Bab 6 Seberkas Cahaya Semu
Bab 6 Seberkas Cahaya Semu
Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Aaron itu menjulurkan tangannya. Dengan ragu, kusambut dan kuterima jabat tangannya. Demi tuhan, tangannya terasa begitu halus. Juga dingin.
“Sasha. Sasha Tybur.”
“Baiklah, Sasha. Apa yang terjadi?” Aaron mengulang pertanyaannya dengan suara yang masih sama: dalam dan lembut.
Aku menceritakan semuanya pada Aaron. Tentang liburan kami di Waitsfield, kunjungan kami ke Camel’s Hump State Park, perjalanan malam yang gila, hingga akhirnya Edmund menabrak pembatas jalan dan mobil kami terperosok ke dalam jurang. Aaron mendengarkanku dengan sangat seksama. Sorot matanya terlihat sendu saat aku membicarakan hal buruk yang terjadi. Sesekali ia menggumamkan sesuatu seperti “oh, tidak.” atau “astaga”. Empatinya membuatku terus menceritakan semuanya, hingga secara tak sadar air mata sudah membasahi pipiku.
“Kau sudah mengalami hari yang berat,” ujar Aaron dengan suara rendahnya yang bersimpati. “Beruntung kau masih selamat.”
“Iya. Tapi tidak dengan Edmund. Aku tidak tahu dia ada dimana. Aku sungguh cemas.” Isak tangisku semakin mengencang. Perasaanku campur aduk tidak karuan.
Tak kuduga, Aaron beringsut mendekatiku, lalu merengkuhku. Ia menenggelamkanku dalam pelukannya yang terasa… hangat. Dan menenangkan. Air mataku membasahi sweater hitam dengan kerah turtleneck yang ia kenakan, tapi ia justru semakin mempererat pelukannya.
“Sudahlah, tidak apa-apa.” Aaron meletakkan senternya, dan lebih memilih menggunakan tangan kanannya untuk membelai kepalaku, mengusap rambut panjangku yang terasa lengket dan kusut dari atas hingga ke ujung rambut yang tergantung di pertengahan punggungku. Ia terus melakukannya secara berulang.
“Kau tahu, aku bisa memberimu pertolongan.”
Bisikan yang Aaron ucapkan dari bibir belphiltrum tajamnya terdengar seperti sebuah mantra cinta yang begitu menggoda. Rasanya hatiku menjadi setenang air di danau kristal setelah mendengar bisikannya, namun juga tidak tenang dalam waktu yang bersamaan. Hatiku bimbang, tetapi saat ini aku butuh pertolongan. Tapi, aku tidak tahu.
Lelaki itu, sepertinya, telah berhasil menjeratku dan menarikku ke dalam pesonanya yang luar biasa. Sangat memikat.
Namun, aku juga sadar, aku terlalu hanyut dalam perasaan nyaman yang bersifat sementara.
Aaron melepaskan pelukannya. Ia memegang kedua bahuku dan mencoba membuatku agar tetap tegak. Aku rasa ia sudah menyadari bahwa aku sudah semakin kelelahan, ditambah dengan kondisiku yang benar-benar kacau.
“Sudah merasa lebih baik?” Aaron memegang sebagian helaian rambut sampingku, lalu menyingkapkannya ke belakang telingaku.
Aku mengangguk perlahan, meski perasaan tak karuan itu masih bergumul di dalam benakku.
Kini Aaron melepaskan diriku seutuhnya, lalu berdiri sambil menepuk-nepuk lututnya yang dilindungi celana chino panjang berwarna krem. Warna coklat yang menodai lutut Aaron tidak sepenuhnya pudar, namun sepertinya itu bukan masalah. “Sebaiknya kita pergi dari sini. Rumahku tidak terlalu jauh. Jika kau tidak kuat berjalan, aku bisa menggendongmu.”
“Tunggu dulu! Bagaimana dengan Edmund? Aku harus mencarinya!”
“Lupakan pacarmu! Dia mungkin saja sudah meninggalkanmu!” Sentakan Aaron membuatku tertegun untuk beberapa saat. Binar di mata pemuda itu memudar, dan raut wajahnya berubah tegang, lalu sendu. Air mukanya berkata bahwa ia sungguh menyesal, namun mau bagaimana lagi?
Tetapi aku masih tidak percaya. “Bagaimana mungkin dia tega meninggalkanku begitu saja? Aku sangat mengenalnya. Seburuk apa pun dia, dia tidak akan meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Aku juga yakin dia juga pasti terluka. Aku harus mencarinya!”
Aaron kembali bertekuk lutut. Bukan untuk meminta maaf atau semacamnya. Justru ia kini menatapku dengan tatapan tajamnya yang berbeda dengan mata penuh belas kasihnya beberapa saat yang lalu, seolah ia yang paling berkuasa saat ini, dan aku harus menurutinya. Ia pun meraih kedua pergelangan tanganku dan mengeratkan pegangannya. Aku hampir saja mengerang kesakitan sebelum akhirnya binar di manik matanya kembali berkilau.
“Sasha, ini sudah malam. Jika kau tetap ingin mencari Edmund, setidaknya tunggu sampai besok. Kau perlu perawatan dan butuh istirahat. Silakan saja kalau kau ingin mencari pacarmu itu, tapi tolong lakukan saja setelah kau pulih. Namun, aku bisa pastikan kalau Edmund tidak ada di sini atau di mana pun.”
Lelaki itu kembali membuatku bimbang. Untaian kata yang ia ucapkan lagi-lagi membuatku merasa bahwa apa yang ia katakan itu benar, meski nuraniku masih ingin membantahnya.
Kupalingkan wajah kusutku, namun jemari Aaron yang dingin dan halus itu menjawil daguku dan membawaku kembali ke dalam pesonanya yang begitu cemerlang. Tidak ada senyuman dalam penantian Aaron saat ini. Namun sepertinya jawaban yang akan kuungkapkan sekarang bisa membuatnya tersenyum.
Dan benar saja, ia langsung tersenyum saat aku mengangguk pasrah di hadapannya. Sungguh sebuah senyuman yang menawan dengan garis bibir yang melengkung sempurna. Dalam cahaya mungkin Aaron akan melihat wajahku yang merona. Syukurlah keadaan di sini gelap.
“Bagus,” ucap Aaron. “Kita pergi sekarang?”
“Tunggu dulu. Aku harus mengambil tasku dari dalam mobil.”
**
Saat Aaron memperkenalkan dirinya sebagai warga lokal, yang ada dalam bayanganku adalah kehidupan Aaron yang diisi dengan interaksi sosial yang erat dan menyenangkan bersama orang-orang yang tinggal di sekitarnya, mengingat ia adalah lelaki yang begitu baik dan ramah, dan karena orang desa atau kota kecil identik dengan hubungan sosial mereka yang erat antar satu sama lain. Namun, saat aku melihat Aaron menunjuk sebuah kabin megah yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi, semua bayangan itu lenyap seketika.
Rumah besar yang didominasi warna putih itu berdiri megah di sebuah ruang luas di antara pepohonan tinggi yang menjulang. Aku tidak bisa begitu jelas melihatnya, namun desain rumah dengan atap segitiga itu terlihat begitu klasik dengan dinding granitnya.
Berandanya juga cukup luas dan terlihat nyaman dengan dua kursi santai beserta mejanya di samping daun pintu. Jendela-jendela yang memancarkan cahaya lampu dari dalam rumah, serta asap yang mengepul dari cerobong seolah menyambut hangat kedatanganku ke kediaman Aaron.
Masalahnya, aku tidak melihat satu pun rumah di sekitarnya. Hanya pepohonan dan semak belukar, serta jalan berbatu yang entah ke mana ia menuju. Dan rumah Aaron.
“Kita sudah sampai.” Aaron menurunkanku dari gendongannya. Cukup memalukan memang, namun kakiku benar-benar lemas sehingga aku kesulitan untuk berjalan, apalagi di tengah kegelapan seperti ini, meski Aaron membawa alat penerangan sekalipun.
“Kau benar-benar tinggal di sini?” tanyaku tak percaya.
“Ya, begitulah,” jawab Aaron enteng. “Ini rumah keluargaku. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja karena hanya aku yang tersisa di sini.”
Aku menunduk lesu. “Maaf.”
“Tidak apa-apa,” balas Aaron seraya tersenyum tipis. Ia menggenggam tanganku, memapahku menuju ke dalam rumah. “Yah, meskipun aku sedikit capek jika harus terus bolak-balik ke kampus.”
Dahiku mengernyit. “Kau seorang mahasiswa?”
Aaron mengangguk perlahan. “Tahun terakhir. Tidak terlalu sibuk.”
Mulutku membentuk huruf O kecil tepat setelah Aaron memungkas kalimatnya. Dan saat itu pula, kami sudah berada di ambang pintu. Aaron membukakan pintu, dan mempersilakanku untuk masuk terlebih dahulu.
TO BE CONTINUED