dari lamunan. Aku sedikit tersentak saat ia menyentuh bahuku. Aku berharap ketenangan Aaron merambat padaku melalui sentuhannya, dan rasa nyaman saat Aaron memelukku kembali. Namun, semua pergolakan dalam batinku malah membuat jantungku berdebur lebih kencang.

“Bagaimana caranya aku pulang? Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada orangtuaku dan orang tua Ed?” racauku diselimuti kebingungan.

“Aku akan mengantarmu pulang besok,” timpal Aaron tanpa pikir panjang.

“Besok?” tanyaku tidak percaya. Namun, lebih pada penolakan.

Aaron mengangguk pilu. “Ya. Kau tidak boleh berada di sini lebih lama lagi. Besok kau harus pulang dan tak boleh datang lagi ke sini.”

Aku tersentak kaget. Sebelumnya ia sesumbar berkata akan menolongku. Sekarang? “Kenapa? Kau bilang akan menolongku. Bagaimana dengan Ed?”

Wajah Aaron kini terlihat lebih masam. “Aku sudah menolongmu, dan besok kau harus pulang.”

“Tidak!” Entah dari mana aku mendapatkan kekuatan untuk membantah Aaron. “Kumohon, jangan dulu! Kau tidak tahu betapa rumit situasi yang sedang kuhadapi. Selain itu, aku belum tahu nasib Edmund. Kumohon izinkan aku tinggal lebih lama lagi!”

Raut sendu Aaron membuatku merasa tidak enak. Sebenarnya aku juga tidak ingin merepotkan ia lebih lama lagi—mungkin ia juga punya alasan tersendiri kenapa ia ingin aku pulang besok. Hanya saja aku tak punya pilihan lain. Aku tak punya pilihan selain mengandalkan Aaron untuk membantuku menghadapi krisis ini.

Tanpa diduga, tiba-tiba Aaron menyunggingkan senyum tipis. Bukan sebuah senyuman yang berarti, tapi detak jantung yang sebelumnya berdenyut kencang kini perlahan melemah, hingga akhirnya perasaanku menjadi lebih tenang. Untuk beberapa saat, aku sangat terpesona dengan senyumannya itu.

Lelaki ini sungguh misterius. Aura yang terpancar dari tubuhnya membuatku merinding, namun juga membuatku merasa tak ingin berada jauh darinya.

“Ini sudah malam. Sebaiknya kau beristirahat. Soal itu, kita bicarakan saja besok pagi.” Aaron berjalan menuju pintu. sebelum ia keluar, ia menoleh padaku untuk beberpa saat, dan ia kembali tersenyum sebelum akhirnya ia menghilang di balik pintu.

“Selamat malam, Sasha.” Kata-kata terakhirnya yang masih bisa kuingat malam itu.

**

Aroma gurih bawang putih yang berpadu dengan peterseli yang segar menggelitik hidungku. Wangi sedapnya yang lembut dan ringan memaksaku untuk terbangun dari mimpi yang begitu singkat. Nuansa rumahan yang kurasakan saat ini membuatku berpikir—dan berharap—kejadian semalam hanyalah mimpi—sebuah mimpi buruk dengan sedikit bumbu menyenangkan di dalamnya. Mama ada di samping tempat tidur untuk membangunkanku, lalu mengomeliku karena susah untuk terbangun. Itu terasa begitu menyenangkan, setidaknya kali ini.

Namun, saat aku membuka mataku, pemandangan kamar tempatku tidur saat ini berbeda dengan kamar di rumahku maupun di asrama kampus. Ruangan minimalis yang didominasi warna krim coklat yang manis. Tidak banyak interior di dalam kamar ini: lemari kecil di sudut ruangan, meja belajar dengan lampu meja dan beberapa buku yang bertumpuk, karpet bulu yang tidak menutupi seluruh permukaan lantai kayunya, lalu tirai berwarna hijau rumput yang telah tersibak dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar.

Ternyata semua itu bukanlah mimpi. Sebagian diriku sangat menyesalinya, dan sebagiannya lagi merasa bersyukur. Mungkin itu karena kehadiran lelaki pemilik rumah ini.

Aroma makanan hangat itu kembali menguar. Saat aku beranjak dan menoleh pada meja di samping tempat tidurku, semangkuk cream soup dengan didampingi roti panggang dengan ceplokan telur dan bacon sudah menantiku. Wangi lemak yang menguar dari bacon dan telur mata sapi memanjakan hidungku. Apakah Aaron yang menyiapkan semua ini?

Seluruh tubuhku terasa sakit saat aku mencoba untuk turun dari ranjang. Meski begitu, kupaksakan diriku untuk meraih mangkuk porselen berisi makanan yang sepertinya enak itu. Aku belum makan sejak sarapan terakhir sebelum keberangkatanku ke Camel’s Hump. Edmund juga tidak membawaku ke tempat makan, meski sepanjang perjalanan dia memberiku beberapa cemilan manis yang kusukai.

Pintu berderit tepat saat aku hendak memasukkan suapan pertamaku. Aaron muncul dengan beberapa butir pil dan segelas air di tangannya. “Ah, maaf mengganggu sarapanmu. Aku membawakan pil pereda nyeri untukmu.”

Sup yang baru saja kulahap meluncur ke kerongkonganku. Rasanya sangat enak. Di dalamnya terdapat potongan ayam berbentuk dadu dan beberapa sayuran seperti wortel dan jamur. Aku kemudian menaruh kembali mangkuk sup itu ke atas meja. “Terima kasih atas semuanya, Aaron. Aku sangat terbantu.”

Aaron tersenyum tipis. “Tidak masalah.”

“Lalu, bagaimana dengan yang kemarin kita bicarakan?”

TO BE CONTINUED

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel