Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Darah Dingin

Bab 10 Darah Dingin

Adrenalinku mendadak meninggi seiring dengan apa yang dilakukan Aaron padaku. Dia menyeretku menuruni tangga, lalu masuk ke dapur yang berada di bagian belakang rumahnya. Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan padaku di dalam dapur, tapi sesampainya di ambang dapur, tangannya yang kokoh dengan jemarinya yang kuat semakin mengencangkan cengkeramannya.

"Ack!" Aku meringis karena cengkaram kuatnya.

Dapat kulihat leher jenjangnya terlihat semakin menegang dilanda amarah yang entah apa penyebabnya—aku tidak yakin jika kemarahannya ini hanya berasal dari larangannya yang kulanggar.

Sebuah lemari kayu besar berdiri terpisah dari perlengkapan dapur lainnya. Aaron menyeretku ke sana tanpa memedulikan jeritanku yang kian menjadi. Saat ia membuka pintu itu, sebuah jalan sempit nan gelap terbuka menuju ke bawah. Benar-benar seperti jalan rahasia menuju ruang bawah tanah yang ada dalam film-film bertema psikopat yang sering kutonton. Miris rasanya, kini aku mengalaminya sendiri.

Aku harap semua ini hanya mimpi, tapi mana ada mimpi yang terasa nyata sekali seperti saat ini.

Setelah membuka pintu bagian bawah dalam lemari, Aaron tak bergegas masuk dan turun ke bawah. Aku pikir ia telah berubah pikiran setelah melihat betapa gelapnya ruangan itu. Namun, rasanya memang tidak mungkin. Ia memang tidak berniat masuk. Ia punya niat lain. Aaron menyeretku dan langsung mendorongku dengan kasar.

Aku terbanting, terguling, dan terjatuh di atas lantai kasar yang dingin, di sebuah ruangan sempit nan gelap. Rasa sakit menjalari seluruh tubuhku, terutama bagian sisi kanan tubuhku yang mendarat ke lantai terlebih dahulu. Pandanganku berbayang, dan semuanya tampak kabur. Aaron masih berdiri di atas sana, memandangiku dengan rendah dan hina.

“Aaron, teganya kau. Kenapa kau melakukan ini padaku?” Aku terus merengek, namun Aaron tak menimpali. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Setelah ia memandangiku, ia membanting pintu ruang bawah tanah dan menguncinya dari luar, lalu pergi dengan langkah yang ringan.

Gelap. Gelap dan sempit. Di sinilah aku sekarang, terbaring tak berdaya dengan tubuhku yang melemah karena tersiksa rasa sakit yang tak tertahankan. Debu dan kotoran di ruangan ini membuatku terbatuk, dan rasa sesak kembali mencekikku.

Aku tidak bisa melakukan apapun dengan kondisiku yang sekarang selain menangis dan mengutuk tindakan keji yang dilakukan Aaron padaku. Aku tak pernah menyangka Aaron yang sebelumnya begitu baik dan ramah, memberikan pertolongan padaku dengan sangat tulus, berubah menjadi monster keji yang tak berperasaan.

Seandainya saja aku menurutinya untuk pulang hari ini. Seandainya saja aku tidak bertemu Aaron. Seandainya saja aku tidak memilih untuk pergi ke Camel’s Hump. Seandainya saja aku tidak menuruti Edmund untuk berlibur di Waitsfield. Seandainya saja aku tidak membohongi orang tuaku.

Tidak ada seandainya. Mungkin ini memanglah takdirku yang harus berjumpa dengan Aaron. Dan aku tidak bisa menolaknya.

**

Tak kuduga udara di bawah sini lebih dingin dari luar sana. Dingin dan begitu lembab. Juga kotor. Entah sudah berapa lama aku terbaring tak berdaya di sini, dan entah sampai kapan. Mungkin matahari yang bersinar di atas langit sudah mulai kembali ke peraduannya. Aku tak tahu. Dan aku tidak bisa membayangkannya. Yang terus kubayangkan sepanjang hari ini adalah mencari jalan keluar dari sini.

Pintu kayu yang terkunci rapat itu ternyata lebih kuat dari yang kubayangkan. Sudah hampir satu jam aku mencoba untuk mendobraknya dengan menggunakan berbagai macam alat di sini—sekop, kayu batangan, hidran pemadam kebakaran—namun pintu itu tak cacat sedikit pun—selain oleh goresan yang ditimbulkan dari pergesekan benda-benda itu.

Aku mencoba untuk menggedor sambil terus berteriak minta tolong, tapi tak membuahkan hasil selain membuat tenggorokanku terasa seperti dicekik dan tanganku memerah. Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah dan menunggu Aaron kembali ke sini. Entah kenapa aku punya keyakinan bahwa ia tidak akan membuatku mati tersekap di dalam ruang bawah tanahnya.

Meski begitu, tubuhku punya batasannya sendiri. Aku tidak ingin mati konyol di tempat ini.

Sejak tadi, sesak yang kurasakan begitu menyiksaku. Kepalaku juga terasa berputar karena kekurangan oksigen. Aku punya claustrophobia yang sudah kuderita sejak dulu, namun itu sudah lama sembuh. Aku rasa di masa depan fobia terhadap ruang sempit itu akan kembali jika aku terus menerus berada di sini. Itu pun jika aku memiliki masa depan.

Aku duduk menopang tubuhku dengan lutut, lalu mengusap garis-garis wajahku dengan jari. Sesekali aku memainkan rambutku, lalu menampar diriku sendiri agar tetap sadar. Tidak ada yang bisa kulakukan. Dan, sial. Tubuhku kembali menggigil.

Dentingan logam kecil terdengar samar di arah pintu masuk ruang bawah tanah. Aku tersentak. Seseorang akhirnya datang, meski aku yakin dia adalah orang yang sama yang menyeretku ke dalam penderitaan ini. Saat aku mendongak, tubuh tinggi lelaki yang telah menyekapku itu telah berdiri di puncak tangga.

Dia seolah menunggu sesuatu yang bisa memberinya alasan untuk turun ke bawah dan menyambatku dengan penuh rasa kasihan. Tapi tidak. Setelah ia membuka pintu itu, ia menutupnya dengan perlahan dan tak melakukan apa pun. Hanya memandangiku dengan mata seorang predator yang lebih tertarik untuk menjadikanku sebagai mainannya dari pada mangsanya.

Masa bodoh. Lagi pula aku tak mau dimangsanya, jika ia memang seorang predator. Tapi aku berharap tidak.

“Aaron…”

Barulah ketika aku menyebut namanya dengan lirih, lelaki tak waras itu turun dan menghampiriku. Setiap hentakan kakinya membuat jantungku berpacu kencang, dan semakin kencang saat ia semkin mendekat. Meski sejak tadi aku berusaha untuk keluar dari sini, kenyataanya aku belum siap untuk menghadapi Aaron.

Aaron kini berdiri di hadapanku, memandang renda padaku yang terduduk lemas seperti seekor kelinci kecil yang yang telah dipojokkan oleh pemangsanya. Kami saling bertemu tatap, namun rasanya sama sekali berbeda. Rasanya tidak sama seperti saat kami pertama bertemu. Meski begitu, tanda tanya besar yang tercetak di wajahnya masih terlihat jelas dalam pandanganku. Malah semakin besar dan jelas.

Dengan garis bibir yang menekuk dan mata dinginnya yang menyipit, ia masih memandangiku tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun.

“Aaron, kumohon lepaskan aku.” Akhirnya aku sendiri yang berbicara padanya, dengan linangan air mata dan rengekan seorang bocah. Aku meraih kaki jenjangnya, dan sedikit mengguncangnya, berharap ia akan tersadar dan kembali menjadi dirinya. Aaron si lelaki sempurna yang baik hati.

Aaron tidak menjawab. Setidaknya tidak dengan mulutnya. Ia membetulkan kerah turtlenecknya. Samar-samar aku bisa mendengarnya mendesis, sebelum akhirnya ia mengayunkan kakinya yang kugenggam, lalu menghantamkan ujung sepatu boots yang mengcover kakinya ke daguku.

Ini bukanlah apa yang aku inginkan! Mengapa Aaron tega melakukan ini padaku?

Hantamannya begitu keras hingga genggamanku terlepas dan tubuhku terjengkang. Aku meringis dan menjerit dengan suara yang nyaris menghilang. Namun Aaron membalasnya dengan sesuatu yang lebih menyakitkan lagi.

TO BE CONTINUED

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel