Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Lelaki yang Muncul dari Kegelapan

Bab 5 Lelaki yang Muncul dari Kegelapan

Perasaan hampa menyelimutiku di tengah kegelapan. Aku sudah tidak tahu lagi mesti berbuat apa.

Rasa nyeri yang berdenyut di kepalaku begitu hebat kurasakan, membuatku tak bisa bertahan lebih lama lagi untuk terus terpejam. Aku tidak tahu kenapa aku terpejam, dan tidak tahu sejak kapan aku terpejam. Pemandangan gelap yang kutangkap saat membuka mata terlihat samar, namun perlahan semuanya terlihat jelas. Aku sedang berada di dalam mobil.

Pikiranku berkabut. Pusing yang kurasakan memperburuk keadaan. Aku berusaha mengingat-ngingat apa yang bisa kuingat. Namaku Sasha Tybur, seorang mahasiswi tahun kedua dari New York, seorang violinist amatir yang menyukai makanan manis, mempunyai pacar bernama Edmund Coil yang tampan dan urakan, dan memiliki kucing kesayangan bernama Lulu. Aku mengingat semuanya, tapi tak ingat kenapa aku berada di tempat gelap yang sepi dengan keadaan sakit di sekujur tubuhku.

Aku kembali mengingat semua yang baru saja kuingat. Namaku Sasha Tybur, seorang mahasiswi tahun kedua dari New York, seorang violinist amatir yang menyukai makanan manis, mempunyai pacar bernama Edmund Coil-

Tunggu. Edmund!

Sekarang aku ingat kenapa kepalaku begitu pusing dan seluruh tubuhku terasa sakit. Edmund tiba-tiba panik lalu membanting setirnya, berteriak histeris, menabrak pembatas jalan, dan akhirnya jatuh ke jurang. Panik kembali menyerangku setelah aku mengingat semuanya. Aku meraba dahi, wajah, bahu, tangan, dan kaki, sepertinya tidak ada luka. Sabuk pengaman masih mengikatku di jok mobil Edmund. Syukurlah.

Kemudian aku berpaling pada kursi kemudi. Meski sakit di leherku membuatku meringis, aku tetap memaksakan diriku untuk menoleh. Edmund tidak ada di kursinya. Tidak ada siapa-siapa lagi di dalam mobil, selain aku yang kebingungan.

Demi Tuhan, apakah ini serius? Aku dan Edmund mengalami kecelakaan dan kini...

“Ed! Edmund! Edmund!” Aku berteriak dengan suara yang parau, namun tidak ada siapapun yang menyahut. Kulepaskan sabuk pengaman yang membelitku, lalu aku memeriksa setiap sudut mobil. Edmund tidak ada di dalam mobil.

Edmund, kau di mana sekarang? Kau masih hidup kan? Kau tidak benar-benar meninggalkanku sendirian di sini kan? Aku sungguh kalut. Takut.

Udara dingin yang menyelinap melalui kaca mobil yang pecah hampir membekukan tubuhku. Rasa nyeri dan udara bersuhu rendah membuatku semakin sulit untuk bergerak. Meski begitu, aku tetap memaksa untuk keluar dari mobil, sambil berharap Edmund ada di luar dan mengejutkanku dengan lelucon kejutannya yang sudah basi, lalu bersujud di hadapanku karena telah menjerumuskan kami ke dalam jurang.

Setidaknya itu lebih menyenangkan dibanding jika ia tidak ada di mana pun. Ya, sungguh!

Pintu mobil mendadak macet, mungkin terhalangi oleh sesuatu di luar sana. Setelah beberapa menit mencoba, akhirnya pintu mobil itu pun terbuka—dengan dibantu dorongan kakiku. Udara terasa lebih dingin saat aku terbebas dari dalam Ford rusak yang terguling itu. aku mengencangkan jaketku erat-erat, namun tubuhku tetap menggigil. Dalam kondisi limbung, aku berjalan mengitari mobil, dengan harapan bisa menemukan Ed di sisi lain mobil. Namun ia juga tidak ada di sana.

Tanpa apa pun dan tanpa siapa pun, aku berdiri di sebuah tanah asing di dasar jurang yang berhawa tipis. Di tengah ketidak pastian itu, mataku berkeliling menatap sekitar. Hanya ada pepohonan sejauh mata memandang. Tidak ada setitik pun cahaya, bahkan dari para kunang-kunang yang sedang mencari pasangan. Dan kenyataan bahwa Edmund tidak ada di mana pun membuat air mata mulai meluncur dari pelupuk mataku. Aku duduk merengkuh kakiku di sisi mobil sambil terus berharap fajar segera menyingsing.

Udara semakin dingin, dan aku tidak tahu harus apa selain mencari cara untuk menenangkan tubuhku yang terus menggigil. Tanah ini dikelilingi oleh deretan pepohonan yang nyaris tidak memberikan celah untuk sebuah jalan yang bisa membimbingku ke suatu tempat—lagi pula aku tidak tahu harus pergi ke mana tanpa Edmund. Kegelapan yang menyelimuti seluruh hutan pun seakan membutakan siapa pun yang berusaha menerobosnya.

Saat aku sudah mulai putus asa, bunyi gemerisik belukar memecahkan keheningan, membuat tubuhku yang sesaat terduduk langsung bangkit secara tiba-tiba. Tak sadar, aku mundur beberapa langkah, lalu menoleh ke setiap sisi yang bisa ditangkap oleh penglihatanku, mencari dari mana pastinya suara itu berasal. Namun, mataku tidak bisa menembus kegelapan yang mengelilingiku, sementara suara gemerisik itu semakin menggangguku, membuat seluruh otot di tubuhku menegang dan bulu romaku berdiri. Sesuatu sedang mengamatiku, namun aku tidak tahu itu apa.

“Edmund? Kaukah itu?” harapku cemas. Namun, kenyataan berkata lain.

Tidak ada jawaban. Semuanya masih sama saja—hening. Sempat terpikir olehku untuk berjalan menghampiri sumber suara itu. Namun, otakku yang telah dipenuhi pengalaman menonton banyak film horror dan thriller mencegahku untuk melakukannya. Pada akhirnya aku kembali terduduk.

Suasana kini menjadi hening, bahkan angin pun enggan untuk kembali bertiup. Untuk sejenak aku merasa tenang. Mungkin itu hanya mamalia kecil yang memanfaatkan gelapnya malam untuk mencari makan. Namun, perasaan lega itu hilang seketika saat telingaku menangkap suara langkah kaki yang datang. Semakin sini semakin mendekat. Kaki-kakiku terasa lemas, dan tubuhku terus gemetar. Rasa takut itu kembali menyeruak dan semakin memuncak saat sebuah berkas cahaya putih menyorotiku dari samping.

Aku terlonjak kaget, dan secara refleks membalikkan badanku ke arah datangnya cahaya.

“Siapa di sana?”

Bayang-bayang semu yang berdiri di balik cahaya itu terlihat tinggi. Silau menghadang netraku, membuatku memejamkan mata untuk beberapa saat hingga orang di balik cahaya itu menyingkirkan cahayanya ke permukaan tanah. Dan saat aku membuka mata, yang kulihat bukanlah Edmund, melainkan orang asing.

Tidak. Nampaknya tak terlalu asing.

“Nona? Kau baik-baik saja?” Suara lelaki yang berdiri di hadapanku terdengar begitu dalam. Nada bicaranya yang mengalun lembut namun penuh kecemasan seketika menenangkan hatiku.

“Ka… kau?”

Lelaki itu berjongkok, menyamakan tinggi tubuhnya denganku yang masih terduduk. Wajah lelaki itu terlihat berkilauan diterpa cahaya senter yang ia genggam. Mata beriris kelabunya menatap lurus ke manik mataku, berusaha memahami diriku yang ketakutan di tengah tempat antah berantah yang diselimuti kegelapan. Pancaran di matanya terasa hangat, namun juga biru.

Rambutnya yang berwarna kecoklatan terkibas angin ringan yang sesaat datang. Dia lelaki itu. lelaki di Camel’s Hump yang beradu pandang denganku. Rupanya yang begitu menawan tak bisa kulupakan begitu saja.

“Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” tanya lelaki itu. Ia sedikit terhenyak, lalu langsug mengibas-ngibaskan tangannya di udara. “Ah, itu tidak penting! Apa kau terluka? Astaga, kau terluka! Apa yang terjadi?”

Meski perasaanku jauh lebih tenang, namun aku belum bisa menjawab pertanyaannya. Kala itu ia terlihat begitu misterius, begitu pun sekarang. Aku ingin memercayainya, namun ku juga harus waspada. Aku belum tahu siapa dia sebenarnya.

“Ah, jangan takut. Aku warga lokal di sini. Namaku Aaron.”

TO BE CONTINUED

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel