Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Awan Gelap

Bab 3 Awan Gelap

Jalanan berbatu yang membelah hutan dengan gradasi warna hijau dan jingga kecoklatan itu tidak terlalu sulit untuk dilalui. Jalanan menanjak yang sesekali diselingin oleh aliran air kecil pun tak terlalu terjal untuk kulalui sebagai pendaki amatir. Edmund sesekali mengulurkan tangannya dari depan, berharap aku tidak terjatuh atau terperosok saat tak sengaja melangkah di atas pijakan yang cadas.

Setelah hampir satu jam berdebat dengan Ed dan resepsionis hostel—yang pada akhirnya memperkenalkan diri sebagai Karen—tentang tempat mana yang akan kami kunjungi, akhirnya kami memilih untuk mengunjungi Camel’s Hump State Park. Taman negara bagian yang mengangkangi pegunungan hijau di bagian utara itu terbentang cukup jauh dari pusat kota Waitsfield.

Flashback

“Kalian yakin ingin pergi ke Camel’s Hump?” Karen tidak percaya saat aku menunjuk gambar pegunungan berwarna adem pada brosur yang dipegang Ed.

“Sepertinya tempat ini menyenangkan,” dalihku datar.

“Masih ada tempat yang menarik di dekat sini. Sugarbush Resort dan Mad River Glen adalah pilihan terbaik untuk liburan kalian.”

“Iya jika ini musim dingin,” sanggah Edmund yang menunjuk potret sebuah resor ski yang menyenangkan pada brosur yang ia pegang.

“Kalau begitu kau bisa berenang di Mad River atau mengunjungi Waitsfield Covered Bridge. Oh, dan jangan lupakan hutan Wu Ledges. Hanya berjarak sekitar tujuh mil dari sini.” Karen kini bertindak sebagai seorang pemandu wisata yng menyebalkan.

“Terima kasih atas saranmu, Karen. Kuhargai itu. Tapi aku ingin pergi ke tempat ini. Mungkin setelah ini kami akan mengunjungi tempat-tempat yang kau sarankan.”

Senyuman tipisku tertular pada wanita berambut ikal itu. Meski helaan napasnya terasa begitu berat, pada akhirnya ia menepuk-nepuk bahu kami dan mendo’akan perjalanan kami.

“Kau yakin tidak akan membawa kopermu dan pindah ke penginapan yang lebih dekat dengan Camel’s Hump? Jaraknya cukup jauh lho dari sini,” tanya Karen.

“Tidak. Kami akan kembali lagi ke sini nanti,” jawabku yang disertai anggukan dan senyum malas Edmund.

“Baiklah. Have a nice day!”

Flashback selesai.

**

Suasana di sisi Gunung Green yang terbentang di Camel’s Hump tak sesejuk udaranya yang nyaris terasa dingin. Saat kami menginjakkan kaki di puncak datar sebuah bukit kecil di tepi pegunungan, beberapa orang menyambut kami dengan tatapan yang beragam. Sepasang suami istri dengan busana safari memandang kami seperti harta karun berharga yang sangat sulit ditemukan di era milenial ini. yang lainnya, dua orang lelaki tua yang tengah duduk di sebuah pondok kecil menatap kami sebaliknya. Masih ada tiga orang lelaki dengan setelan pendaki yang tidak menghiraukan kami dan asyik memotret pemandangan alam yang nampak begitu kecil di bawah sana.

“Bagaimana, Sas?” Binar di mata beriris hijau Edmund nampak begitu berkilauan. Wajah sumringahnya yang diterpa cahaya matahari semu membuat gelora yang terpancar dari seluruh tubuhnya terlihat begitu jelas. Cengiran yang memperlihatkan gigi yang berderet putih itu pun membuatku penasaran dengan apa yang membuatnya terlihat begitu bersemangat ini. aku pun melangkah mendekati dirinya yang terlebih dahulu mencapai ujung tebing.

“Indah, bukan?” Sekali lagi Edmund berujar, lalu membiarkanku terpesona dengan panorama yang terhampar di bawah sana.

“Indah sekali,” gumamku takjub. Bukan hanya karena view hutan dan pegunungan yang terhampar sejauh mata memandang, tetapi karena di sini udaranya begitu segar. Aroma pegunungan dan rumput matang yang menguar sedikit menggelitik hidungku, namun rasanya begitu mneyenangkan.

Sepertinya asmaku akan sembuh seketika, tapi aku cepat berpikir lagi kalu itu sepertinya mustahil. Masa bodoh. Aku sangat menyukai tempat ini, pun dengan aliran sungai yang meliuk-liuk membelah hutan di bawah sana. Jika Mama dan Papa berpikir mereka ingin pindah ke Philadelphia, kurasa aku lebih ingin pindah ke Waitsfield. Mungkin saat nanti aku menikah dengan Ed aku akan membujuknya untuk pindah ke sini.

“Ed, kemarilah!” Aku berbalik dengan perasaan riang, namun Ed tidak ada di mana pun. Saat itu pula, seorang lelaki jangkung tertangkap netraku saat dirinya sedang menenteng sebuah kantong kertas dan sebuah cangkir yang mengepulkan asap di tangannya yang lain. Mata beriris kelabunya memandangiku, hingga aku pun sadar bahwa kami sedang saling bertemu tatap. Pandangan matanya membekukanku untuk sejenak, lalu waktuku pun kembali berjalan saat lelaki yang memiliki paras tampan itu berjalan menjauh dan menuruni bukit.

Siapa lelaki itu? Sebelumnya ia tidak nampak berada di antara pengunjung yang lain.

Lelaki tampan dengan rambut coklat keemasan yang baru saja kulihat, entah kenapa, membuatku penasaran.

“Hei, ternyata lelaki tua di pondok kecil itu menjual berbagai minuman hangat. mereka juga punya beberapa makanan manis!” seru Edmund yang berjalan menghampiriku seperti seekor anak anjing.

“Oh, Ed! Dari mana saja kau?” rengekku seperti seorang anak yang hampir putus asa.

“Kau sudah menikmati pemandagannya?” Edmund berdalih dengan polosnya.

“Ya, sudah. Tapi tanpa kau.”

Edmund terkikik kecil. “Maafkan aku, sweetheart. Oh, iya! Lelaki tua itu punya minuman hangat dan s’mores untuk kita. kau mau?”

Belum sempat aku menjawab tawaran Ed, ia sudah terlebih dahulu menarik tanganku dan mennuntunku menuju pondokan kecil yang lebih terlihat seperti sebuah kios makanan ringan—atau mungkin itu memang sebuah kios makanan ringan.

“Ah, ini dia si cowok bebal dengan gaya rambut yang aneh!” seru lelaki tua yang duduk santai di bawah naungan atap kayu pondok yang terlihat rapuh.

Aku menoleh pada potongan rambut brushed-on-top di kepala Ed. Tidak ada yang aneh. Mungkin karena selera lelaki tua itu—yang mungkin sudah kuno—membuat gaya rambut Edmund terlihat aneh—apalagi di atas gunung seperti ini. Tidak. Bukan itu yang terpenting. Dahiku berkerut saat menurunkan pandanganku pada wajah Ed yang tampak kikuk dengan senyum bodohnya. “Bebal? Apa maksudnya?”

“Dia menampik ucapanku dan bersikap seperti dirinya sudah tinggal di kota ini sejak ia berada dalam kandungan ibunya!” Lelaki tua satunya lagi menggerutu, seraya membetulkan posisi kupluk hitamnya yang agak miring.

“Memangnya ada apa? Apa yang kau lakukan, Ed?” tanyaku penasaran.

“Pertama dia menyela obrolan kami, lalu ia berkata apa yang sedang kami bicarakan adalah omong kosong,” Lelaki berkupluk itu menyela Edmund sambil memasang wajah masam.

“Tunggu, apa? Aku tidak mengatakan itu!” bantah Edmund. “Aku hanya bertanya apa kalian punya minuman dan makanan ringan untuk kami. Kau sudah mengiyakan, makanya aku panggil pacarku kemari.”

Aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi. “Memangnya apa yang kalian bicarakan? Dan apa yang pacarku katakan pada kalian, um… pak?”

Lelaki berkupluk itu menyipitkan mata. “Apa kau tahu kalau akhir-akhir ini ada banyak orang yang hilang di sekitar Rute 17?”

Aku menggelengkan kepala. Bahkan aku tidak tahu dimana persisnya Rute 17 itu.

Lelaki berkupluk itu menepuk bangku kayu kosong di sampingnya. Melihat isyarat darinya, aku pun duduk dan mendengarkan cerita lelaki tua itu dengan seksama.

“Hei, nak! Kau bilang kau ingin minuman dan cemilan, kan?” Lelaki yang satunya memanggil Edmund yang masih berdiri termenung di ambang pondok. Edmund pun menghampirinya.

“Beberapa waktu belakangan ini banyak orang hilang di sepanjang Rute 17 di sekitar pegunungan Green. Turis, penduduk lokal, atau sekedar orang yang lewat, banyak dari mereka yang hilang,” tutur lelaki berkupluk serius.

TO BE CONTINUED

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel