Bab 4 Big Foot
Bab 4 Big Foot
“Ada yang bilang mereka diculik oleh Big Foot, atau makhluk mengerikan setinggi sembilan kaki yang sering berkeliaran di kawasan hutan Green. Oh, jangan lupakan hantu berpakaian serba putih yang sering berjalan-jalan di kawasan utara,” sambung lelaki yang kini berhadapan dengan Edmund.
“Sudah kubilang jangan ceritakan itu, John! Kau tidak ingin para turis berlarian, kan?” timpal lelaki berkupluk pada lelaki bernama John di sisi lain pondok. John yang abai hanya menelengkan kepalanya dan menuangkan semacam cairan ke dalam dua buah cangkir kertas di hadapannya.
“Pffftt…”
Baik John maupun si lelaki berkupluk menoleh pada Edmund yang tergelak kecil dengan s’mores di mulutnya—hingga remah-remah biskuit terhambur keluar dari mulutnya. John mendengkus kesal melihat ekspresi Ed yang dugal. Sekarang aku tahu kenapa dua lelaki tua asing ini merasa kesal.
“Maafkan aku, tapi itu omong kosong,” ujar Edmund yang menghampiriku dengan dua cangkir minuman yang mengepul di tangannya. Ia menyerahkan salah satunya padaku. “Tidak ada yang namanya Big Foot atau makhluk apalah itu.”
“Kau belum mengenal dunia di luar sana, nak,” balas John ketus. “Tanyakan pada Nevin apa saja yang pernah ia hadapi saat ia berada di alam liar.”
Edmund dan Aku berpaling pada lelaki berkupluk itu secara bersamaan. Nevin, lelaki berkupluk yang dimaksud John, menghisap rokok yang ia abaikan sejak tadi, lalu membuang asapnya secara sembarang melalui mulut dan lubang hidungnya. Seketika aku terbatuk, namun tak lama.
“Yah, sejujurnya aku belum pernah bertemu makhluk sejenis Big Foot, hantu, atau makhluk tinggi apalah itu. Hanya saja, apa yang dikatakan John itu tidak salah. Kau tidak akan tahu hal buruk apa yang akan terjadi saat kau berada di luar sana. Tidak sampai kau mengalaminya. Aku tidak ingin siapa pun mengalaminya,” tutur Nevin. Sifatnya yang sedikit lebih tenang dibanding John membuatku tertarik untuk mendengar setiap kata yang terucap dari mulutnya.
“Aku tidak peduli jika kalian tidak memercayai Big Foot atau semacamnya, tetapi kalian harus selalu berhati-hati. Kami masih belum tahu kemana orang-orang yang menghilang itu dan apa yang terjadi pada mereka.”
Nevin dan penuturannya mendapatkan perhatianku. Karenanya, setelah ia mengakhiri kalimatnya, aku langsung mengangguk. S’mores yang dibawakan Edmund sama sekali belum kusentuh, padahal biasanya aku akan langsung ‘menghajarnya’—apalagi jika isian biskuitnya adalah coklat dan marshmallow yang baru saja diangkat dari panggangan. Itu karena semua ucapan lelaki berkupluk itu. Otakku mulai dipenuhi oleh untaian katanya, dan aku berusaha keras untuk tidak membuatnya keluar melalui kuping kiriku.
Namun sepertinya tidak dengan Ed.
“Ed, kurasa kita harus lebih berhati-hati. Kau juga. Hormati apa kata mereka.” Aku menatap Edmund dengan penuh kecemasan. Entah kenapa aku merasa khawatir, terutama karena sifat Ed yang tak acuh dan selalu seenaknya.
Edmund menelan minuman—coklat hangat—yang sempat tertahan dalam mulutnya. “Kau percaya pada cerita pak tua itu? tentang Big Foot dan makhluk tinggi itu?”
“Bukan itu! Ayolah, Edmund! Bisakah kau serius? Ada banyak orang hilang di sekitar sini!” ucapku dengan suara yang sedikit meninggi. Lama-lama aku juga merasa jengkel pada sikap buruknya itu.
“Semuanya baik-baik saja, Sas. Percayalah! Aku sudah mengunjungi banyak tempat dengan berbagai mitos dan misteri. Cerita-cerita seperti itu hanyalah buatan warga lokal untuk menarik para pengunjung, terutama pecinta misteri. Kau tahu kan kalau di Amerika Serikat ada banyak para pecinta misteri yang senang menantang bahaya—diri mereka sendiri?”
Kesal bercampur malu merundungiku, terlebih saat John menatap Edmund tajam seperti hendak membunuhnya—atau minimal melempar sesuatu pada kepala Edmund yang ia anggap aneh. John pun membuka mulut, hendak memaki pacarku yang bodoh itu, hingga akhirnya niatnya harus terhenti saat Nevin mulai berujar dengan santai, namun begitu dingin.
“Terserah kau saja. Yang terpenting jaga dirimu dan juga nona manis ini. kau tidak mau sesuatu terjadi padanya, kan?”
Kali ini Edmund tampak lebih tenang. Ia mengangguk perlahan, meski ia tidak mengiyakan.
“Haha! Itu artinya dia tidak begitu peduli padamu, nak. Memang anak kurang ajar sepertimu harus diberi pelajaran,” ledek John. Nevin yang mendengar itu hanya tersenyum miring.
Edmund mendengkus kesal, namun ia tidak berkata apa-apa lagi.
Ada hawa aneh yang menerpa tengkukku saat angin berhembus. Aku menrik jaketku, namun rasa dingin yang abnormal itu masih kurasakan menjalar di tubuhku. Bukan karena cerita yang dituturkan John dan Nevin, namun saat pertama kali aku memasuki kota kecil ini aku sudah merasa gelisah.
Pada akhirnya aku mengubur semua rasa itu di dalam batinku.
“Terima kasih atas minuman dan makanannya. Dan maaf karena telah membuat kalian tersinggung.”
**
Jarum penunjuk pada speedometer mobil Edmund berada lurus di angka 30 mph, membuatku merasa was-was, menimbang kami sedang berada di jalan raya berliku di bawah naungan langit dengan warna gelap yang semakin pekat. Terlebih kami dihimpit oleh deretan pohon yang rimbun dan jurang yang seperti tak berdasar.
Edmund menyalakan radio. Sang penyiar radio berceloteh untuk beberapa saat, lalu ia memutarkan lagu Californication dari band jadul Red Hot Chili Pepper. Alunan musik yang dibawakan dengan santai ini mungkin akan lebih enak dinikmati jika Ed mau menurunkan laju mobilnya. Tapi ia tidak, dan aku jadi tidak bisa menikmatinya. Namun Ed terlihat begitu menikmatinya.
“Edmund, pelan-pelan saja,” pintaku lembut. Edmund tidak mendengarkanku. Ia lebih asyik bersenandung pelan. “Ed?”
“Ayolah, Sasha sayang. Apa salahnya lebih cepat sedikit? Lagi pula ini sudah larut. Kita harus segera sampai di hostel Karen.” Akhirnya Edmund membalas.
“Justru karena ini sudah malam kau harus lebih berhati-hati. Pelankan mobilnya! Tidak masalah kalau kita terlambat sedikit,” timpalku cemas.
Lelaki yang sudah bersamaku sejak tiga tahun itu kembali bersenandung dan mengabaikan semua ocehanku. Aku pun sudah lelah. Yang bisa kulakukan sekarang hanya mempercayainya saja.
Udara dingin tiba-tiba merambati tulang punggungku, naik menuju tengkuk. Perasaan aneh itu kembali datang. Hening pun melanda. Bahkan lagu yang masih terputar di radio pun tak mampu memecah keheningan. Aku menoleh pada Ed, ia sudah tidak bersenandung lagi. Wajahnya terlihat tegang dan keringat meluncur di pelipisnya. Ia tiba-tiba berubah menjadi pendiam dengan mata yang terbuka lebar.
“Edmund, ada apa?” lirihku cemas.
“Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Edmund dingin. Air mukanya jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Edmund mengencangkan pijakan pada pedal gasnya, dan jarum penunjuk di speedometer pun bergerak maju. Penyiar radio kembali berceloteh setelah lagunya habis, dan Edmund masih terlihat tegang, hingga kami menjumpai sebuah tikungan yang cukup tajam.
Aku menatap wajahnya yang kini tampak sedikit pucat, lalu kupegang pipi kanannya dengan lembut. “Ed, kalau ada sesuatu katakan sa-”
“AAAAAAAA!” Ed tiba-tiba berteriak. Belum sampai dua detik mobil pun berguncang. Edmund kehilangan kendali. Dalam kecepatan yang tinggi, mobil yang kami kendarai oleng dan keluar dari jalur.
“Injak remnya, Ed! Injak remnya!” Aku berteriak panik, namun teriakan histeris Ed sepertinya lebih kencang hingga ia tidak bisa mendengarkanku dan tidak menginjak remnya.
Suara hantaman yang keras dan guncangan—tumbukan—yang dahsyat membuatku berpaling dan mencari tahu apa yang terjadi di depan sana. Namun, belum sempat aku tahu apa yang terjadi, mobil yang kami naiki terasa melayang di udara. Lampu mobil Edmund menyorot ruang udara yang gelap. Beberapa saat setelahnya aku merasakan kembali guncangan yang hebat. Mobil kami berguling-guling di landasan yang curam, dan setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi.
Semuanya berubah menjadi gelap.
TO BE CONTINUED