Ringkasan
Kebohongan adalah sumber petaka. Alih-alih berkata pergi study tour, Sasha justru pergi liburan ke luar kota bersama pacarnya. Naas, di perjalanan mengalami kecelakaan yang membuatnya jatuh ke jurang. Aaron menolong dan memberi tempat untuk Sasha bermalam, tapi Sasha tanpa sengaja menemukan rahasia Aaron yang membuatnya disekap di ruang bawah tanah. Siapa sebenarnya Aaron? Mungkinkah Sasha bisa kabur dari tangan Aaron?
Bab 1 Awas Sebuah Firasat
Bab 1 Awas Sebuah Firasat
Nyeri di kepalaku terus berdenyut sepanjang perjalanan. Deru mesin mobil yang terdengar halus tidak serta membuat semuanya menjadi lebih baik. Aroma lavender yang khas, yang menguar di dalam mobil Edmund pun tidak membuatku merasa rileks seperti biasanya. Aku tidak pernah mabuk perjalanan sebelumnya, seterjal apapun jalan yang kulalui, seburuk apapun supir yang membawa mobil. Aku yakin ini bukan mabuk perjalanan, meski rasanya isi perutku seperti sedang memberontak.
“Sasha, kamu tidak apa-apa?” Lelaki yang duduk di sebelahku menoleh, berpaling dari jalanan untuk sepersekian detik, lalu kembali memperhatikan jalan.
“Kepalaku sakit, tapi aku baik-baik saja,” jawabku lirih.
Memang bukan karena mabuk perjalanan, kurasa. Lagi pula sejak awal keberangkatan tadi aku sudah merasa pusing dan dadaku pun terasa begitu sesak. Kulirik koper yang tergeletak di kursi belakang melalui pantulan spion tengah mobil seraya mengingat apa saja yang berada di dalamnya: baju ganti, handuk, makanan ringan, make up dan skincare, obat pribadi, buku catatan—yang kubawa untuk mengelabui Mama—dan alat tulis, cermin kecil dan juga obat pribadi. Seharusnya aku mengonsumsinya bahkan sebelum berangkat, tapi aku tidak. Begitu pun sekarang.
Mobil yang dikendarai Edmund—pacarku—meluncur dengan perlahan. Ingin menikmati perjalanan, katanya. Tetapi aku sama sekali tidak menikmatinya. Tidak sejak deretan pohon yang berdiri di tengah udara yang dingin nan sunyi di luar sana terlihat sejauh mata memandang. Irama pegunungan biasanya selalu membawa ketenangan, namun sekarang entah kenapa aku tidak merasakannya.
Apa karena lagi-lagi aku berbohong?
**
“Pa, Ma.”
Papa dan Mama memandangiku bingung. Aku berdiri di hadapan mereka yang tengah asyik membicarakan pengalaman Papa di tempat kerja hari ini. Keduanya sekarang memandangiku, namun aku masih terdiam.
“Ada apa, sayang?” tanya Papa dengan suara yang mengalun lembut. Aku sangsi Papa akan tetap menjaga nada suaranya jika aku mengatakan yang sebenarnya. Karena itu aku harus meneguhkan hatiku dan memberanikan diri. Lagi-lagi seperti ini.
“Um, begini… jadi…” Deburan kencang di jantungku membuat perasaanku semakin buyar. Sial! Kenapa aku malah tidak bisa mengatakannya dengan benar?
Papa menepuk permukaan sofa di sampingnya, mengisyaratkanku untuk duduk. Aku pun menuruti Papa, dan duduk di seberang sofa yang ditempati kedua orang tuaku.
“Ada apa, Sasha?” Kini giliran Mama yang bersuara.
“Jadi begini, di kampusku ada kegiatan study tour ke luar kota. Acaranya beberapa hari, tapi aku tidak tahu pasti berapa hari kegiatannya.”
Mama mengernyitkan dahi. “Study tour?”
Oh, tidak. Aku dan refleks bicaraku. Study tour adalah istilah kuno, aku tahu. Bahkan anak-anak SMP pun tidak pernah lagi mengucapkan frasa itu untuk mendeskripsikan kegiatan darmawisata mereka.
“Kemana?” lanjut Mama penasaran.
Coba kupikirkan. Kota dan negara bagian di Amerika Serikat yang kira-kira pantas untuk menjadi tujuan study tour para mahasiswa—dan bukan tujuanku yang sebenarnya. Washington DC, Boston, Berkeley, Ashville, Portland. “Philadelphia.”
“Ah, Philadelphia,” seru Papa antusias, bertolak belakang dengan ekspresinya. “Tidak terlalu jauh dari NYC. Sembilan puluh lima mil, dua jam perjalanan menggunakan mobil—atau bus.”
Aku mengumpati diriku sendiri yang tidak bisa memikirkan kota yang lebih baik lagi selain Philadelphia, meski itu sebenarnya bukan pilihan yang buruk.
“Mungkin lebih baik jika kita pindah ke Philadelphia saja,” gurau Mama. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ia katakan, namun ucapannya membuat Papa tergelak perlahan.
“Kapan persisnya kau pergi?” Ayah mulai mewawancaraku—atau mungkin lebih tepatnya mneginterogasiku.
“Penghujung musim semi ini,” jawabku yakin.
"Penghujung musim semi ini? Bukannya kau masih ada jadwal kuliah? Libur musim panas baru dimulai di awal Juni, kan? Dan bukannya kau mengikuti kelas akuntansi yang diadakan pada bulan Mei sampai pertengahan Juni?” timpal Mama, mulai banyak berbicara lagi.
Jujur, aku berbohong soal itu. Untuk mengisi sisa kreditku, Mama menyarankanku untuk mengambil kelas akuntansi yang akan berguna untuk kehidupanku ke depannya. Tetapi aku tidak, meski aku mengiyakan dan bilang bahwa aku memiliki kelas akuntansi di awal musim panas. Aku mengambil kelas lain, kelas Shakespeare yang lebih menarik minatku. Dan kelas Shakespeare sudah libur. Lagi pula, siapa yang ingin masuk kelas akuntansi di musim panas?
“Um… iya, itu benar. tapi study tour ini lebih penting. Lagi pula kelas akuntansi hanya kelas tambahan. Mama juga tidak keberatan jika aku tidak menjadi akuntan, kan? Bukankah Mama hanya ingin aku mengambil ilmunya saja?” Aku hampir tertawa dan ingin menangis dalam waktu yang bersamaan saat mendengar perkataanku sendiri. Miris rasanya saat mendapati aku menjadi semakin lihai dalam hal yang tidak baik.
“Iya juga. lagi pula study tour juga penting,” gumam Mama pada dirinya sendiri.
Keheningan menyelimuti untuk beberapa saat. Keringat meluncur di pelipisku, dan tanganku mulai gemetar. Aku ingin segera mengakhiri percakapan ini secepatnya.
“Jadi, bagaimana? Bolehkah aku ikut?” tanyaku memastikan.
Alis Papa saling bertaut. Air mukanya membuatku merasa tidak nyaman. “Ikut? Tentu saja! Perjalanan ini penting untuk kehidupanmu sebagai seorang mahasiswi.”
Papa memang selalu membuat jantungku berdebar kencang. Kadang dalam artian yang buruk, tetapi kadang juga dalam hal yang baik. Kedua orang tuaku memang suka bergurau, tetapi untuk sesaat aku benar-benar merasa jantungku akan copot. Aku tidak tahu apa yang kukatakan pada Edmund jika orang tuaku tidak mengizinkanku pergi. Tetapi kali ini, kurasa aku bisa tersenyum lebar.
“Tetapi kau harus menjaga dirimu baik-baik,” sambung Mama.
“Iya. Terima kasih.” Aku memeluk kedua orang tuaku dengan erat. Itu adalah sebuah pelukan terima kasih, dan juga pelukan minta maaf. Aku merasa sangat bersalah, namun aku tidak tahu harus bagaimana lagi selain—lagi-lagi—membohongi kedua orang tuaku.
**
Dan di hari keberangkatan, aku merasa begitu pusing, dan jauh dari kata antusias.
“Kurasa memilih Philadelphia sebagai tujuan palsuku adalah keputusan yang salah, atau justru menjadikan Waitsfield sebagai tujuan liburan kitalah yang salah,” gumamku yang masih merayang.
Edmund memutar kemudinya. “Kau bilang ingin berlibur di tempat yang sejuk dan jauh dari keramaian.”
“Berarti aku yang bodoh karena memilih Philadelphia.”
Edmund melepas tangan kanannya dari setir kemudi, lalu menggerayang pipiku dengan tangannya yang terasa agak dingin itu. “Sudahlah. Tidak ada yang salah dengan lima jam perjalanan dengan mobil jika kita pulang tepat waktu. Bukankah sebelumnya kau malah ingin pergi ke Forks? Dua hari di perjalanan akan membuatmu lebih gila.”
“Kau benar, meski bukan itu yang kumaksud.”
“Lagi pula, tak seharusnya kau merasa khawatir. Ini bukan pertama kalinya kau membohongi orang tuamu, lho! Meski begitu, aku tetap mencintaimu”
Edmund benar lagi. Hari-hariku selalu dipenuhi dengan kebohongan. Meski rasanya aku ingin terlepas dari lingkaran setan yang mungkin saja suatu saat akan menjerumuskanku, aku tetap tak bisa. Liburanku bersama Ed kali ini pun bisa terlaksana karena kebohongan yang kuucapkan pada kedua orang tua yang sangat kucintai. Aku mencintai mereka, tapi aku juga mencintai Ed. Mereka tidak akan mengizinkanku pergi jika aku berkata sejujurnya—pergi berlibur ke Waitsfield bersama Edmund.
“Jika kau tidak ingin meminum obatmu, sebaiknya kau tidur. Itu akan membuatmu merasa lebih baik. Masih ada dua jam perjalanan lagi.”
Aku memejamkan mataku, dan menenggelamkan diriku dalam sandaran jok mobil yang—sebenarnya—tidak terlalu empuk. “Aku tahu.”
TO BE CONTINUED